“Karena banyak orang dari luar yang datang ke sini, terutama youtuber, mereka menyaksikan kalau di sini hampir semua warganya beragama Buddha. Makanya mereka menyebutkan bahwa di Plandi ini adala Dusun Buddhis,” ungkap Suratman, salah satu pengurus vihara di Plandi kepada tim Buddhazine pada Rabu (27/04).
Plandi merupakan sebuah dusun yang berada di Kabupaten Banyumas, masuk dalam wilayah Desa Watuagung, Kecamatan Tambak. Selain menjadi satu-satunya dusun di wilayah Kecamatan Tambak yang terdapat komunitas umat Buddhanya, Plandi juga berada di lokasi yang cukup menarik untuk dikunjungi. Lokasinya berada di area puncak perbukitan Mahameru, sekeliling dusun dipenuhi dengan hutan dan perkebunan pinus yang menyuguhkan udara segar sepanjang hari.
Letaknya berada di perbatasan tiga kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Kebumen. Rute perjalanan menuju Plandi bisa ditempuh melalui tiga jalur penghubung antar kabupaten ini. Jika dari arah Banyumas melewati Kecamatan Tambak ke arah utara, perjalanan akan melalui perkebunan pinus sepanjang kurang lebih 9 kilo. Jalan aspal yang mulus berkelok-kelok di antara rimbunnya perkebunan menjadikan uadara terasa sejuk dan teduh meski di siang terik. Bila malam, lampu-lampu penerangan terpasang rapi sepanjang jalan, menuntun siapapun yang melewati jalur ini.
Jika dari arah Banjarnegara melalui jalur Kecamatan Susukan menuju arah selatan, melewati perhutanan dan pemukiman sepanjang kurang lebih 12 Kilometer. Jika dari arah Kabupaten Kebumen melalui jalur pernghubung antara kecamatan Kecamatan Rowokele dan Dusun Plandi. Jalur dari Kebumen ini memang tidak semulus yang dari Banjarnegara dan Banyumas, tetapi cukup mengasyikkan bagi pecinta petualangan alam. Jalurnya sepi, berupa cor beton, rutenya naik turun bukit dan berkelok-kelok.
Umat Buddha Plandi
Rabu Malam (27/04) sekitar pukul 19.00 WIB tim BuddhaZine tiba di Dusun Plandi dan langsung menuju pondok meditasi yang terletak di tengah-tengah dusun. Nampak puluhan umat sudah berkumpul di depan pondok dan akan memasuki ruangan Dhammasala untuk melaksanakan Sebulan Pendalaman Dhamma (SPD). Pak Tukiran yang ternyata ketua vihara bersama Pak Suratman langsung menyambut kami dan memperisalahkan kami singgah di rumahnya yang kebetulan berada tepat di belakang pondok. Tetapi kami memutuskan untuk mengikuti kegiatan SPD bersama umat terlebih dahulu sebelum singgah ke kediaman ketua vihara.
Nampaknya umat Buddha Plandi cukup kompak dan aktif dalam berkegiatan. “Selama SPD setiap malam umat melakukan pujabakti rutin, dan banyak juga yang melaksanaan Athasila. Kalau sebelum SPD ada kegiatan gotong royong di hari Minggu, Pujabakti rutin malam Rabu untuk bapak-bapak, Hari Rabu untuk ibu-ibu, malam Minggu untuk semuanya, dan Hari Minggu untuk anak SMB. Malam jumat latihan meditasi di pondok, kalau ndak ada meditasi ya mendengarkan ceramah di media kan sekarang banyak,” tutur Pak Tukiran.
Seperti kebanyakan sejarah yang terjadi di daerah-daerah lain, keberadaan agama Buddha di Plandi juga dimulai tahun 66-67 selepas tragedi G30/S. Mbah Sawintanom dan menantunya yaitu Mbah Darmo Suwito disebut-sebut sebagi tokoh awal mula kebaradaan agama Buddha di Plandi. Sebelum mengenal ajaran Buddha, keduanya merupakan penganut aliran Kejawen yaitu Kaweruh Naluri. Demi mecari identitas di KTP-nya kala itu, kedua tokoh tersebut mencari agama yang ajarannya dinilai lebih cocok denga kepercayaan yang dianutnya. Hingga keduanya pergi ke Gombong, Kebumen untuk belajar ajaran Buddha dan menemukan sebuah kecocokan dengan kepercayaannya. Dari sinilah kedua tokoh tersebut mulai mengenalkan ajaran Buddha di dusun Plandi.
“Lantas apa yang didapatkan dari belajar agama Buddha di Gombong ini kemudian diterapkan di sini, di dusunnya. Pertama-pertama yang mulai belajar Agama Buddha yang dibawa oleh Mbah Darmo Suwito ya anak cucunya, karena di sini memang banyak sekali keturunan Mbah Darmo. Dan warga sini bertambah banyak yang belajar Agama Buddha karena juga merasa lebih cocok dengan keyakinan warga sini. Akhirnya sekitar tahun 75an agama Buddha di sini mulai berkembang sampai sekarang,” sambung Pak Suratman.
Sejak mulai dikenalkannya agama Buddha di Plandi, umat baru mempunyai tempat ibadah tetap pertamanya di tahun 75an. Dimana kala itu masih merupakan rumah pribadi Mbah Darmo Suwito, dan bangunnanya pun masih berbahan kayu. Hingga di tahun 85’ Mbah Darmo menghibahkan lahannya untuk dibangun vihara. Di tahun itu juga umat merenovasi rumah Mbah Darmo Suwito dengan bangunan permanen dan akhirnya untuk pertama kali umat mempunyai vihara. Vihara pertama yang dibangun di ujung timur dusun tersebut bernama Vihara Metta Bhumi dengan luas bangunan sekitar 7 x 8 m2. Hingga saat ini sudah dilakukan empat kali renovasi. Meskipun berukuran kecil tetapi fasilitasnya cukup lengkap, ada ruang perpusatakaan, kuti, dan kamar mandi.
Seiring dengan semakin berkembangnya agama Buddha di Plandi, bimbingan umat pun semakin sering dilakukan oleh para tokoh agama Buddha di wilayah Banyumas dan Banjarnegara. “Kalau yang sering datang ke sini Bhante Subbhapanno dari Banjarnegara. Ceritanya dulu waktu Bhante Subha masih SMA pernah datang ke sini kemudian kenal dengan Mbah Darmo Suwito. Kemudian Bhante Subha sewaktu masih menjadi samanera dengan nama Subhasilo datang lagi ke sini bertemu mbah Darmo Suwito untuk sharing. Dari situ Bhante Subha merasa terkesan dengan Mbah Darmo Suwito. Setelah itu lama sekali tidak berkunjug ke sini, kemudian datang kembali sudah menjadi Bhikkhu dan merintis pembangunan Graha Bhavana,” imbuh Suratman.
Sebagai apresiasi bhante akan perjuangan Mbah Darmo Suwito dalam mengembangkan Buddha Dhamma, di tahun 2018 Bhante Subhapanno merancang pembagunan pondok meditasi. Setahun kemudian dilaksanakan peletakan batu pertama. Saat ini meskipun belum sempurna tetapi pondok meditasi yang diberi nama Graha Bhavana tersebut sudah bisa digunakan umat untuk berkegiatan.
Bangunan megah berlantai dua tersebut berdiri di atas lahan seluah kira-kira 200 ubin atau kisaran 2800 m2 yang merupakan hibah dan sebagian membeli dari beberapa umat Dusun Plandi. Pondok berjarak kurang lebih 100 meter sebelah barat dari vihara lama dan memiliki fasilitas lengkap dengan empat kamar, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi di lantai bawah. Sementara lantai atas digunakan sebagai aula meditasi sekaligus menjadi Dhammasala untuk kegiatan pujabakti umat.
Kini, umat Buddha di Plandi ada sekitar 34 KK dengan jumlah umat 145 orang. Suratman menambahkan bahwa terdapat umat yang terpaksa pindah Desa Watuagung karena ditahun 2016 terjadi bencana longsor di Plandi. Setelah adanya himbauan relokasi dari pemerintah pada tahun 2018, menyebabkan 12 KK umat Buddha dari Plandi harus pindah lokasi. “Meskipun jaraknya terpisah cukup jauh tetapi secara administrasi masih sebagai warga dusun Plandi. Dan mereka itu tetap aktif ikut kegiatan di vihara sini karena di sana belum mempunyai vihara sendiri. Untuk matapencahariannya juga masih harus ke sini,” katanya.
Dengan adanya fasilitas lengkap, umat menjadi semakin semangat berkegiatan. “Di hari-hari besar agama Buddha kami juga sering mengadakan perayaan dan biasanya kami berkerjasama dengan umat dari Banjarnegara dan Kebumen juga. Di samping kegiatan keagamaan kami juga ada kegiatan tradisi seperti Nyadran di makam, dan Suran. Nyadran untuk mengirim doa kepada leluhur, kalau Suran untuk menyambut tahun baru Jawa yang perayaannya menggunakan hasil-hasil bumi yang meskipun pelaksanaannya juga di makam,” pungkas Suratman. [MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara