Foto : Ngasiran
Sebanyak 31 laki-laki dan 24 perempuan mengikuti upacara Penahbisan Samanera Sementara dan Atthasilani yang diselenggarakan oleh Sangha Theravada Indonesia (STI) di Vihara Mendut Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (9/7/2023).
55 peserta tersebut akan menjalankan praktik hidup sebagai samana, mengikuti program Pabbajja Samanera Umum Dua Minggu dan Latihan Atthasilani Umum Dua Minggu. Pelatihan di tahun ini, merupakan yang ke 86 kalinya diadakan oleh STI yang berlangsung mulai 9 Juli hingga 24 Juli 2023.
Penahbisan terbagi dalam dua tahap, yang pertama adalah penahbisan para Atthasilani yang dilaksanakan pada pukul 04.30 WIB dini hari. Tahap kedua, penahbisan Samanera dilaksanakan setelah sarapan pagi pukul 08.00 WIB.
Para peserta latihan Pabbajja Samanera ditahbiskan langsung oleh Sanghapamokkha Sangha Theravada Indonesia Bhante Sri Pannyavaro yang bertindak sebagai Upajjhaya para Samanera serta tujuh bhikkhu Acariya. Tujuh Bhikkhu tersebut adalah Bhante Jotidhammo, Bhante Khemadiro, Bhante Santacitto, Bhante Abhijato, Bhante Senajayo, Bhante Upasanto, dan Bhante Jayasilo. Sementara untuk pentahbisan Atthasilani, Bhante Jotidhammo bertindak sebagai Silacariya para Atthasilani.
Selain itu, terdapat bhikkhu serta beberapa samanera dan atthasilani yang membantu bimbingan peserta latihan. Bimbingan peserta Samanera dibantu oleh Bhikhhu Medhacitto, Samanera Attharatano, dan Samanera Hemaratano. Untuk peserta Atthasilani dibantu oleh Atthasilani Gunanandini, Atthasilani Pabhasanti, Atthasilani Dhanavati, dan Atthasilani Uppalavati.
Ketua panitia, Bhante Abhijato, melaporkan bahwa para peserta latihan berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, yang didominasi dari Provinsi Jawa Tengah. Sementara untuk jenjang pendidikan peserta antara SMP hingga Strata 2.
“Peserta Samanera berasal dari berbagai daerah di antaranya Jawa Tengah 11, Sumatera Utara 4, Banten 3, DKI Jakarta 2, Bali 2, sementara dari Jawa Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Bangka Belitung, dan Sumatera Selatan masing-masing 1 orang. Pendidikan para peserta untuk S2 1 orang, S1 7 orang, D3 1 orang, Mahasiswa 4 orang, SMA 17 orang dan SMP 1 orang,” jelas bhante.
Dari laporan bhante, peserta Atthasilani yang terbanyak juga dari Jawa Tengah yaitu 11 orang. DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Tengah masing-masing 2 orang. Sementara dari Bali, Banten, Jambi, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat masing-masing 1 orang. Tingkat pendidikan peserta Atthasilani S1 11 orang, D3 2 orang, Mahasiswa 8 orang, dan SMA 3 orang.
“Peserta Samanera yang tertua adalah Samanera Warsito asal Banjarnegara, Jawa Tengah dengan usia 63 tahun, dan yang termuda adalah Samanera Wiji Saputra dari Grobogan, Jawa Tengah dengan usia 17 tahun. Untuk peserta Atthasilani tertua adalah Atthasilani Surjatin asal Jambi dengan usia 58 tahun, dan yang termuda adalah Atthasilani Sila Rini dari Temanggung, Jawa Tengah dengan usia 20 tahun,” imbuh bhante.
Selama mengikuti pelatihan, para peserta akan menerima berbagai pelajaran di antaranya Sejarah STI, Teori dan Praktik Meditasi, Pokok Dasar Agama Buddha, Teori Dharmaduta, Samanera Sikkha, Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Upasaka – Upasika Sila.
Proses Penahbisan
Dimulai dengan penataan barisan di belakang gedung serbaguna Vihara Mendut, nampak para peserta mengenakan jubah putih, rapi, dan terbagi dalam dua banjar. Diikuti dengan penataan barisan orang tua / wali/ para sponsor di belakang barisan peserta.
Masing-masing peserta memegang amisa puja; bunga,lilin, dan dupa di tangan, kemudian perlahan mulai berjalan menuju Rupang Buddha dan stupa yang terletak di belakang Vihara Mendut. Dengan penuh khidmat para peserta melakukan puja di depan rupang dan stupa, kemudian ber-pradaksina. Usai pradaksina, barisan menuju Dhammasala Vihara Mendut untuk melakukan namaskara dan menerima jubah samanera dari para orang tua/wali/sponsor.
Setelah menerima jubah, peserta berjalan menuju ruang serbaguna untuk mengikuti upacara penahbisan. Mengawali upacara, para peserta ber-namaskara dan mendaraskan permohonan penahbisan di hadapan Upajjhaya dan para Acariya.
Sebelum penahbisan, Upajjhaya para samanera Bhante Sri Pannyavaro memberikan wejangan Dhamma kepada peserta. Bhante menekankan pentingya menumbuhkan keyakinan yang kuat terhadap Triratna bagi para peserta, sebagai pondasi untuk menjadi samanera.
“Anda sekalian akan ditahbiskan dengan benar, dan menjadi samanera dengan benar. Melepaskan keduniawian menjadi pertapa harus tumbuh dari keyakinan kepada Triratna, yaitu; Buddha, Dhamma, dan Sangha. Kalau menjadi pertapa, termasuk belajar Dhamma tidak tumbuh dari keyakinan terhadap Triratna, yang dilakukan itu tidak banyak memberikan manfaat bagi kemajuan batin untuk kebebasan dari penderitaan,” bhante mengawali pesan Dhamma.
Bhante melanjutkan, Triratna/Ti Ratana; Buddha Ratana, Dhamma Ratana, dan Sangha Ratana merupakan pangkal keyakinan bagi umat Buddha, sekaligus menjadi petunjuk jalan yang ideal untuk berlatih.
“Permata pertama adalah Buddha Ratana, dan Permata Buddha yang paling dekat dengan kita adalah Sammasambuddha Gotama. Beliau berjuang dan mencapai pencerahan sempurna sendiri dengan kekuatan Parami, kesempurnaan kebajikan yang telah dilakukan dari kehidupan-kehidupan lampau yang sangat panjang. Tidak setiap masa, bahkan tidak setiap kalpa ada Sammasambuddha. Berbahagialah kita yang masih hidup di jaman sasana ajaran Sammasambuddha Gotama. Meskipun beliau telah parinibbana, mangkat lebih dari 2500 tahun yang lalu. Itulah permata pertama,” jelas bhante.
Sammasambuddha Gotama mewariskan Dhamma, lanjut bhante, sebagai warisan Agung yang tiada tara nilainya sebagai jalan untuk bebas dari penderitaan. Dhamma mengajarkan kepada umat manusia untuk menjaga diri dengan sila. Sila adalah tahap awal melatih diri. Dengan menjaga Sila, seseorang juga telah menjaga masyarakat supaya tidak menjadi korban kejahatan dan keburukan orang tersebut.
Tetapi menurut bhante, menjalankan Sila saja tidak cukup. Hal ini karena perbuatan itu datang dari mental dan pikiran. Bhante menekankan bahwa mental dan pikiran harus dibersihkan dari kotoran-kotoran batin, kelekatan, ketagihan hawa nafsu, ketagihan akan kenikmatan, ambisi atau emosi untuk membenci atau menghancurkan orang lain, yang semuanya itu muncul dari ketidaktahuan, dari keakuan yang seolah-olah nyata padahal tidak.
“Mental atau pikiran ini harus dibersihkan dengan samadhi, membuat mental menjadi tenang dulu. Karena setelah tenang, pikiran kita, mental kita, kesadaran kita, akan melihat bahwa semuanya itu sesungguhnya tidak kekal. Samanera harus menaati sila, karena itu adalah langkah pertama untuk mengurangi kotoran batin,” lanjut bhante.
Lebih jauh bhante menegaskan kepada para peserta bahwa selama pelatihan yang paling penting adalah praktek. Para bhikkhu mengajar Dhamma hanya sebagai petunjuk, para samanera harus praktek, menjalankan sila, meditasi, dan melihat ke dalam dirinya sendiri. Melihat ke dalam diri, untuk mengalami langsung kebenaran dari ajaran Buddha, bahwa hidup ini adalah Anicca, Dukkha, Anatta.
Bhante menerangkan, Anicca, Dukkha, Anatta harus dilihat sendiri dengan kesadaran, dengan sati sampajanna. Karena dukkha berada di dalam diri, sebabnya juda di dalam diri, lenyapnya juga di dalam diri, dan jalan melenyapkannya juga persis di dalam diri.
“Di tubuh yang juga disebut loka, yang panjangnya tidak lebih dari dua meter. Di situlah anda sekalian harus observasi, harus praktek, melihat sendiri hingga mencapai kebebasan,” tegas bhante.
“Mereka yang sudah mulai terbebas, mereka telah mencapai Arya magga, Arya phala, jalan kesucian, buah dari kesucian yaitu Arya Sangha. Arya Sangha adalah permata ketiga sebagai prove, sebagai bukti bahwa Dhamma itu memang bisa menyelesaikan penderitaan. Karena itu tiga permata ini menjadi kesatuan yang tidak dipisahkan.”
“Oleh karena itu, menjadi samanera harus dibekali dengan Saddha yang kuat pada diri kita. Dan itulah pondasi, akar, dasar. Kalau dasar, pondasi, akarnya tidak kuat, maka pohon atau bangunan akan runtuh. Menjadi samanera, menjadi bhikkhu juga runtuh. Ingat-ingat ini, perhatikan ini! Perkuatlah keyakinan anda dengan belajar, dengan praktek Dhamma,” pungkas bhante.
Upacara dilanjutkan dengan pemberian latihan meditasi dengan obyek jasmani, Kammaraga. Meditasi ini untuk mengurangi hawa nafsu terhadap keindahan fisik melalui perenungan lima bagian tubuh. Dalam meditasi para samanera merenungkan bahwa sesungguhnya tidak ada yang indah, tidak ada yang bagus. Yang indah, yang bagus tersebut hanya sesaat, mengandung kebusukan dan ketidakkekalan.
Obyek meditasi lima bagian tubuh tersebut adalah rambut, bulu, kuku, gigi, kulit. Upajjhaya membimbing meditasi dan memberikan obyek tersebut dengan menyebutkan dalam Bahasa Pali, dari rambut, bulu, kuku, gigi, kulit. Dan sebaliknya dari kulit, gigi, kuku, bulu, dan rambut. Para samanera menirukan dan merenungkan setiap kata dari Upajjhaya.
Usai praktik meditasi, Upajjhaya memberikan kain kuning, dan para Acariya mewakili Upajjhaya juga memberikan kain kuning. “Nanti anda sekalian berganti jubah putih ini dengan jubah kuning. Sewaktu melepas jubah putih, kain kuning yang diberikan Upajjhaya di tempat ini tidak boleh dilepas,” pesan Upphajaya.
Setelah berganti jubah kuning, para samanera kembali ke tempat upacara untuk memohon sila. Usai permohonan sila, dilanjutkan penerimaan perlengkapan samanera dari para sponsor yang telah dipersiapkan di sekeliling ruangan. Di akhir upacara, para samanera mempersembahkan amisa puja kepada Bhikkhu Upajjhaya dan Acariya, kemudian ditutup dengan pelimpahan jasa.
Dengan selesainya upacara, 55 peserta resmi menjadi samanera dan atthasilani yang menjalankan tata cara kehidupan seorang samana dan praktek Dhamma selama dua minggu.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara