• Monday, 3 December 2018
  • Ngasiran
  • 0

Ada yang menarik dari Ceramah Umum Salim Lee pada acara Borobudur Writers & Culture Festival, di Ruang Vitarka, Hotel Manohara, Magelang, Jumat (23/11). Dalam pokok bahasan Bhumisambhara; Peran Suntingan Sutra-sutra Borobudur ini, Om Salim menyinggung soal penyebab Sutra-sutra Buddhis bervariasi dan bahasa yang digunakan Buddha.

Memahami bahasa yang digunakan oleh Buddha dalam menyampaikan ajaran ini dinilai penting untuk memahami keseluruhan tentang Candi Borobudur. “Pada waktu kita membuat ini (buku putih terjemahan Sutra lengkap Candi Borobudur), kita baru tau bahwa naskah (Sutra) yang dipakai oleh perancang Borobudur setidaknya menggunakan paling sedikit 5 – 6 sutra sebagai rujukan,” kata Om Salim.

“Pertanyaannya, mengapa Sutra-sutra Buddhis banyak versinya? Pada intinya ajaran Buddha itu diteruskan secara lisan untuk beberapa ratus tahun. Tidak hanya ajaran Buddha, semua ajaran agama yang ada di India saat itu memang diteruskan secara lisan, termasuk Weda,” kata Om Salim.

Pada masa Buddha hidup, Buddha memberi kebebasan kepada pengikut-Nya untuk mempelajari dan meneruskan ajaran-Nya dengan bahasa daerah masing-masing. Seperti yang ditemui dalam kisah Vinaya Pali dan dalam Vinaya dari Nikaya tradisi lain tentang dua bersaudara Brahmnin yang menjadi Buddhis.

Dari beberapa Vinaya ini diceritakan ada dua bersaudara Brahmin yang menjadi bhikkhu. Dua bersaudara ini karena terlatih menghafalkan Weda dalam chanda (teknik merapalkan Weda), minta dipertimbangkan supaya ajaran Buddha dikodefikasi dan distandarisasi dengan chanda. Ini disebabkan karena murid Buddha datang dari berbagai kalangan, yang berbeda bahasa, dua brahmin ini khawatir kalau ajaran nanti menjadi kacau karena bercampur.

Karena itu dua bramin ini minta Buddha mengajarkan ajaran-Nya dalam bentuk chanda atau distandarisasi. Tapi tanpa keraguan Buddha menjawab tidak. ‘Ajaran-Ku harus diajarkan dalam bahasa daerah masing-masing, dalam bahasa yang bisa kalian mengerti dan pahami.’

“Jadi dalam kebijakan terjemahan, panduan untuk cara penerjemahan ajaran Buddha bukan untuk dirapalkan, dengan intonasinya begini, bukan untuk dikodefikasikan tetapi untuk dimengerti. Karena itu, kemudian ajaran Buddha diterjemahkan dalam bahasa daerahnya masing-masing. Ini lho sebabnya Sutra-sutra ini variasinya banyak. Jadi jangan heran kalau misalnya kami memakai referensi banyak sutra dalam menjelaskan dan menerjemahkan relief Borobudur,” tegas Om Salim.

Dalam bahasa apa Buddha bicara?

Prof. Jan Nattier, dalam Ceramah Utama Translation & Transmission Conferenece di Boulder, Colombo, USA tahun 2017, mengupas lengkap tentang bahasa yang digunakan oleh Buddha. Jan Nattier, seperti yang dikutip oleh Om Salim, mengatakan Buddha menyampaikan ajaran-Nya dalam bahasa Magadhi Kuno. Hal ini tak lepas dari tempat tinggal Buddha di bagian timur laut India.

“Lahir di tempat yang sekarang dikenal sebagai negara Nepal bagian selatan, dan beliau menghabiskan sebagian masa pengajaran-Nya di wilayah yang dikenal sebagai Magadha. Magadhi Kuno bukanlah satu-satunya bahasa yang digunakan di India atau paling tidak di utara pada waktu itu. Sepertinya Buddha dapat berkomunikasi menggunakan lebih dari satu bahasa.”

Bahasa yang digunakan di India termasuk dari rumpun bahasa Indo-Aryan language. Indo-Aryan language dibedakan menjadi 3 periode; (1). Indo-Aryan Kuno, bahasa yang digunakan untuk Weda dari Rgweda dan Sanskrit klasik, (2). Bahasa Indo-Aryan Menengah (Middle-Indic), mulai muncul dalam prasasti-prasasti di sekitar masa Buddha hidup abad ke-5 sebelum masehi, (3). New Meddle-Indic, ini bahasa-bahasa India sekarang; ada Gujarat dan lain-lain.

Baca juga: Agama Buddha, Agama Masa Depan

“Bahasa-bahasa yang digunakan pada masa Middle-Indic ini, bahasa-bahasa daerahnya disebut prakrit. Nah dari sebegitu banyak prakrit mempunyai ciri-ciri khusus dari daerah masing-masing. Jadi mengapa kita tau bermacam-macam prakrit ini? rupanya pada waktu Raja Ashoka memerintah India, beliau banyak membangun prasasti di pelbagai daerah di India. Tetapi yang tidak kalah menarik dari isinya adalah prasasti-prasasti ini ditulis dengan bahasa daerahnya masing-masing. Bahkan ada prasasti yang memakai bahasa Yunani dan bahasa Aram, ini menarik sekali yang mana bahasa Aram adalah bahasa yang digunakan Yesus,” jelas Om Salim.

Pertanyaan selanjutnya, bahasa Pali ini di mana? Menurut seorang pakar Pali Oskar von Hinuber, Pali adalah bahasa hibrida yang terdiri dari campuran yang khas dari beberapa dialek. Oskar von Hinuber bersama pakar-pakar lain mengungkap fakta tentang bahasa hibrida Pali ini memiliki beberapa implikasi yang penting dan mencolok.

“Yang jelas, bahasa Pali bukan bahasa yang digunakan oleh Buddha. Tetapi tidak hanya Buddha tidak berbahasa Pali, memang tidak seorang pun memakai bahasa Pali. Artinya saat dilihat bahasa Pali ini tidak digunakan di mana-mana, bahasa Pali tidak menjadi bahasa daerah di mana pun. Karena ternyata bahasa Pali ini diusahakan digunakan untuk mengutip ajaran-ajaran. Jadi ketika dilihat di map, bahasa Pali tidak punya daerah. Tetapi bahasa Pali ini lebih mendekati bahasa prakrit di barat, karena kalau dilihat Buddha waktu itu hidup di bagian barat yang namanya Magadha, dan bahasa prakrit itu bernama Magadhe,” terang Om Salim mengutip Jan Nettier.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *