
Sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Roy Suryo kembali di gelar di Pengdilan Negeri Jakarta Barat, Senin (28/11). Seperti dilansir republiknews.com, sidang menghadirkan dua saksi ahli yaitu: saksi alhi ITE dan saksi ahli analisis media.
Ahli analisis media, Ismail Fahmi, S.Pd., pada sidang 28 November lalu, menyampaikan bahwa analisis dilakukan untuk mengetahui bagaimana reaksi netizen, bagaimana postingan Roy Suryo itu diantifikasi, dan bagaimana juga yang lain-lain tidak sepakat untuk melaporkan. “Saya tunjukkan dalam persidangan adanya pro dan kontra. Adanya akun-akun yang merasa keberatan dengan postingan Roy Suryo, kemudian metizen menggunakan kata-kata Roy Suryo untuk dilaporkan dan mengangkat isu ini,” jelasnya.
Fahmi menyatakan bahwa jika yang dilakukan Roy Suryo yang kemudian memunculkan protes publik terkait kenaikan harga tiket adalah hal yang wajar. Namun ia menyayangkan adanya meme rupang dan ada unsur SARA dalam postingan tersebut. “Nah ini harus menjadi hati-hati untuk para netizen. Apa yang (RS) posting harus menjadi pelajaran bagi para pengguna media sosial. Boleh saja mengkritik pemerintah, tapi jangan sampai menyinggung salah satu golongan atau agama tertentu,” pesan Ismail Fahmi.
Dr. Bambang Pratama, S.H, M.H, Ahli ITE menjelaskan, dalam perspektif UU-ITE pemilik dan atau pengguna Twitter, KMRT Roy Suryo telah melakukan transaksi elektronik yang merugikan sekelompok masyarakat. “Postingan tersebut sudah tidak bisa diakses, namun postingan (RS) itu membawa pengaruh buruk pada dinamika kerukunan sosial di masyarakat. Dalam postingan (RS) itu ada sekelompok masyarakat yang merasa menjadi korban pelecehan simbol agama dan berdampak negatif di masyarakat,” paparnya.
Kuasa hukum
Sementara dalam sidang tersebut, tim kuasa hukum (RS) angkat bicara perihal kasus persidangan kliennya (RS). Tim kuasa hukum (RS) menyatakan keheranannya terhadap pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan juga kepada para saksi yang dinilai kurang adil dalam penanganan kasus (RS) ini. Tim kuasa hukum (RS) juga menyatakan ada orang yang mempolitisasi kasus kliennya.
“Saya heran dengan pihak JPU, kenapa tidak pernah mau membuka barang bukti hp yang digunakan untuk melaporkan klien kami. Hanya dengan mengandalkan pembuktian melalui screenshot yang diambil sebelum ada laporan, jika dibuka hp-hp itu, pelapor dan teman-temannya selalu ada satu alasan, nanti rusak dan sebagainya, nanti nunggu hasil forensik lah apa lah. Dan saya juga heran kepada semua saksi-saksi yang dihadirkan pihak JPU selalu berpendapat yang sama, tidak pernah ada kata-kata yang berbeda sedikit pun, ada apa dengan semua ini, kan yang saya tahu umat Buddha itu adalah umat yang maha welas asih, maha baik terhadap sesama, tapi kenapa untuk kasus klien kami ini tidak ada kata maaf, sepertinya di belakangnya ada seseorang yang mempolitisasi. Tapi kami yakin (RS) akan terbebas dari semua dakwaan, dan saat ini kami selaku tim kuasa hukum sedang mengajukan penangguhan penahanan. Kami berharap kepada JPU bisa seadil-adilnya dalam menangani kasus klien kami,” ungkap tim kuasa hukum (RS).
Menanggapi hasil sidang sebelumnya, seperti dilansir perisaihukum.com dalam sidang selanjutnya Kamis (1/12) yang menghadirkan empat saksi agenda meringankan, tim kuasa hukum Organisasi Dharmapala Nusantara, Sugianto. SH, turut angkat bicara perihal seluruh saksi ahli yang pernah dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) PN Jakarta Barat. Menurut Sugianto, dari Organisasi Dharmapala Nusantara sama sekali tidak ada yang mempolitisasi seperti apa yang tim kuasa hukum (RS) ucapkan.
Politisasi
“Kalau bicara politisasi bukan di sini tempatnya, karena politik yang kuat itu adanya di DPR. Di pengadilam itu tempatnya perkara yang diputuskan oleh lembaga yudisial,” jelasnya.
Sugianto juga memaparkan alasan mengapa terdakwa harus dihukum, karena peristiwanya sendiri sudah ada. Akan tetapi dalam peristiwa ini menurut tim kuasa hukum terdakwa tidak bersalah. Maka tinggal hakim yang akan membuktikan apakah (RS) bersalah atau tidak.
“Makanya didatangkan semua ahli, mulai dari Ahli Tim Cyber Krimsus Polda Metro Jaya, Ahli Agama Buddha, Ahli Bahasa, Ahli Media Sosial, Ahli ITE. Agar kasus ini terang benderang, biar kami tahu siapa yang salah dan siapa yang benar,” tutur Sugianto.
Sugianto juga memaparkan penjelasan ahli Agama Buddha yang menyatakan apa yang dilakukan oleh RS adalah hal yang salah. “Ahli Agama Buddha sudah jelas menyatakan yang dilakukan RS itu salah. Patung Buddha ada 32 tanda-tanda kebesarannya, jadi patung Buddha bagi seorang ahli Agama Buddha dia dapat melihat kebesaran Sang Buddha. Lalu RS mengubah mukanya dengan diganti wajah orang lain, apakah tanda-tanda kebesaran itu bisa dibuang, matanya, mulutnya, lalu ditulislah dengan kata-kata lucu He 3x, lalu Ambyar. Nah sudah jelas semua itu mengandung unsur penghinaan terhadap Agama Buddha. Dan sudah jelas bahwa ahli ITE menyatakan bahwa perbuatan yang dapat di pidana yaitu, menyebarluaskan dan meng-upload melalui medsos, perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan oleh si pelaku di mata hukum,” tegasnya.
Dharmapala Nusantara
Terkait pernyataan tim kuasa hukum (RS), Kevin Wu selaku Ketua Umum Orgaisasi Dharmapala Nusantara pun memberikan komentar bahwa hal itu merupakan hak dari tim kuasa hukum terdakwa. “Saya rasa itu hak mereka dengan menyatakan bahwa kasus ini direkayasa atau dipolitisasi, karena tim pengacara atau pembela (RS) tujuannya adalah mencari cara meringankan atau membebaskan kliennya,” paparnya.
Namun Kevin juga menyampaikan pelaporan atas kasus penistaan agama adalah hak semua pihak, baik secara yayasan, organisasi, maupun secara individual. Ia menyatakan bahwa pelaporan atas kasus (RS) dengan harapan bisa menjadi satu pembelajaran sehingga tidak terjadi kasus serupa di masa mendatang. “Bukan hanya kalimat-kalimat yang muncul tetapi berupa teks, ada gambarnya, ada bentuk video, kalau dibiarkan, tidak ada yang bersuara, tidak ada yang membela, bukan hanya merugikan Agama Buddha saja, tetapi akan merugikan agama lainnya yang ada di Indonesia.
Kevin menilai apa yang dilakukan (RS) atas postingan meme rupang Candi Borobudur telah menyinggung umat Buddha dan bisa menjadi potensi konflik dalam masyarakat. Atas dasar inilah, Kevin melaporkan terdakwa RS agar menjadi pembelajaran bagi semua, terutama pengguna media sosial demi terjaganya kehidupan beragama yang harmonis.
Ungkapan ketersinggungan Kevin ini juga pernah dinyatakan dalam persidangan sebelumnya Senin (14/11), dilansir TribunJambi.com edisi 15 November 2022. “Patung adalah simbol Guru Agung kita, yang kita hormati. Itu yang membuat kita merasa dilecehkan. Apalagi ditambah dengan lelucon hehehe dan kata ambyar. Ambyar itu dalam Bahasa Jawa artinya rusak, itu bahasa kasar,” paparnya.
Sementara mengenai pernyataan tim kuasa hukum (RS) tentang umat Buddha yang maha welas asih tetapi tidak memaafkan terdakwa (RS), Kevin menegaskan bahwa umat Buddha sudah memaafkan sejak awal munculnya postingan (RS). Akan tetapi Kevin menjelaskan agar pihak tim kuasa hukum (RS) bisa membedakan antara praktik keagamaan dengan hidup bermasyarakat.
Umat Buddha
“Kami selaku umat Buddha sudah memafkan sejak awal, akan tetapi kita harus bisa membedakan antara praktik keagamaan dengan hidup bermasyarakat ini adalah dua hal berbeda. Misalkan kita melaksanakan ritual keagamaan, hendaknya tidak dengan cara melecehkan atau menodai agama lainnya. Nah kalau tadi bicara mengenai praktik cinta kasih, praktik memaafkan, seperti yang saya katakan, sejak awal kami sudah memaafkan, namun tujuan kami melaporkan kasus ini adalah menjaga keutuhan bangsa dan negara. Kebetulan kali ini simbol Agama Buddha yang dilecehkan, dinodai, bahkan sifatnya dianggap remeh-temeh dan dijadikan lelucon,” ungkap Kevin.
Kevin pun berpesan kepada semua pengguna medsos agar berhati-hati dalam menggunakan media. Ia berharap pengguna medsos tidak membiasakan lelucon dan bercanda menggunakan simbol-simbol agama yang cukup sensitif bagi umat yang menganutnya.
“Jadi sekali lagi kami tegaskan, kami sudah memaafkan terdakwa, tetapi selaku masyarakat Indonesia yang hidup berdampingan, hidup taat dengan hukum, makanya langkah ini kami ambil,” imbuhnya.
Kehadiran empat orang saksi dengan agenda meringankan belum bisa memastikan kesaksian keempatnya bisa meringankan atau bisa memberatkan terdakwa. Karena belum ada putusan pihak (JPU) juga dari pihak majelis hakim. Sidang dilanjutkan tanggal 5 Desember 2022.