Menyusuri gang yang berukuran tak lebih dari dua meter. Hanya ada tulisan kecil sebagai penanda di bibir gang.
Di belakang rumah-rumah kaveling yang berjejer rapi, ada sepetak bangunan tua dengan kondisi kayu-kayu yang sudah lapuk bertuliskan Vihara Buddhayana Sanggar Pamujaan Grahadharmaloka.
Bangunannya tak besar, berukuran 4 x 6 m dengan satu kuti. Konon katanya bangunan ini menjadi saksi bisu perkembangan agama Buddha di daerah Batu, Jawa Timur. Bangunan mulai berdiri sejak 1950, bangunan ini menjadi tempat pembinaan ajaran Buddha di kota apel tersebut. Tak mewah, hanya sederhana, sangat menggambarkan ajaran Dharma yang penuh dengan kesederhanaan dan simple.
Di dinding bangunan yang catnya sudah mulai mengelupas, ada sketsa foto pendiri vihara tersebut. Adalah Romo Dayama yang mendirikan sekaligus membina vihara tersebut atau warga sekitar lebih sering menyebutnya sebagai sanggar.
Menurut pengakuan anaknya, Pak Ngatimin, dulu ketika Romo Dayama masih hidup sanggar selalu penuh dipadati umat-umat yang belajar Dharma. Hingga tahun 2000 Romo Dayama meninggal dunia, kemudian digantikan dengan muridnya Pak Karnoto.
Pak Karnoto pun membina sanggar tak lama, juga tidak maksimal. Karena pada waktu itu kondisi Pak Karnoto yang sudah agak sepuh dan mengalami sakit-sakitan menurut cucunya. Pak Karnoto menjadi pembina hanya selama sekitar 3 tahunan, kemudian meninggal pada tahun 2004. Sejak itu pula banyak umat yang tidak terbina dan lama kelamaan kondisi sanggar tak lagi seramai dulu.
Baca juga: Mengenal Umat Buddha Yamatitam Maluku
Tak ada satu pun keluarga Romo Dayama dan Pak Karnoto yang juga mewarisi ajaran Dharma. Bahkan ketika Pak Karnoto meninggal, jenazahnya tak dimakamkan secara Buddhis, karena anak dan cucunya tak mempelajari agama Buddha.
Di tahun 2006, menurut Pak Ngatimin, ada bhikkhu yang menetap di sanggar ini. Meski Pak Ngatimin tak lagi mengenal agama Buddha, namun kebutuhan dan urusan vihara/sanggar masih diurusnya. Karena menurutnya, ini merupakan warisan dari orangtuanya. Sewaktu ada bhikkhu yang menetap di vihara pun Pak Ngatimin yang mengurus segala kebutuhannya, meski dalam kondisi yang terbatas.
Walaupun ada bhikkhu saat itu, umat yang datang rata-rata dari luar Kota Batu. Untuk sekadar sembahyang atau mengunjungi bhikkhu guna berdana. Bhikkhu tersebut juga sering keluar untuk mengisi ceramah di tempat lain. Sehingga vihara sering kosong.
Bhikkhu yang diketahui bernama Slamet Raharjo itu sejak 2017 tak lagi menempati vihara tersebut. Sekarang ia berada di salah satu panti jompo di kawasan Lawang, Kabupaten Malang, karena kondisinya yang sudah sepuh dan tidak ada lagi ada yang mengurus. Sanggar itu pun menjadi sunyi senyap, tak ada lantunan-lantunan suci yang terdengar dari balik pintu kayu usang vihara.
Akhir-akhir ini, terbersit kabar bahwa vihara/sanggar ini akan dijadikan sebagai Tempat Pendidikan Jawa (TPJ) oleh warga sekitar. Inisiatif ini muncul dari tokoh-tokoh masyarakat di sekitar Jl. Sareh-Batu tempat vihara tersebut berdiri. Otomatis sanggar tak lagi difungsikan sebagai vihara karena selama hampir beberapa tahun tak lagi aktivitas kerohanian yang dilakukan secara kolektif oleh umat Buddha.
Warga menilai akan sangat disayangkan jika ada ruang serta tempat tapi tidak terfungsikan dengan baik. Ditambah semakin lama bangunan akan mengalami kerusakan karena tidak dirawat dan digunakan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara