Agama Buddha di Temanggung dideklarasikan pertama kali di rumah Y. Sutrisno, seorang tokoh agama Katolik pada tanggal 1 Juni 1968. Pada waktu itu dihadiri oleh lebih dari 500 orang. Sejak saat itu, agama Buddha kemudian berkembang ke pelosok-pelosok desa, khususnya di Kecamatan Kaloran.
Perkembangan agama Buddha di Kecamatan Kaloran tidak bisa lepas dari sembilan tokoh penting yang menjadi figur “kebangkitan” agama Buddha Temanggung. Mereka terdiri dari para kepala desa, sekretaris desa, dan tokoh masyarakat Kalora yang saat itu menjadi panutan masyarakat Temanggung. Dengan karisma dan kebijaksanaan para tokoh tersebut, agama Buddha berkembang dengan pesat masa itu dan bertahan hingga kini.
Salah satu bukti itu adalah munculnya istilah Manggalia sebagai sebutan pemimpin pemimpin umat Buddha di Temanggung. Menurut Gunawan, salah satu tokoh agama Buddha Kaloran, Manggalia adalah istilah yang diciptakan oleh Mendiang Mbah Mangun Sudharmo (Mbah Manggis) sebagai tokoh kunci “kebangkitan” agama Buddha Temanggung.
“Untuk istilah itu (Manggalia) saya memang tidak punya referensi yang pasti, yang jelas, istilah itu diciptakan oleh Mantan Lurah, Mbah Mangun Sudharmo. Ini hanya ada di Temanggung yang menjadi bukti kegeniusan Mbah Manggis – sapaan akrab Mangun Sudarmo – dan para tokoh umat Buddha masa itu,” kata Gunawan.
Kata Manggalia sendiri menurut penafsiran Gunawan, bisa diambil dari bahasa Jawa atau Pali. “Kalau dari bahasa Jawa, itu berasal dari kata Manggala (ejaan Jawa; Manggolo) dan Laya (loyo) atau dalam bahasa Pali juga ada kata Manggala (berkah). Kalau berdasarkan tugas dan fungsi Manggalia di masyarakat, mungkir arti yang lebih dekat dari bahasa Jawa, yaitu untuk mengurusi persoalan kematian. Manggala itu bisa diartikan doa, sedangkan laya (loyo) itu artinya kemarian,” lanjut Gunawan.
Bagi umat Buddha perdesaan Temanggung, Manggalian memang mempunyai peranan penting di masyarakat. Mereka bertugas membantu administrasi kependudukan umat Buddha, perkawinan, kematian mulai dari memandikan jenazah, memimpin membacakan paritta pelimpahan jasa, mengurus peti, kain kafan dan lain-lain. Di vihara, Manggalia juga dijadikan sebagai sosok panutan yang memimpin upacara puja, hingga membabarkan Dharma.
Tidak hanya bertugas memimpin umat di vihara, di Temanggung Manggalia juga menjadi perangkat desa sebagai kepala urusan umat Buddha. Karena itu, mereka mendapat upah berupa bengkok (semacam tanah garapan bebas pajak). “Manggalia itu memang benar-benar kearifan Temanggung yang diciptakan dengan genius oleh Mbah Mangun Sudharmo dan kawan-kawan. Saya sendiri melihatnya ini sebuah cara untuk mengefektifkan tradisi yang lama yang ada kemudian dipadukan dengan agama Buddha yang pada masa itu baru berkembang,” pungkas Gunawan, seorang aktivis buddhis Temanggung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara