Penduduk Lombok secara umum berasal dari suku Sasak dengan agama mayoritas Islam, sedangkan agama Buddha berada pada urutan kedua. Umat Buddha di Lombok hidup berdampingan dengan masyarakat pemeluk agama lainnya seperti Islam, Kristen, Hindu dan juga penganut keyakinan tradisi Wetu Telu.
Dalam satu tahun, umat Buddha yang ada di satu kabupaten mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dalam momentum seperti saat perayaan Waisak Bersama dan ritual Memuja. Salah satu ritual Memuja itu adalah Tradisi Pengambilan Tirta Waisak di Pawang Buani.
Masyarakat Buddhis di Lombok Utara sangat percaya terhadap tempat-tempat keramat yang disakralkan, seperti pawang (hutan kecil yang berisi pohon-pohon besar berusia puluhan hingga ratusan tahun) yang terdapat mata air di dalamnya.
Mereka beranggapan pemujaan di tempat-tempat yang diyakini sakral tersebut akan memberi pertanda baik di dalam kehidupan sehari-hari.
Awalnya mata air ini hanya digunakan untuk keperluan berobat. Masyarakat seringkali mendatangi pemangku (juru kunci) untuk meminta air di pawang tersebut sebagai sarana penyembuhan.
Warisan dari para leluhur seperti ini tidak mungkin untuk ditinggalkan dan dilupakan. Berawal dari kedatangan Alm. Bhikkhu Atthakaro Thera dari Bali dan berdomisili di Vihara Giri Metta Bhavana Arama, Buani, mata air yang disakralkan masyarakat ini menjadi tempat kegiatan pengambilan Tirta Waisak. Proses pelaksanaannya dihadiri oleh Bhikkhu Sangha, tokoh masyarakat, dan umat Buddha di Lombok Utara.
Upacara tradisi ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan yaitu tahap sebelum upacara atau tahap persiapan, tahap pelaksanaan upacara tradisi atau tahap inti, dan acara puncak atau penutup. Upacara diawali dengan pelaksanaan pradaksina, yaitu proses mengelilingi objek yang dihormati dan disakralkan searah jarum jam.
Objek yang dikelilingi adalah bangunan vihara sebanyak tiga kali kemudian diteruskan menuju pawang tempat pengambilan air.
Tetabuhan gamelan mengiringi umat saat memasuki pawang. Barisan pertama dipimpin oleh orang yang membawa relik sang Buddha. Relik dibawa di atas kepala dengan diikuti oleh orang yang bertugas membawa payung untuk memayungi benda yang diyakini sakral tersebut.
Barisan selanjutnya adalah iring-iringan muda-mudi setempat yang membawa amisa puja, yaitu persembahan berupa bunga, lilin, buah-buahan dan air. Selanjutnya diikuti oleh bhikkhu sangha, para romo pandita, dan umat Buddha yang hadir. Pradaksina berujung saat semua peserta memasuki pawang dan duduk di tempat yang telah disediakan. Relik dan amisa puja yang dibawa tadi kemudian diletakkan di atas altar.
Acara berlanjut dengan pelaksanaan puja bakti yang dipimpin oleh romo pandita. Seperti sembahyang (kebaktian) pada umumnya, sembahyang pada Pengambilan Tirta Waisak ini juga mengadakan meditasi sesudah pembacaan Paritta Suci.
Selanjutnya, penyampaian Pesan Waisak oleh bhikkhu yang hadir dan juga sambutan-sambutan oleh para tokoh seperti Pembimas Buddha Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat. Berikutnya, Dana Paramita, yaitu praktik berdana, memberikan sedekah untuk kepentingan vihara atau pun anggota sangha.
Ketika seluruh rangkaian puja bhakti telah selesai, dimulailah proses pelaksanaan pengambilan air tirta yang dimotori oleh pemangku.
Pada momen pengambilan air berlangsung, pemangku dibantu oleh anggota muda-mudi dan umat lainnya untuk mengoper jerigen atau botol yang telah terisi dan diberikan kepada umat Buddha yang telah menanti. Pertunjukan gamelan dimainkan sebagai pengiring proses pengambilan air dan hiburan untuk memeriahkan acara.
Air yang diperoleh dari prosesi pelaksanaan Pengambilan Tirta di Pawang Buani, Desa Bentek, ini digunakan sebagai media pemberkatan (blessing) pada saat Trisuci Waisak di daerah masing-masing.
Jadi, tidaklah mengherankan jika peserta upacara ini adalah seluruh umat Buddha yang ada di Lombok Utara. Bahkan, dalam beberapa kesempatan hadir pula umat Buddha dari Dusun Tendaun, Desa Mareje Timur, Lombok Barat.
Karena itu, selain menjadi praktik penghormatan, acara ini menjadi sarana meningkatkan kerukunan umat Buddha di Lombok Utara. Sejauh ini upaya dalam meningkatkan kerukunan umat Buddha di Lombok Utara berjalan dengan ragam cara seperti yang dilakukan oleh Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI) Lombok Utara untuk mempertemukan umat Buddha yang berasal dari berbagai daerah ini.
Untuk membina dan memupuk sikap hidup rukun, sang Buddha di dalam Sārānīyadhamma Sutta,- Aṅguttara Nikaya III, menyampaikan enam prinsip kerukunan yang bertujuan agar kita saling mengingat, saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan.
Keenam prinsip tersebut adalah (1) memiliki tindakan yang disertai dengan cinta kasih terhadap sesama baik secara terbuka maupun pribadi, (2) memiliki ucapan yang disertai cinta kasih terhadap sesama baik secara terbuka maupun pribadi, (3) memiliki pikiran yang disertai dengan cinta kasih terhadap sesama baik secara terbuka maupun pribadi, (4) berbagi segala perolehan yang didapat dengan cara yang baik kepada sesama, (5) memiliki kesamaan perilaku moral yang baik, dan (6) sama-sama memiliki pandangan yang benar (sammādiṭṭhi).
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara