Sosok Atisha Dipamkara Shrijñana penting dipahami oleh masyarakat Indonesia. Karena kiprahnya yang tercatat dalam literatur Tibet mengungkapkan seperti apa bentuk agama Buddha di Nusantara di masa lampau.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof. Dr. Noerhadi Magetsari dalam webinar “Ajaran Bodhicita Ajaran Agung Dharmakirti Di Swarnadwipa Nusantara & Bukti Jejak Arkeologi-Nya” yang digelar Jumat (3/2/2023) secara daring oleh Forum Ngobrol Santai Indonesia.
“Atisha penting untuk kita,” tegasnya.
Alasan pertama, menurut Noerhadi adalah karena melalui Atisha kita tahu bahwa ia membawa ajaran dari Nusantara ke Tibet, dan itu masih eksis hingga sekarang. Jadi siapa pun yang mempelajari agama Buddha Tibet menurutnya juga bisa melihat bentuk agama Buddha abad ke-11 di Nusantara.
“Kedua melalui Atisha kita mengetahui gurunya, dan gurunya itu adalah dari Nusantara ini. Jadi itu dia hal yang penting untuk kita ketahui,” jelasnya.
Ia meneruskan, guru Atisha, yang dikenal sebagai Serlingpa, sangat dihormati di Tibet. Sayang sosok ini nyaris tidak dikenal di India maupun Indonesia.
“Serlingpa ini pernah menghadiri muktamar agung di Bodhgaya, dan ia bertemu seorang acharya agung lainnya Maha Sri Ratna. Setelah kembali dari pertemuan ini, mendapat gelar Dharmakirti,” jelasnya.
“Serlingpa [bahasa Tibet] adalah terjemahan Suvarnadvipi [bahasa Sanskerta]” imbuh Noerhadi.
Dari Serlingpa inilah Atisha menurut Noerhadi mempelajari ajaran Bodhicitta, dan akhirnya berhasil mereformasi agama Buddha di Tibet setelah 12 tahun belajar di Nusantara.
Ia juga berpendapat, semua orang sebenarnya memiliki Bodhicitta, karena itu merupakan benih untuk mencapai Kebuddhaan. Namun itu harus dibangkitkan, harus dilatih lewat penyempurnaan paramita.
“Orang yang menjalankan paramita ini berarti menyempurnakan dirinya,” jelasnya.
Pembicara lain dalam webinar ini, Drs. Hari Untoro Dradjat MA mengaku baru beberapa tahun ini mempelajari sosok Atisha, terkait 1.000 tahun peringatan kedatangan Atisha ke Nusantara di tahun 2018. Mantan Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI itu berpendapat, perjalanan Atisha ke Nusantara bukan hanya ke Sumatera, namun juga ke Candi Borobudur dan Candi Kalasan, di masa Syailendra.
“Atisha asumsinya adalah mengunjungi berbagai tempat,” kata Hari.
Ia juga berargumen, kedatangan Atisha ke Nusantara adalah bentuk diaspora timbal balik. Tidak hanya ajaran Buddha dari India yang masuk dan menyebar ke Nusantara, namun ajaran Buddha di Nusantara akhirnya dikembalikan ke India.
“Ada suatu pengetahuan yang kembali ke asalnya,” kata dia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara