
Sebagai ungkapan syukur purna pugar vihara, umat Buddha Vihara Dhamma Santi, Dusun Krajan, Desa Kandangan, Kecamatan, Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi menggelar kendurian (selametan). Acara yang digelar di pelataran vihara ini dilaksanakan pada Selasa pahing malam Rabu (8/3) yang dihadiri oleh masyarakat sekitar vihara lintas agama dan empat bhikkhu Sangha, yaitu Bhikkhu Tejapunnyo, Bhikkhu Cittaguto, Bhikkhu Atthapiyo, dan Bhikkhu Virasilo.
Kendurian ini digelar untuk mengukuhkan rupang Buddha sebagai obyek pemujaan umat Buddha dan juga sebagai rasa syukur dan bahagia masyarakat Buddhis Desa Kandangan atas terselesainya pemugaran Vihara Dhamma Santi. Dengan berbagai sesajian, seperti nasi tumpeng beserta perlengkapan sayur-mayur, kendurian berlangsung dengan doa-doa dalam bahasa Jawa yang dibacakan oleh Mbah Kasman (sesepuh agama Buddha Banyuwangi) dan dibacakan parita-parita suci oleh bhikkhu Sangha.
Menurut Bhante Tejapunnyo, kendurian dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur dan menjaga tradisi dan budaya supaya bisa bersinergi dengan agama. “Kita sebagai umat Buddha sejak dahulu tidak pernah meninggalkan tradisi atau budaya yang sudah ada. Salah satu yang bisa mempersatukan masyarakat yang berbeda-beda agama, ya tradisi dan budaya itu. Jadi, kalau agama sudah tidak menghargai budaya, agama akan susah diterima oleh masyarakat.”
Menurut Bhante Teja, umat Buddha harus ikut melestarikan budaya yang telah berkembang di masyarakat. “Tentu budaya yang luhur, seperti kendurian yang kita laksanakan pada malam hari ini. Kalau budaya yang tidak baik ya harus kita tinggalkan, tetapi budaya yang bisa membuat kebersamaan, kedamaian dan kerukunan seperti kendurian ini, yang bisa dilaksanakan oleh berbagai agama, ya harus tetap kita junjung tinggi,” ujarnya.
Kalau dimaknai secara Dhamma, kendurian (selametan) adalah kegiatan guyup rukun (mempersatukan), seperti yang Buddha katakan, selama kita masih mau berkumpul, itu bisa menghindari percekcokan, perselisihan, dan pertikaian.
“Orang yang tidak mau kumpul-kumpul karena perbedaan, cenderung individualis dan memikirkan yang bukan-bukan dan tidak baik. Jadi kalau kita masih mau berkumpul, mau berdiskusi, mau bertanya, saling belajar dan mengisi, akan menghindari percekcokan dan perselisihan. Kendurian ini perlu dipertahankan sebagai sarana untuk guyup rukun. Dalam acara kendurian seperti ini, yang melakukan berbuat baik dengan cara mengumpulkan dan makan bersama, kalau dalam istilah Buddhis ya berdana makanan. Jadi kita meminta selamat dengan memberi selamat juga,” jelas Bhante.
“Selain kita memberi kepada yang masih hidup (berbuat baik kepada yang masih hidup), kebaikan ini juga bisa bermanfaat bagi leluhur. Makanya dalam doa tadi disebutkan juga kepada kaki danyang-nini danyang, danyang seng mbaurekso, kepada leluhur-leluhur yang kita kenal, yang telah memperjuangkan apa yang kita nikmati sekarang ini. Inilah makna Dhamma yang sesungguhnya, mengharapkan kebahagiaan semua makhluk,” jelas Bhante.
Dalam acara kendurian ini juga dilakukan pelimpahan jasa dengan tradisi Buddhis, yaitu tuang air yang dilakukan oleh donatur pembangunan yang diwakili oleh Aryadewi dan Yudy.