Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) tahun ini kembali digelar pada 18-21 November 2021. Festival literasi dan seni pertunjukan tahunan ini mengangkat tema “Membaca Ulang Claire Holt: Estetika Nusantara, Kontinuitas, dan Perubahannya”.
Di dalam seremoni pembukaan acara pada Kamis (18/11) pagi, ditampilkan pidato kebudayaan oleh Jean-Pascal Elbaz. Ia adalah seorang budayawan asal Prancis yang telah tinggal lebih dari 20 tahun di Indonesia.
Pascal menjelaskan, di zaman modern ini, sudah banyak sarjana orientalis yang mendalami Indonesia. Tetapi trio kosmopolitan Claire Holt (1901-1970), Willem Frederik Stutterheim (1892-1942) dan Louis Charles Damais (1911-1966) adalah yang paling unik dan mempesona dalam segala hal.
Menurutnya, ketiga orang Eropa dari kebangsaan yang berbeda ini: Holt lahir di Riga, Latvia pada tahun 1901, tetapi kemudian menjadi orang Amerika yang dinaturalisasi; Stutterheim lahir di Rotterdam, Belanda pada tahun 1892; dan Damais yang lahir di Paris, Prancis pada tahun 1911 – masing-masing dengan caranya sendiri membantu menjelaskan sejarah dan budaya Indonesia secara pribadi.
Ketiga kepribadian yang sangat berbeda ini memiliki satu kesamaan, kekaguman mereka terhadap keterkaitan budaya yang kompleks yang membentuk bangsa Indonesia. Kehidupan dan karya mereka meninggalkan jejak yang masih bisa dilihat hingga saat ini.
Tapi bagaimana tepatnya ketiganya bertemu, dan apa yang menghubungkan mereka secara mendalam dan bagaimana karya mereka berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang sejarah Jawa dan bentuk budaya Indonesia? Pascal mencoba menguraikan dalam presentasinya.
W.F. Stutterheim tiba di Jawa pada tahun 1924. Ia baru saja mempresentasikan disertasi doktoralnya tentang sastra India di Leyden di bawah pengawasan profesor terkemuka, termasuk Nicolaas Johannes Krom. Disertasinya tentang legenda dan relief Rama di Indonesia masih dianggap sebagai karya penting arkeologi Indonesia. Ini bertentangan dengan generasi sarjana pertama yang sebelumnya percaya bahwa orang Jawa telah salah menafsirkan Ramayana karya Valmiki, epos yang berasal dari India.
Menurut Pascal, Stutterheim menunjukkan bahwa versi Valmiki hanyalah salah satu dari banyak versi, dan yang digunakan di Jawa sebagai sumber inspirasi untuk relief candi seperti Prambanan, mungkin adalah versi yang lebih tua.
“Itu adalah Ramayana yang asli, tentu saja diinspirasi dari India, tetapi ada banyak [unsur] yang lokal,” jelas Pascal.
Ia meneruskan, pada tahun 1926, Stutterheim diangkat menjadi Direktur Studi Klasik Oriental di sebuah perguruan tinggi umum di Surakarta (Solo). Perguruan tinggi ini, Algemene Middlebarre School (AMS), selanjutnya melatih generasi baru intelektual dan nasionalis besar Indonesia, termasuk Dr. Prijono, Dr. Tjan Tjoe Siem, Armijn Pane, Mohammad Yamin, dan Amir Hamzah. Stutterheim pada tahun 1932 lalu pindah ke Yogyakarta yang mana ia terus memperdalam budaya Jawa, mengajar, menulis buku pelajaran dan mempelajari situs arkeologi di Jawa dan Bali.
Dalam salah satu kunjungan rutin ke Bali inilah, menurut Pascal, Stutterheim bertemu dengan Claire Holt pada tahun 1930.
Claire Holt adalah seorang jurnalis perempuan keturunan Latvia yang menjadi warga negara Amerika. Dia lahir dengan nama asli Claire Bagg pada 1901 di Riga, Latvia, dari keluarga menengah atas Yahudi. Claire Holt adalah anak kedua dari lima bersaudara. Setelah menikah dengan guru bahasa Inggrisnya, mereka berdua pindah ke New York, Amerika Serikat.
“Di situ dia menjalani karier dia sebagai wartawan. Dia belajar menulis untuk koran dan juga sebagai kritikus tari,” ungkap Pascal.
Di kota “Big Apple” itu, Claire Holt juga mengikuti kursus mematung di studio Alexander Archipenko, pematung kontemporer Amerika kelahiran Ukrania. Pada Mei 1929, suami Claire Holt tewas karena kecelakaan. Claire bersama anaknya lalu kembali ke Riga, Latvia.
Suatu ketika, Angelica Archipenko, seniman yang juga istri Alexander Archipenko, menjenguk Claire Holt di Latvia. Dia kemudian mengajak Claire keliling dunia naik kapal. Pada Maret 1930 akhirnya, mereka menuju Hindia Belanda dan mendarat di Bali. Claire Holt segera menjadi bagian dari lingkaran pergaulan kaum intelektual dan seniman, termasuk W.F. Stutterheim yang mengajaknya melakukan penelitian.
“Di situ dia jatuh cinta dengan Stutterheim. Dan perjalanannya yang harusnya satu tahun dua minggu di Bali saja, menjadi sembilan tahun dia tinggal di Jawa,” jelas Pascal.
Adapun Louis Charles Damais, menurut Pascal tiba di Batavia dengan kapal pada 21 April 1937 dalam usia 26 tahun. Ia sebelumnya belajar berbagai bahasa di National School of Oriental Languages di Paris dan kemudian menyempurnakan bahasa Belanda dan Jawa kuno di Universitas Leiden, Belanda.
Pakar puluhan bahasa ini dibebani misi ilmiah ke Hindia Belanda oleh Menteri Pendidikan Nasional Prancis, dalam rangka “mempelajari bahasa, sastra, dan peradaban Jawa dan Melayu” di Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
“Louis Charles Damais adalah seorang orientalis dan seorang humanis,” kata Pascal.
Pada tanggal 27 April 1937, sehari sebelum berangkat untuk menetap di Solo, Damais melakukan kunjungan kehormatan untuk memperkenalkan diri kepada Dr. Stutterheim di kantornya di Departemen Arkeologi (sekarang Museum Nasional Jakarta). Tidak sampai beberapa bulan kemudian, pada 18 Juli 1937, Damais pertama kali bertemu Holt. Persahabatan antara tiga peneliti ini lalu dimulai.
“Mereka bertiga sering ketemu, di Solo, waktu menonton tari, di Mangkunegaran, atau di Jogja, atau mereka bertiga jalan-jalan kunjungi candi,” jelas Pascal.
Titik koneksi
Pascal yang mantan Direktur IFI (Lembaga Indonesia Perancis) menjelaskan, dalam pertukaran surat yang menarik antara Damais dan Holt, terkumpul tiga puluh lima surat yang ditulis antara tahun 1945 dan 1948, setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua dan dalam euforia kemerdekaan Indonesia. Dari situ bisa dilihat lebih dalam tentang pribadi Stutterheim.
“Yang jelas Stutterheim itu di poros, dia di tengah,” ungkap Pascal terkait relasi ketiganya.
Dalam surat itu, terungkap bahwa hubungan cinta antara Holt dan Stutterheim yang di luar nikah banyak mengalami kesulitan sosial, budaya atau administrasi. Stutterheim tidak bisa menikahi Holt karena istrinya di Belanda tidak mau menceraikannya.
Pascal meneruskan, bagi Damais, Sutterheim memiliki pengaruh besar pada karirnya dengan mengarahkannya ke epigrafi yang akan menjadi subjek utama studinya. Stutterheim dengan berani secara tidak konvensional menunjuk pada tahun 1942 Damais, pemuda Prancis berusia tiga puluh tahun sebagai asistennya di departemen Arkeologi Belanda di Batavia. Tidak diragukan lagi bahwa Stutterheim bagi Damais adalah teman tetapi juga mentor.
“Stutterheim sangat terkesan dengan kemampuan Louis Charles Damais untuk berbagai bahasa. Dan dari situ dia mengangkat Louis Charles Damais untuk jadi epigrafis asisten dia,” kata Pascal.
Musik dan tarian
Menurut Pascal aspek seni sangat menyatukan antara ketiga kepribadian ini, terutama seni musik dan tarian. Stutterheim memiliki kepribadian artistik dari masa kecilnya, menghargai seni dalam segala bentuknya. Salah satu kakak laki-lakinya adalah seorang pelukis profesional, tetapi dia bermain musik, paling sering komposisi J.S. Bach di organ dan memiliki minat yang baik untuk menggambar.
Damais dibesarkan di toko partisi dan alat musik yang dikelola oleh ibunya. Dia adalah seorang musisi, pemain biola dan piano yang sangat baik, sementara kakak laki-lakinya menjadi komposer modern profesional. Pertemuan pertamanya dengan Indonesia adalah di Solo, pusat penting bagi tari dan musik tradisional Jawa, khususnya di dalam istana Sultan Mangkunegara, di mana ia belajar gamelan dan bahkan menari. Bahkan, artikel ilmiah pertama yang diterbitkan dalam jurnal berbahasa Belanda oleh Damais pada tahun 1939 semuanya dikhususkan untuk seni Kraton Yogyakarta, khususnya Wayang Orang.
Sedangkan Holt, yang belajar tari saat remaja di Moskow pada 1920-an, datang ke Indonesia dengan keahlian tari kontemporer saat menulis artikel tentang tari dan ulasan pertunjukan tari di New York. Penemuannya tentang tari di Bali dan Jawa menurut Pascal adalah wahyu sejati baginya. Holt belajar tari di Solo dari Mangkunegara VII. Dan sekembalinya dari Eropa pada tahun 1933, Holt mengambil pelajaran tari di Jogja di Krido Bekso Wiromo di bawah bimbingan Pangeran Ario Tedjokusumo, putra Sultan Hamengkubwono VII.
“Tiga-tiganya sering pergi ke acara-acara musik dan tari,” papar Pascal.
Anti kolonial
Pascal menuturkan, Damais, Holt, dan Stutterheim sangat tidak nyaman dalam suasana kolonial Hindia Belanda. Holt di atas segalanya adalah kosmopolitan yang terganggu dengan reaksi negatif terhadap hubungan di luar nikahnya dengan Stutterheim. Meskipun dia tidak menyebutkan anti-kolonialismenya dalam surat-suratnya dengan Damais, peneliti Benedict Anderson melaporkan bahwa Claire, pada tahun 1960-an, tidak mau untuk mendengarkan kuliah di Universitas Cornell oleh Theodor Gautier Pigeaud, seorang spesialis terkenal dalam Sastra Jawa, karena posisinya yang pro-kolonial.
Sementara Damais, yang menikah pada tahun 1940 dengan wanita Jawa muda dan berpendidikan Ny Soejatoen Abdul Arief Poespokoesoemo, di sisi lain, tidak berhenti berurusan dengan isu kolonialisme ini. Dalam suratnya kepada Holt dan dia merangkum posisinya dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Oktober 1945, yang menekankan kesetaraan manusia dan bangsa.
Sedangkan Stutterheim, menurut Pascal menulis sangat banyak artikel tentang Jawa kuna, terutama tentang prasasti. Lebih khusus lagi, penelitian arkeologinya tentang Bali dianggap sangat luas dan menyeluruh, yang membuktikan kecintaan Stutterheim akan Nusantara.
“Amir Hamzah yang cerita bahwa waktu Stutterheim itu mengajar, Stutterheim itu selalu mengarahkan anak-anak Indonesia untuk tidak terlalu dipengaruhi oleh kebudayaan barat. Malah harus pelajari kearifan lokal sendiri,” jelas Pascal.
Jean-Pascal Elbaz
Aktif bekerja sebagai penerjemah tiga bahasa, yakni Indonesia, Inggris, dan Prancis. Pria yang telah banyak menerjemahkan berbagai subtitle film dari bahasa Indonesia ke Inggris/Prancis ini tengah sibuk menyelesaikan gelar S2-nya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pascal mendapatkan banyak data terkait presentasinya ini dari anak Louis Charles Damais, yakni Sudarmaji Damais, yang telah dikenalnya di Jakarta sejak 30 tahun lalu. Pascal pada tahun 90-an juga pernah bertemu dan mewawancarai Ibu Toen, isteri Louis Charles Damais.
Sebagai tambahan informasi, Pascal juga adalah seorang praktisi buddhis, sudah sejak lama. Penulis pernah beberapa kali mengikuti retret bersama dengan dirinya, di antaranya retret Lam Rim bersama Dagpo Rinpoche di Jawa Timur, serta retret meditasi Chan bersama Guo Yuan Fashi di Jawa Tengah, beberapa tahun silam.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara