• Monday, 5 December 2022
  • Deny Hermawan
  • 0

Salah satu koleksi unggulan di Museum Nasional Jakarta adalah sebuah patung besar setinggi 4,41 meter, dengan berat 4 ton. Diperkirakan dibuat antara 1347–1375, arca berukuran raksasa ini ditemukan si kompleks percandian Padang Roco, Dharmasraya, Sumatra Barat pada 1906.

Secara resmi, oleh pihak berwenang, arca tersebut disebut sebagai arca Bhairawa, yang diduga adalah perwujudan Adityawarman, penguasa Kerajaan Melayu yang beribu kota di Dharmasraya. Bhairawa sendiri adalah salah satu perwujudan Syiwa dalam bentuk yang mengerikan. 

Namun pendapat umum ini dibantah oleh Dr. Andrea Acri, seorang pakar sejarah agama Hindu-Buddha di India dan Asia Tenggara. Ia berpendapat bahwa itu sebenarnya adalah arca Mahakala Pañjaranātha, sebuah arca Buddhis. 

Hal ini dia tulis di jurnal ilmiah “Entangled Religions 13.7” (2022) dengan judul “A Buddhist Bhairava? Kṛtanagara’s Tantric Buddhism in Transregional Perspective”. Ia juga sempat mengemukakan gagasan ini dalam ajang Borobudur Writers and Cultural Festival 2022.

Merujuk hasil riset pakar lain, Claudine Bautze-Picron, Andrea Acri mengakui bahwa memang ikonografi Bhairawa dan Mahakala mempunyai banyak kemiripan. Namun setelah mengamati dengan lebih detail ia setuju dengan kesimpulan Bautze-Picron bahwa itu adalah Mahakala. 

“Itu bukan Bhairawa tapi Mahākāla Pañjaranātha yang sampai sekarang masih dipuja di Nepal dan Tibet,” kata Andrea pada BuddhaZine di akhir November 2022.

Ia juga menepis anggapan bahwa arca tersebut terkait dengan Adityawarman. Alih-alih, ia menyebut arca itu terkait dengan sosok Kertanegara, raja terkenal dari Singhasari. 

“Dikirim ke Sumatra seperti juga patung Amoghapāśa Lokeśvara oleh Kertanegara,” jelas dia. 

Ia menduga, masuknya pemujaan Mahākāla Pañjaranātha ke Jawa adalah karena adanya guru dari India / Nepal yang datang ke Jawa Timur di era Singhasari. Pañjaranātha yang secara harafiah berarti “penguasa paviliun” sendiri adalah pelindung mandala Hevajra dan pelindung orang-orang yang mempraktikkan Tantra Hevajra. 

Meski demikian, ia mengakui, arca Mahākāla Pañjaranātha versi Padang Roco ini agak berbeda dengan yang umumnya ditemukan di Tibet. Perbedaan mendasar terkait wujud Buddha Akahobya di gelung rambut depan versi Padang Roco, sementara di versi ikonografi Nepal / Tibet, Buddha itu diletakkan di mahkota. 

Menurut Andrea, ini merupakan keanehan ikonografis, yang mungkin disebabkan penafsiran secara harafiah deskripsi dari frasa “ūrdhvapiṅgalakeśopari” dalam teks Sādhanamālā sebagai “pada rambut oranye yang terangkat”. 

“Itu bisa terjadi karena salah tafsir atau interpretasi alternatif frasa itu, atau memang ada varian dalam ikonografi,” kata dia. 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *