• Tuesday, 18 February 2025
  • Surahman Ana
  • 0

Foto: Ana Surahman

Vihara Arya Dipasena, yang terletak di Desa Ranca Iyuh, Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang, Banten, menyimpan sejarah panjang penuh perjuangan dan keteguhan hati. Berdirinya vihara ini tidak lepas dari peran besar tokoh-tokoh militan dan dukungan umat Buddha yang gigih. Dalam wawancara dengan Grinata Kusuma, Dewan Pembina Yayasan Budhi Dhamma Bhakti Tangerang, terungkap bagaimana perjalanan panjang ini dimulai dan berkembang hingga menjadi seperti sekarang, Minggu (15/12/2024).

Awal Mula Kebangkitan Agama Buddha di Ranca Iyuh

Kisah ini bermula pada tahun 1990, ketika Romo Dhammaswara, seorang tokoh agama Buddha dari Majelis Pandita Buddha Dhamma (sebelum berganti nama menjadi Maghabudhi), mengadakan bincang-bincang kecil dengan pemuda dan orang tua di Desa Ranca Iyuh. Saat itu, meskipun banyak warga yang beragama Buddha, praktik keagamaan mereka masih bersifat tradisional. “Waktu itu umat di sini, walaupun agama Buddha tetapi hanya tradisi, kalau orang bilang Buddha cung-cung cep,” kenang Grinata.

Pada April 1991, kebaktian pertama kali diadakan di rumah orang tua Grinata. Romo T. Harmanto, yang turut hadir, memberikan nama Cetiya Budhi Dhamma Bhakti sebagai cikal bakal berkembangnya agama Buddha di Ranca Iyuh. “Ini awal atau cikal bakal berkembangnya Agama Buddha di Ranca Iyuh ini,” ujar Grinata.

Pada tahun 1992, Yayasan Budhi Dhamma Bhakti resmi berdiri. Dengan semakin banyaknya umat yang hadir dalam kebaktian, muncul kebutuhan untuk membangun vihara. Namun, rencana ini terkendala perizinan. “Tahun 1992 kita membentuk yayasan, lalu merencanakan membangun vihara karena umat sudah lumayan banyak. Kalau di rumah sudah tidak cukup,” jelas Grinata.

Baru pada tahun 1997, dengan saran dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Tangerang mengundang para tokoh sekitar untuk menjalin komunikasi perihal rencana pembangunan vihara. Namun, rencana ini tidak berjalan mulus. “Kita didemo ribuan orang, karena dikira kita mau membangun bukan vihara,” cerita Grinata. Akibatnya, pembangunan vihara terpaksa dihentikan, dan kebaktian pun ditunda.

Meskipun menghadapi tantangan besar, semangat umat Buddha di Ranca Iyuh tidak padam. Grinata menyebutkan ada anak-anak muda militan, mendiang Hendy Wijaya dan Apik yang terus melayani umat di tengah suasana kurang kondusif, menjadi tokoh inspiratif dalam memperjuangkan kelestarian Buddha Dhamma di Ranca Iyuh.  “Mereka tidak kebaktian, tetapi mereka tetap melayani umat. Pesan mereka cuma satu: bertekad bahwa kelak kita akan memiliki vihara,” kata Grinata.

Pada tahun 2000, setelah tiga tahun vakum, kebaktian kembali diadakan di rumah paman Grinata. “Di situlah anak-anak muda berkumpul dan melakukan kebaktian kembali,” ujarnya. Semangat ini akhirnya membuahkan hasil ketika donatur dan tokoh masyarakat mendukung rencana pembangunan vihara.

Pembangunan vihara tidak lepas dari berbagai rintangan. Pada tahap awal, Dhammasala (ruangan kebaktian) yang sedang dibangun dihancurkan oleh massa. “Genteng dari donatur yang baru saja naik, habis semua. Tembok banyak lubang bekas bodem,” kenang Grinata. Namun, dengan dukungan aparat dan tokoh masyarakat, pembangunan akhirnya bisa dilanjutkan.

Perjuangan ini tidak lepas dari pengorbanan. Salah satu anak muda militan, Hendy Wijaya, meninggal dalam kecelakaan saat refreshing di pantai. “Dia yang menjadi sejarah bergeraknya umat Buddha di sini,” kata Grinata dengan penuh hormat.

Vihara Arya Dipasena Kini: Pusat Kegiatan dan Kebaktian

Setelah melalui perjuangan panjang, Vihara Arya Dipasena akhirnya berdiri kokoh. Kegiatan keagamaan seperti Pabbajja Samanera dan Atthasilani rutin diadakan sejak tahun 2014. “Kita menggerakkan banyak orang dengan adanya program ini,” ujar Grinata.

Kini, Vihara Arya Dipasena mempunyai bangunan yang cukup megah, terdiri dari Dhammasala, halaman cukup luas, kuti dan ruang pelatihan pabbajja terbangun tiga lantai di bagian belakang Dhammasala, juga dilengkapi dengan dapur dan kamar mandi. Dan hal unik dari vihara ini juga terdapat kelenteng kecil tepat di samping kanan Dhammasala, yang sengaja dibangun untuk melestarikan tradisi Tionghoa.

 Berdasarkan data vihara, saat ini ada kurang lebih 1600 umat Buddha yang aktif berkegiatan, termasuk 150 anak-anak Sekolah Minggu Buddha (SMB). Jadwal kegiatannya pun cukup padat seperti puja bakti umum pada hari Jumat, hari Sabtu untuk puja bakti remaja, sementara hari Minggu untuk kegiatan anak-anak SMB.

Ari Kurniawan, tokoh pemuda Buddhis Ranca Iyu, menyampaikan bahwa pelayanan umat juga dilaksanakan di luar vihara. “Kami juga melayani pembacaan Paritta Avamanggala (kematian) dan Manggala seperti pemberkahan isi rumah, ulang tahun, dan lainnya,” ujar Ari.  

Pada tahun 2024, berdasarkan Surat Rekomendasi Kepala Vihāra dari Saṅgha Theravāda Indonesia (STI) pada tanggal 23 Maret yang ditetapkan di Batam, dimana hasil keputusan Rapat Pimpinan memberi kewenangan kepada Bhikkhu Senajayo sebagai Kepala Vihāra Ariyadīpasena. Sejak itu, vihara ini sudah resmi memiliki Kepala Vihāra.

Perjalanan panjang Vihara Arya Dipasena adalah bukti nyata keteguhan hati dan semangat kebersamaan umat Buddha di Ranca Iyuh. “Tidak ada mereka, tentu ceritanya berbeda,” ujar Grinata, merujuk pada para tokoh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *