Dalam satu bulan terakhir, masyarakat Kabupaten Temanggung menggelar upacara Nyadran. Upacara adat menghormat leluhur ini digelar setiap hari Jumat dengan waktu dan pasaran berbeda-beda.
Sadranan di Vihara
Pada Jumat Pon (13/4), pekan kemarin, ada beberapa dusun dan desa yang meyelenggarakan upacara Nyadran. Di antaranya: masyarakat Dusun Gletuk, Krecek dan Desa Kalimanggis.
Jumat Kliwon, (20/4) pekan ini lebih banyak lagi desa yang melaksanakan upacara bakti ini. Dusun Larangan Jayan, Desa Tleter, Desa Kandangan, Mranggen, dan sekitarnya. Dusun Kalisat, Desa Kalimanggis, dan Dusun Porot, Desa Getas.
Tak hanya waktu pelaksanaan yang berbeda, meskipun masih dalam lingkup satu kabupaten, tempat pelaksanaan sadranan juga dilakukan dalam bentuk berbeda di setiap dusun atau desanya.
Kalau upacara Nyadran di Desa Kemiri diikuti oleh semua orang, laki-laki dan perempuan, di Dusun Gletuk dan Krecek hanya diikuti oleh kaum laki-laki.
Berbeda lagi pada upacara Sadranan di Dusun Porot, Desa Getas, Kecamatan Kaloran. Di dusun ini, umat Buddha melaksanakan upacara Nyadran di vihara.
Meskipun begitu, tidak menghilangkan esensi tujuan dari Nyadran yaitu: (1). Mengirim jasa kepada leluhur sebagai wujud bakti, (2). Sebagai sarana berkumpul keluarga, (3). Srawung dan menjalin kerukunan dan komunikasi antarwarga, (4). Melestarikan tradisi dan budaya yang sudah berjalan turun-temurun.
Ada yang berubah, tapi esensinya sama
Upacara sadranan Dusun Porot dilakukan dalam dua tahap. Pertama diawali dengan pujabhakti dengan membacakan paritta pelimpahan jasa di dharmasala.
Selesai pujabhakti, para warga mengeluarkan makanan khas upacara nyadran seperti: sengkolon, kue lapis, wajik, jenang, aneka buah, dan lain-lain dari tenong kemudian dinikmati bersama. Di tahap ini, obrolan tentang makna nyadran dan berbagai kondisi umat Buddha menjadi bahan perbincangan.
“Makanan ringan ini simbol untuk bekal melakukan besreh (bersih makan), kalau zaman dulu ketika besreh ‘kan makanannya telo benem (singkong bakar).” tutur warga.
Setelah beberapa lama, makanan ringan kembali dimasukkan ke dalam tenong. Makanan ringan ditaruh di rumah dan membawa makanan berat berupa nasi tumpeng, ingkung dan berbagai lauk pauk pelengkapnya.
“Kalau di sini sudah tidak ada orang mikul Mas, sudah tidak punya salang (sebuah tali pengikat tenong) dan mbatan (alat untuk memikul, Jawa: pikulan), jadi “disunggi” terang warga lain. Setelah sanak saudara umat Buddha lengkap, makanan berat dikeluarkan dari tenong, nasi tumpeng dipotong kemudian didoakan oleh manggalia.
Doa pun dilakukan dalam dua bahasa, Bahasa Jawa dan pembacaan parita-parita suci. Upacara sadranan tak berhenti sampai di situ. Sebagai bentuk kecintaan terhadap seni dan budaya, selain kendurian juga diselenggarakan pentas seni rakyat. Seni rakyat ini menjadi bentuk hiburan tersendiri bagi masyarakat desa.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara