• Sunday, 29 November 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

“Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Savatthi, di Jetavana, di Vihara Anāthapindika…” Banyak khotbah Buddha yang diawali dengan kalimat seperti ini, dan oleh karena itu nama dari sang umat awam utama, Anāthapindika, dikenal baik oleh para pembaca literatur Buddhis.

Namanya berarti “seseorang yang memberikan dana (pinda) kepada yang tak-mampu (anatha),” dan merupakan panggilan kehormatan Sudatta, si perumahtangga dari Kota Savatthi.

Pertemuan pertama Anāthapindika dengan Buddha terjadi segera setelah vassa ketiga sejak Buddha mencapai Pencerahan Sempurna. Pada masa awalnya, Buddha belum menetapkan peraturan apapun mengenai tempat berdiam bagi para bhikkhu.

Para bhikkhu tinggal dimanapun yang mereka mau—di hutan, di bawah pohon, di bawah bebatuan yang menonjol, di jurang, di gua, di kuburan, dan di ruang terbuka.

Pada suatu hari, seorang pedagang kaya dari Rajagaha, ibukota dari kerajaan Magadha, menjadi pengikut setia Sang Buddha. Ketika melihat cara hidup para bhikkhu, ia menyarankan kepada para bhikkhu untuk bertanya kepada Sang Guru apakah beliau mengijinkan mereka untuk menerima tempat tinggal yang permanen.

Ketika Buddha memberikan ijinnya, si pedagang langsung mendirikan tidak kurang dari enam puluh tempat tinggal bagi para bhikkhu, ia menjelaskan bahwa ia perlu mengumpulkan jasa kebajikan. Dengan dibangunnya vihara pertama itu, maka sebuah landasan telah dibuat untuk penyebaran Dhamma, karena sekarang telah ada pusat pelatihan bagi Sangha.

Pedagang ini memiliki seorang saudara ipar yang bernama Sudatta tetapi selalu dipanggil Anāthapindika, pedagang terkaya di Savatthi. Pada suatu ketika, Anāthapindika sedang melakukan perjalanan bisnis di negara tetangga Magadha, ia mampir ke Rajagaha.

Seperti biasa, ia selalu mampir dulu ke rumah saudara iparnya, yang dengannya terikat persahabatan yang hangat. Ketika memasuki rumah, dengan terkejut ia mendapati bahwa orang-orang di rumah itu nyaris tidak memperhatikannya.

Sebelumnya ia telah terbiasa mendapat perhatian yang penuh dari saudara iparnya, serta penerimaan yang hangat dari para penghuni rumah. Tetapi sekarang ia menemukan mereka begitu sibuk, begitu bersemangat membuat persiapan yang rumit.

Ia bertanya kepada saudara iparnya yang sedang sibuk, mengenai maksud dari semua ini. Akhirnya ia mengetahui bahwa Buddha telah diundang oleh saudara iparnya untuk makan besok.

Malam itu, ketika Anāthapindika berbaring tertidur, ia tergerak oleh pikiran dan perasaan yang berkecamuk. Begitu kuat perasaannya menanti pertemuan esok sehingga ia terbangun tiga kali di malam hari, berpikir bahwa hari sudah pagi.

Akhirnya, ia bangun bahkan sebelum fajar dan keluar dari kota menuju vihara. Dalam kegelapan, rasa takut mendatanginya, keraguan dan ketakpastian berkecamuk dalam hatinya, dan semua insting duniawinya memberitahu untuk kembali. Tetapi makhluk halus yang tak-terlihat bernama Sivaka mendorongnya untuk terus,

“Seratus ribu gajah,
Seratus ribu kuda,
Seratus ribu kereta yang ditarik bagal,
Seratus ribu gadis
Yang dipercantik dengan perhiasan dan anting-anting—
Kesemuanya tidak seharga seperenam belas
Satu langkah maju.”

“Majulah, perumahtangga! Majulah, perumahtangga! Melangkah maju lebih baik bagimu, janganlah berbalik lagi.”

Kemudian sepanjang sisa malam itu, Anāthapindika berjalan dengan tekad bulat. Selang beberapa waktu, ia melihat dalam kabut fajar sesosok orang berjalan dengan tanpa suara ke belakang dan ke depan. Anāthapindika berhenti. Kemudian sosok itu memanggilnya dengan suara merdu yang tak dapat digambarkan: “Datanglah, Sudatta!”

Anāthapindika terkejut ketika disapa demikian, karena tidak ada orang di sana yang memanggilnya dengan nama kecilnya. Ia hanya dikenal sebagai Anāthapindika, dan lagipula, ia tidak dikenal oleh Sang Buddha dan telah datang tanpa pemberitahuan.

Sekarang ia yakin bahwa ia berada di hadapan Yang Tercerahkan. Diliputi dengan bobot suasana dari pertemuan itu, ia jatuh di kaki Sang Guru dan bertanya dengan tergagap-gagap: “Apakah Sang Bhagavā tidur dengan nyenyak?” Dengan jawaban beliau terhadap pertanyaan konvensional ini, Sang Buddha memberitahu sekilas mengenai keagungannya yang sebenarnya kepada Anāthapindika:

Selalu tidur dengan nyenyak,
Sang brahmana yang dahaganya terpuaskan sepenuhnya,
Yang tidak melekat pada kenikmatan indria,
Sejuk di hati, tanpa menguasai.
Telah memotong semua kemelekatan,
Telah melenyapkan kekhawatiran dari hati,
Orang damai tidur nyenyak,
Karena ia telah mencapai damai di pikiran.

Kemudian Sang Bhagavā, sambil membimbing Anāthapindika selangkah demi selangkah, berbicara kepadanya mengenai memberi, kemoralan, surga; bahaya, kesia-siaan, dan sifat menodai dari kenikmatan indria; manfaat pelepasan.

Ketika beliau melihat bahwa hati dan pikiran Anāthapindika sudah siap—mudah menerima, tidak terganggu, bersemangat dan damai—beliau menjelaskan kepadanya ajaran unik Yang Tercerahkan: Empat Kebenaran Mulia mengenai penderitaan, sebabnya, berakhirnya, dan jalan untuk mengakhirinya.

Dengan itu, mata kebenaran yang tanpa noda, bersih dari debu (dhammacakkhu) terbuka bagi Anāthapindika: “Apapun yang memiliki sifat alami timbul, semua juga memiliki sifat alami tenggelam.“

Anāthapindika telah memahami kebenaran Dhamma, mengatasi semua keraguan, dan tanpa goyah; mantap dalam pikiran, ia sekarang mandiri dalam Ajaran Sang Guru. Ia telah merealisasi jalan dan buah pemasuk-arus (sotapatti).

**dicuplik dari: Riwayat Hidup Anathapindika: Penyokong Utama Sang Buddha, Insight Vidyasena Production.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *