• Thursday, 9 January 2020
  • Ngasiran
  • 0

Mahayana, merupakan salah satu aliran dalam agama Buddha. Aliran Mahayana lebih banyak berkembang di negara-negara Asia Timur seperti, Tiongkok, Jepang, dan Taiwan. Menurut Chen Chau Ming, seorang profesor dari Dharma Buddhis University, Malaysia, lahirnya aliran Mahayana merupakan sebuah proses sejarah. Mahayana lahir di India akibat reaksi terhadap usaha yang dianggap hanya mementingkan diri sendiri. Karena itu ajaran Mahayana fokus pada pengembangan maître karuna.

“Ajaran mendasar dalam aliran Mahayana adalah untuk menyelamatkan diri sendiri dan harus peduli dengan orang lain. Setiap orang harus bertanggung jawab teradap perbuatannya sendiri (karma) tetapi setiap orang juga harus peduli, harus mengembangkan maître karuna,” jelas dosen pengampu mata kuliah Mahayana, STAB Nalanda yang mengajar sejak tahun 1981.

Menurut Prof. Chau Ming, karena filsafat Mahayana sulit untuk dimengerti, sehingga muncul yang dinamakan upaya kausalya yaitu, sebuah metode menyampaikan ajaran yang sulit supaya lebih mudah dimengerti. “Memang filsafat Mahayana itu sulit ya, jadi para guru Mahayana sering menggunakan perumpamaan atau kisah-kisah untuk menyampaikan ajaran. Ada orang menggambarkan begini, apa itu Mahayana, sebenarnya apa sih aktualitasnya?

Upaya kausalya

“Ada 20 orang melakukan perjalanan bersama menuju suatu tempat. Mereka berjalan dari pagi hingga sore hari, tentu haus dan lapar. Pada saat itu, di tengah perjalanan dari kejauhan mereka melihat ada sumber air bersih. Tapi untuk menuju ke sana, harus menaiki bukit. Pada saat naik, ada orang berkata eh ada orang tua tertinggal di bawah, nah kita harus turun lagi untuk memapah orang tua itu untuk naik ke atas,” terang Prof. Chau Ming memberi contoh.

Kembali menjemput orang tua yang kelelahan kemudian memapah orang tua itu adalah wujud dari rasa peduli. “Rasa peduli itu harus ada, lepasnya maître karuna, Dharma Buddha itu tidak akan ada sukmanya. Harus peduli kepada orang lain dan harus peduli juga dengan persoalan sosial di masyarakat, bukan hanya menyembunyikan diri, meditasi. Apalagi di tengah-tengah masyarakat modern sekarang ini, kemiskinan, kebodohan, pengangguran kan lebih banyak kita jumpai. Melihat hal ini, dalam Mahayana kita harus berperan.”

Yang sangat dipentingkan dalam ajaran Mahayana adalah sikap peduli. Orang yang mampu harus membantu orang yang tidak mampu. Tapi kalau ada orang yang kaya raya diminta untuk membantu kemudian dia tidak bersedia membantu karena berpikir ‘ini hasil perjuangan saya selama berpuluh-puluh tahun’ secara rasional memang benar itu harta dia. “Perbedaannya kan mau ngga peduli, bagaimana mengembangkan kepedulian ini tentunya dengan cara melafalkan nama Buddha, namaskara, pujabhakti, dan samadhi. Itu semua adalah cara, yang disebut upaya kausalya sebenarnya seperti itu.

“Tapi tidak boleh berhenti pada konsep upaya kaulsaya yang seperti itu saja. Jadi jangan heran kalau ada orang datang ke vihara berpuluh-puluh tahun tapi tidak mengalami perubahan. Vegetarian berpuluh-puluh tahun, setiap pagi bangun baca doa tapi perilakunya keliatan sekali. Kita lihat ya, kenapa orang tidak bisa merubah karma buruknya, itu karena orang itu tidak mau peduli dengan orang lain, tidak mau berdana. Kemudian orang itu egois dan iri hatinya pun tinggi, hal-hal ini yang sehari-hari itu kita hadapi harus coba kita amati dan kembali melihat ke dalam diri. Tidak peduli itu siapa, guru atau pandita, umat Buddha siapa pun itu harus menerapkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-harinya,” jelasnya.

Perkembangan

Aliran Mahayana yang berkembang di masyarakat sekarang ini antara lain adalah Mahayana yang menitikberatkan pada puja, pelajaran, dan samadhi. “Sebenarnya pelajaran melakukan bakti puja dengan menyebutkan Namo Amitabha Buddhaya itu adalah metode psikologi yang baik sekali. Orang itu disuruh smerti dengan melafalkan nama Buddha agar timbul kebaikan. Tetapi karena kadang yang terlalu dititik-beratkan hanya pada upacara, akhirnya orang melupakan ajaran-ajaran yang memang sulit ya, filsafat Buddha itu memang sulit ya.

“Kemudian Mahayana Zen meditasi, bagus sekali tetapi itu juga sulit. Karena terlalu sulit sehingga biksu-biksu menggunakan kong-an. Kong-an itu dialog of the master. Contoh yang paling gampang; Seorang samanera sudah berdiam selama satu tahun di vihara. Pada suatu hari, samanera itu berkata kepada gurunya, ‘guru saya sudah tinggal di vihara ini satu tahun lebih, tapi saya tidak belajar apa-apa ya guru. Saya mau kembali saja ke rumah saya.’ Gurunya yang mendengar itu kemudian tercengang, ‘hah kamu tidak belajar apa-apa? Nyatanya waktu kami di sini, bangun pagi kamu ketemu dengan saya, kamu mengucapkan selamat pagi guru, saya juga menjawab selamat pagi. Ketika kita makan pagi bersama di sini, kamu mengangkat mangkuk dan bilang mari makan guru, saya pun menjawab, kenapa saya tidak mengajarkan apa-apa?’

“Kan ini metode kalau dilihat perkembangan sekarang, mengajar itu bukan semata-mata maembaca buku dan menghafal. Tetapi dengan contoh yang aktual. Sesungguhnya alangkah baiknya kalau orang-orang mau mempelajari filsafat atau ajaran Mahayana kemudian diterapkan dalam tindakan sehari-hari,” pungkas Prof. Chau Ming.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *