Sabtu, (8/1) jelang siang, Suarti (50) warga Dusun Ngadisari bergegas memesan lontong kepada Mbok Wur dengan jumlah cukup banyak. Esok harinya lontong telah diantarkan oleh Mbok Wur ke Vihara Dusun Ngadisari, Desa Tempuran, Kecamatan Kaloran, Temanggung. Dengan segera umat Ngadisari berkumpul untuk melengkapi lontong dengan beberapa sajian lainnya, seperti roti, snack, dan nagasari. Mereka mengemasnya dalam kantong plastik bening yang akan dijadikan suguhan bagi umat di sore harinya.
Hari itu, Minggu Kliwon (9/1) adalah jadwal untuk melaksanakan kegiatan rutin sarasehan selapanan di Vihara Surya Putra, Dusun Ngadisari, Desa Tempuran, Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Kegiatan ini merupakan gabungan dari empat di vihara yang ada di Desa Tempuran; (1). Vihara Surya Putra Dusun Ngadisari, (2). Vihara Eka Sasana Surya Dusun Pencar, (3). Vihara Buddha Metta Kampung Mranggen, (4). Vihara Metta Karuna Dusun Kandangan. Dilaksanakan secara bergantian di empat vihara tersebut.
Cuaca hari itu gerimis, sebelum acara dimulai sebagian umat sudah berkumpul di dalam dhammasala. Sementara satu per satu ibu-ibu lainnya menyusul dengan membawa payung memasuki halaman vihara menembus rintikan air hujan untuk bergabung di dalam dhammasala. Rasa dahaga akan kegiatan bersama seakan terobati setelah hampir dua tahun tidak bisa berkumpul karena panemi.
“Akhirnya kita bisa selapanan lagi. Sudah kangen sekali rasanya bisa berkumpul seperti ini,” kata Pion, salah satu umat Buddha Ngadisari. Rasa kangen itu nampaknya juga dirasakan oleh para pemuda Buddhis di desa Tempuran. Nampak dalam acara ini banyak pemuda yang turut menghadiri. Ini pemandangan yang jarang terlihat pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. “Saya malah baru kali ini ikut selapanan di tetangga dusun. Dulu hanya ikut kalau di kampung sendiri,” kata Rina, pemuda Buddhis dari Kampung Mranggen.
Acara dimulai dengan puja bakti, dilanjut dengan ceramah dhamma oleh Suyadi, tokoh agama Buddha Dusun Bugen, Desa Kaloran. Dalam ceramahnya, Suyadi mengatakan kepada yang hadir untuk bangga menjadi umat Buddha. “Umat Buddha harus bangga karena kita hidup di Indonesia dimana negara kita mempunyai Pancasila sebagai dasar negara. Kenapa bangga? Karena kata Pancasila ini merupakan warisan dari nenek moyang di masa Hindu Buddha. Makanya di ajaran agama Buddha juga ada istilah Pancasila Buddhis,” jelasnya.
Menurut Suyadi, Pancasila negara dan Pancasila Buddhis sama-sama menjadi dasar menjalani kehidupan bagi masyarakat khususnya umat Buddha. Pengamalan sila pertama pada Pancasila negara merupakan implementasi sila, samadhi, dan, panna bagi umat Buddha. Pelaksanaan sila, samadhi, dan panna berarti menumbuhkan dan mengembangkan sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia. Yang paling dasar terutama bagi umat awam adalah pelaksanaan Pancasila Buddhis sebagai usaha dalam pengendalian diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.
Sila kedua Pancasila Negara juga mengandung sifat-sifat cinta kasih dan kasih sayang. Ini di dalam agama Buddha juga ditekankan sekali supaya kita bisa menjadi manusia yang beradab, manusia yang senantiasa berbuat bajik dan adil. Sila ketiga tentang persatuan untuk mendukung kehidupan yang harmonis dan rukun, menerima dan menghargai perbedaan dalam masyarakat.
“Kalau tidak bisa menerima kita sulit untuk bisa bersatu. Kehidupan yang rukun ini juga sangat ditekankan oleh guru agung kita, kerukunan mendukung persatuan dan kebahagiaan. Bagitu juga dengan sila-sila selanjutnya, itu semua seiring sejalan dengan ajaran-ajaran kebajikan Buddha, ” imbuh Suyadi.
Lebih jauh, Suyadi menjelaskan bahwa dalam lambang Pancasila tertulis semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menurutnya juga istilah dari masa Hindu-Buddha. Ini menjadi satu dorongan lain untuk menambah rasa percaya diri umat Buddha di Indonesia. Di samping itu Suyadi juga menekankan rasa syukur sebagai umat Buddha mempunyai keleluasaan untuk tetap merawat kebudayaan Jawa.
“Kita sebagai umat Buddha harus bersyukur karena kita didorong untuk tetap melestarikan tradisi dan kebudayaan kita sendiri. Terutama kita yang ada di Jawa hendaknya tetap menjaga budaya kita yang kaya akan makna ini. Contoh saja dalam hal bahasa, kita diajarkan bagaimana menempatkan dan menghargai orang lain, kalau dengan orang yang lebih tua kita diajarkan untuk menggunakan bahasa yang lebih halus daripada ketika berbicara dengan yang sepantaran atau yang lebih muda. Ini hanya salah satu contoh, yang lain masih banyak,” imbuhnya.
“Tetapi sebagai Warga Negara Indonesia, hal terpenting bagi kita umat Buddha adalah tidak menjadi penjahat bagi orang lain maupun bagi negara. Itu yang terpenting,”pungkas Suyadi. [MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara