
Foto: Ngasiran dan Ana Surahman
Sebanyak 1.760 umat Buddha dari 83 vihara di seluruh Indonesia mengikuti Gerakan 1.000 Atthasila Online via Zoom dan YouTube pada Sabtu (12/4) pukul 05.00 WIB. Kegiatan ini diselenggarakan oleh PP Wanita Theravada Indonesia (Wandani) bersama Panitia Gema Waisak 2025 sebagai pembuka rangkaian Perayaan Waisak Nasional 2025 yang mengusung tema “Kebijaksanaan Dasar Keluhuran Bangsa”.
Gerakan Atthasila Online, yang dimulai sejak 2022, menunjukkan tren peningkatan signifikan. Pada 2024, tercatat 1.446 peserta dari 48 vihara, sedangkan tahun ini melonjak menjadi 83 vihara.
Berbagai vihara tersebut tersebar di beberapa provinsi dan pulau di Indonesia seperti Sumatera 8 vihara, DKI Jakarta 9 vihara, Banten 4 vihara, Jawa Barat 7 vihara, Jawa Tengah 38 vihara, Jawa Timur 6 vihara, DIY 2 vihara, Kalimantan 8 vihara, Sulawesi 2 vihara, NTB 4 vihara, Papua 2 vihara, dan Jambi 1 vihara. Selain itu, terdapat tambahan 17 peserta dari pendaftar individu dan organisasi lain.
Dari Pandemi ke Gerakan Spiritual Nasional
Gerakan ini bermula saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia yang berakhir pada 2022. Wenny Lo, Ketua Umum WANDANI, menjelaskan, “Atthasila Online lahir saat pandemi, bagaimana kami memikirkan agar umat Buddha merasakan kebersamaan dan tidak merasa sendiri.”
Ide ini terinspirasi dari lahirnya 1.000 atthasila di Vihara Mendut (2014). Meski awalnya menghadapi kendala, kegiatan ini berkembang menjadi gerakan nasional di bawah naungan Keluarga Buddha Theravada Indonesia (KBTI) dan menjadi pembuka Sebulan Pendalaman Dhamma (SPD).
Wenny menambahkan, “Umat Buddha banyak yang tahu puasa Muslim, padahal kita punya tradisi unik dengan atthasila, yang polanya mirip intermittent fasting.”
Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah vihara terbanyak yang ikut berpartisipasi. Kustiani, Ketua PD WANDANI Jawa Tengah, mengungkapkan kekagumannya, “Ini hal luar biasa. Umat dari wilayah waktu berbeda ada yang di WIT dan WITA bisa kompak memulai atthasila pukul 05.00 WIB.”
Menurutnya, peningkatan partisipasi dipengaruhi oleh publikasi media Buddhis dan cerita dari mulut ke mulut. “Kesan dan manfaat atthasila yang disebarluaskan membuat lebih banyak vihara dan umat bergabung,” ujarnya.

Acara diawali dengan puja bakti dengan Namakara Patha dan permohonan delapan sila, dilanjutkan dengan Dhammadesana oleh Bhante Santacitto. Dengan permohonan sila, para umat bertekad melaksanakan delapan aturan kemoralan selama sehari penuh di antaranya melatih diri menghindadi pembunuhan makhluk hidup; menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan (pencurian); menghindari berbuat tidak suci (asusila); menghindari berucap bohong; menghindari minuman memabukkan hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran; menghindari makan makanan selewat tengah hari; menghindari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukan, memakai, berhias dengan bebungaan, wewangian, dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan mempercantik diri; dan menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).
Bhante Santtacitto menyampaikan apresiasinya atas semangat umat dalam kegiatan ini. Menurut bhante, pelaksanaan atthasila di hari uposatha menjadi kesempatan yang sangat baik dan sudah dilakukan sejak jaman Buddha. Tradisi ini masih berlangsung hingga saat ini, terutama di negara Buddhis seperti Sri Lanka.
“Biasanya para umat datang ke vihara di hari uposatha bulan gelap dan bulan terang untuk praktek atthasila,” ujar bhante.
Bhante menceritakan bahwa selain praktek atthasila, para umat juga melakukan kebajikan-kebajikan lainnya termasuk dana dan mendengarkan ulasan Dhamma yang bahkan bisa selama satu hari penuh. “Makanya saat atthasila ini juga hendaknya juga dimanfaatkan untuk melakukan praktek dana, bisa dengan memberi makanan kepada bhikkhu, atau tetangga atau orang-orang yang membutuhkan,” imbuhnya lagi.
Gerakan ini tidak hanya memperkuat spiritualitas, tetapi juga menjalin solidaritas umat Buddha lintas daerah. Dengan terus berkembang, Atthasila Online menjadi bukti adaptasi tradisi di era digital tanpa kehilangan makna hakikinya.
