• Friday, 18 October 2019
  • Ngasiran
  • 0

“Tityang sakendela walang alas, akemul mega, akandang langit, merak kang angemuli, kijang kang anyusoni, tan wara bumi astana (Aku ini seperti belalang hutan, bertilam mega, beratap langit, burung merak yang menyelimutiku, rusa yang menyusuiku, negeri tiada, tempat tinggal pun tak tetap)” teks Tutur Panji.

Syair di atas menjadi pembuka pertunjukan musik Astakosala, di Panggung Guyub, Istora Senayan, Jakarta, Kamis (10/9), dalam perhelatan Pekan Kebudayaan Nasional. Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) digelar selama 7 hari, mulai tanggal 7 – 13 Oktober 2019. Astakosala yang menjadi salah satu pengisi melantunkan 6 lagu yang diambil dari syair sastra Jawa Kuna. Kali ini mengangkat tema besar pertunjukan musik Samar Tan Prapanca.

Samar Tan Prapanca, mengisahkan tentang lakon Mpu Prapanca, abad ke-14 yang disingkirkan dari Istana Majapahit oleh para elit penguasa yang iri padanya. “Prapanca adalah nama pena pujangga yang menulis Nagarakrtagama pada masa Hayam Wuruk.

“Sebelumnya ia punya jabatan sebagai Dharmmadyaksa Kasogatan, pejabat yang mengurusi keagamaan khususnya agama Buddha. Tapi ia dipecat dan diasingkan, dalam kesepiannya ia menulis tentang Majapahit; alamnya, tata kelola pemerintah, khususnya pada masa Hayam Wuruk,” terang Udi, Public Relations Astakosala, kepada BuddhaZine.

Dalam catatan itu, lanjut Udi, ia juga menulis seperti apa dirinya, betapa buruk tindakan dan fisiknya dahulu yang sampai tak layak menjadi pejabat Dharmmadyaksa Kasogatan. “Tetapi justru catatannya menjadi referensi dan sumber utama tentang kejayaan Majapahit bagi kita semua saat ini. Lalu kaitanya dengan syair lagu yang dibawakan oleh Astakosala dalam PKN kemarin adalah, kita semua ini seperti Prapanca. Punya sebuah posisi, yaitu sebagai manusia.

Namun kadang kita melakukan hal-hal yang tidak baik bahkan meninggalkan sisi kemanusiaan kita, misalnya merusak alam. Lalu ketika kita sadar, apa yang bisa kita lakukan? Berharap, kembali menyadari bahwa kita hanya manusia yang sebenarnya lebih kecil daripada semesta itu sendiri. Berharap, agar alam raya ini kembali seimbang, kita masih punya harapan meskipun kecil. Seperti Mpu Prapanca yang punya harapan untuk memperbaiki dirinya sendiri, lewat menulis sebuah jurnal tentang Majapahit,” terangnya.

Astakosala membawakan 6 lagu yang dianggap memiliki semangat yang sama dengan Mpu Prapanca. Alamkara yang indah dengan syair “jatuh cinta”, Amurti Niskala yang bisa menyampaikan perasaan manusia yang ragu dan kembali berpasrah pada Hyang Widi-nya setelah sadar melakukan “ketersesatan” di dunia, Ilir-ilir dan Padang Bulan yang membuat kita percaha bahwa harapan baik itu masih ada.

Muhammad Muhklisin, praktisi pendidikan merasa kagum kepada Astakosala yang mempunyai dedikasi dalam mengenalkan kesusastraan Jawa Kuna. Menurutnya, dalam pendidikan musik menjadi media penting untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan.

“Sudah berabad-abad lalu, para sastrawan dan budayawan Jawa menggunakan gamelan dan karawitan sebagai strategi. Astakosala memperbaharui dengan kreativitas khas anak muda. Saya menikmati betul alunan kendang berharmoni dengan gitar dan musik elektronik. Saya kagum dengan anak-anak muda Astakosala ini. Penuh talenta dan berdedikasi pada kebudayaan,” katanya memberi pujian.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *