Menyambut hari ulang tahunnya yang ke 9 yaitu tanggal 1 Desember 2020, BuddhaZine bekerjasama dengan Yayasan Bumi Borobudur dan Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia (APTABI) menyelenggarakan webinar Piwulang Borobudur bertema Cara Pandang dan Kehidupan yang Bermanfaat.
Webinar digelar dalam selama dua hari Sabtu dan Minggu (28-29 November) dengan menghadirkan seorang narasumber pemerhati Borobudur yang sudah melakukan penelitian tentang relief-relief Borobudur lebih dari 20 tahun, sekaligus pendiri Yayasan Bumi Borobudur, Salim Lee. Acara dipandu oleh Eko Nugroho selaku host dan dimoderatori oleh Doktor Yulianti.
Berbicara tentang Borobudur tentu masyarakat Indonesia tidak asing lagi dengan berbagai pandangan mengenai Borobudur, banyak buku serta hasil penelitian yang menjelaskan tentang Borobudur dari berbagai sudut pandang. Namun semua penjelasan selama ini belum cukup menjelaskan makna adanya Borobudur.
Pada webinar Piwulang Borobudur, Salim Lee memberikan penjelasan tentang Borobudur seakan membuka pengetahuan baru yang lebih luas bagi para peserta webinar, sehingga menjadi lebih jelas dan mengerti apa arti Borobudur, tujuan pembangunan Borobudur serta ajaran yang terkandung di dalamnya.
Piwulang
Membuka pembicaraan, Salim Lee atau yang akrab di panggil Om Salim memberikan sapaan kepada seluruh alam seisinya dengan mantra berbahasa Jawa.
Om Awigenham Astu, Rahayu Sagung Dumadi
Kata Piwulang Borobudur menurut Om Salim sangat cocok dan tidak salah alamat, hal ini karena sesuai dengan salah satu fungsi utama Borobudur yaitu sebagai piwulang atau ajaran.
Borobudur bukan hanya sebuah bangunan berupa tumpukan batu dengan berbagai hiasannya namun Borobudur merupakan sebuah peta bagi manusia yang berkehendak untuk merealisasikan potensi tertinggi dalam diri sendiri, yaitu mencapai kebebasan dari semua bentuk penderitaan. Inilah sebabnya Borobudur sangat tepat jika disebut sebagai piwulang atau ajaran.
Mengawali penjelasan Om Salim menerangkan bahwa semua yang ada di Borobudur adalah sebuah kebajikan, “Semua yang ada di Borobudur ini adalah ajaran kebajikan. Dan jika kita tilik perbedaan dari candi-candi Buddhis lain yang ada, Borobudur ini kalau saya boleh berpendapat memang dibuat untuk semua rakyat masa itu.”
“Makanya terbuka dan siapa saja bisa masuk, bisa melihat-lihat relief. Beda dengan yang lain, yang ada pintu masuknya dan dulu itu tidak semua orang yang bukan dari kalangan kerajaan bisa masuk dan belajar di dalamnya. Itu bedanya Borobudur,“ katanya.
Lebih lanjut Om Salim menjelaskan bahwa rancangan Borobudur yang bertingkat dan seperti itu adalah supaya bisa untuk Pradaksina sehingga ketika sampai puncak orang paham tahap-tahap ajaran tersebut. Dan semua yang dipelajari dari dasar hingga puncak adalah ajaran kebajikan, dengan kata lain Borobudur juga sebagai tempat untuk mengumpulkan kebajikan.
“Makanya disebut Bumi Sambhara, Bumi artinya tempat, Sambhara adalah kumpulan. Tempat untuk mengumpulkan kebajikan-kebajikan yang akan mendukung kondisi-kondisi kehidupan kita menjadi lebih baik. Bahkan kumpulan kebajikan atau yang disebut Punnya ini juga yang menjadi kekuatan seseorang untuk mencapai keBuddhaan, terbebas dari segala penderitaan,” lanjut Om Salim.
Penjelasan
Penjelasan rinci dimulai dari relief-relief yang terukir dari lantai dasar Borobudur hingga stupa puncak Borobudur menurut Om salim adalah sebuah langkah-langkah bagi seseorang yang ingin mencapai potensi tertingginya. Secara umum Om Salim merumuskan ajaran-ajaran dalam setiap tingkat Candi Borobudur ke dalam sebuah istilah Jawa.
“Lantai dasar berupa relief-relief yang menjelaskan tentang hubungan perbuatan dengan akibatnya ini disebut sebagai relief-relief Karmawibhanga dalam istilah Jawa adalah Ngunduh Wohing Pakarti.
Sedang lantai di atasnya adalah relief-relief tentang Jataka dan Awadana yang mengisahkan banyak kebajikan yang dilakukan oleh seorang Bodhisatwa dalam usaha mengumpulkan kebajikan sebagai syarat mencapai pembebasan, dalam istilah Jawa ini lebih tepat dengan ungkapan Migunani tumrap ing liyan.”
Dari pengertian tersebut Om Salim menjelaskan lebih dalam dan lebih mudah untuk dimengerti bahwa pada lantai dasar Borobudur ini mengajarkan kita bagaimana hidup bermasyarakat yang baik, tidak merugikan orang ataupun makhluk lain.
Supaya dalam hidup seseorang bisa mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan buruk dan jahat, ini adalah inti dari relief dasarnya. Jika melihat lantai Jataka dan Awadana bahwa diajarkan supaya menjadi manusia ataupun makhluk yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Dilihat dari hal ini Om Salim menerangkan bahwa,
”Hidup ini kalau kita belum bisa memberikan manfaat bagi orang lain minimal kita jangan merugikan atau membuat orang lain menderita. Inilah yang harusnya kita terus renungkan ketika kita mengingat Borobudur,” lanjutnya.
“Sedang untuk lantai empat adalah Lalitawistara, kisah perjuangan terakhir seorang Bodhisatwa sebelum mencapai ke Buddhaan. Kata Lalita berarti tarian, sedang wistara berarti luas. Dengan kata lain bisa diartikan Lalitawistara ini sebagai Kiprah Pamungkas seorang Bodhisatwa hingga mencapai keBuddhaan.
Oleh karena itu Lalitawistara ini mengisahkan hanya dari ketika Bodhisatwa berdiam di Surga Tusita kemudian memutuskan untuk lahir kembali sebagai manusia hingga menjadi Buddha. Kisah Buddha setelah mencapai keBuddhaan hingga parinibbana tidak dikisahkan dalam Lalitawistara, makanya kurang tepat jika Lalitawistara ini diartikan sebagai kisah hidup seorang Buddha,” jelasnya.
Lantai Lalitawistara disambung dengan lantai relief Gandawyuha, menurut Om Salim ini ada penjelasan yang menarik dan perlu waktu khusus, sehingga pada sesi hari pertama tidak dijelaskan secara detail mengapa relief Gandawyuha terpahat di atas lantai Lalitawistara.
Om Salim melanjutkan penjelasan setelah lantai relief Gandawyuha adalah lantai paling atas yang disebut dengan Lantai Dharmakaya. Di lantai ini terbangun banyak Stupa dan Rupang Buddha dengan satu stupa induk pada puncaknya sebagai representasi dari tiga hal yang berhubungan dengan Buddha yaitu Buddha Raga, Buddha Wacana dan Buddha Citta.
Lantai ini juga sebagai simbol tercapainya potensi tertinggi manusia yaitu mencapai pembebasan dari penderitaan, mencapai kebahagiaan abadi, Nibbana, dalam istilah Jawa bisa disebut sebagai Memayu Hayuning Bawana.
Nilai seni
Dilihat dari aspek kebudayaan dan seni, Borobudur merupakan wujud kecerdasan serta nilai seni yang tinggi dari para nenek moyang bangsa Indonesia. Meskipun ajaran yang ada di dalamnya berasal dari luar Nusantara yaitu India namun corak seni pahatnya adalah asli khas Nusantara dan ini tidak ada di luar negeri manapun.
“Ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita mewariskan kebudayaan yang sangat percaya diri dan kokoh. Dalam artian bahwa nenek moyang kita mampu menerima hal-hal dari luar namun tidak ditelan mentah-mentah, dipelajari dan diolah sehingga melebur dalam kebudayaan asli yang sudah ada.”
“Hal ini bisa dibuktikan dari apa yang terpahat di Borobudur yang mewakili budaya dan adat Nusantara, misalnya ukiran flora dan fauna juga bentuk tarian dan alat musik yang digunakan dalam relief adalah apa yang ada di lingkungan Nusantara terutama daerah di mana Borobudur berada. Bukan dari India atau luar negeri lainnya,” pungkasnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara