Lereng Gunung Sumbing adalah salah satu tempat berkembangnya agama Buddha di Kabupaten Temanggung. Salah satunya di Dusun Kuncen, Desa Pandemulyo, Kecamatan Bulu. Terdapat sebuah vihara bernama Vihara Viriya Dhamma yang baru saja direnovasi beberapa tahun yang lalu.
Semenjak direnovasinya vihara kegiatan umat semakin aktif meskipun dengan jumlah yang relatif sedikit, hanya kurang lebih 7 KK itu juga tidak semuanya utuh satu keluarga beragama Buddha. Kegiatan sekolah minggu pun mulai berjalan kembali meskipun hanya beberapa anak saja.
Namun di balik keberadaan umat Buddha yang sekarang ternyata menyimpan keluh kesah serta keprihatinan dalam dinamika perkembangannya. Umat yang sekarang masih bertahan hingga kunjungan tim BuddhaZine pada Senin (26/10) merupakan orang-orang yang masih bertahan dalam Buddha Dhamma di tengah berbagai kesulitan yang mereka hadapi untuk mempertahankan agama Buddha.
Dari keterangan Darmadi (Adi), salah satu umat Buddha yang termasuk tokoh pemuda Buddhis Dusun Kuncen menerangkan bahwa dulu di tahun-tahun 70an hingga awal tahun 90an jumlah umat Buddha di Dusun Kuncen merupakan umat mayoritas dari total warga Dusun Kuncen. Memang Dusun Kuncen bukan dusun yang besar, jumlah keseluruhan warga hanya 35 KK.
“Dulu di awal-awal agama Buddha masih berkembang di sini sekitar tahun 80an itu kira-kira 85% penduduk sini beragama Buddha. tapi nggak tahu kenapa makin lama makin surut, sampai terbangun vihara pertama di sini pada tahun 2001 jumlah umat tinggal 50%,” katanya.
Jumlah tersebut kian hari kian menurun hingga saat ini tinggal 7 KK. Ada beberapa faktor yang menurut Adi merupakan penyebab semakin menurunnya umat di Dusun Kuncen, salah satunya faktor pembinaan dan akses pendidikan bagi anak-anak sekolah.
Menerangkan kisahnya sewaktu sekolah bahkan Adi tidak pernah mendapatkan pelajaran agama Buddha di sekolahnya begitu juga dengan teman-teman Buddhis yang lain. Ini disebabkan tidak adanya tenaga guru agama Buddha di sekolah sehingga ketika pelajaran agama siswa agama Buddha terpaksa harus keluar kelas dan menunggu hingga selesai jam pelajaran agama.
“Saya sendiri dulu begitu kalau pas pelajaran agama saya keluar kelas sendiri karena tidak ada gurunya. Dulu saya pernah mengajukan dua kali supaya di adakan guru agama Buddha tapi kepala sekolahnya nggak mau. Alasannya mau ijin dulu ke kecamatan tapi kan tetap saja keputusannya di kepala sekolah.”
“Itulah kendalanya, dulu muda-mudinya di sini banyak dan aktif juga di kegiatan vihara. tapi lama-lama ya hilang sedikit demi sedikit. Dulu waktu sekolah pun saya kadang terpaksa ikut pelajaran agama lain, kan nggak enak dan takut juga ketika ditanya agama Buddha terus suruh keluar,” ungkapnya.
Hingga saat ini pun tenaga guru agama Buddha di sekolahan dimana anak-anak umat Buddha bersekolah belum tersedia.
Belajar dari kisahnya serta keadaan umat Buddha yang sekarang ini masih aktif, Adi sangat mengharapkan adanya pembinaan yang lebih intens serta terutama sekali supaya akses pendidikan formal generasi umat Buddha ditingkatkan. Para umat berharap sekali adanya guru agama Buddha di sekolahan supaya anak-anak mereka juga mendapatkan pendidikan agama di sekolahan.
“Saya berharap bagi pihak-pihak yang paham jalurnya untuk pengadaan guru agama Buddha di sekolah formal ini bisa memperhatikan dan memberikan solusi untuk kondisi seperti ini. Saya menyayangkan sekali kalau sampai nasib anak-anak Buddhis di sini yang ibaratnya baru saja bangkit dan mulai aktif sama kaya jaman saya dulu. Jangan sampai keyakinan mereka pudar dan akhirnya meninggalkan agama Buddha karena kurangnya pendidikan,” pungkasnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara