• Wednesday, 2 November 2016
  • Ngasiran
  • 0

Akhir-akhir ini kehidupan berbangsa kita sedang dikoyak dengan sikap-sikap intoleran. Semakin memanasnya suasana jelang Pilkada serentak yang akan berlangsung beberapa saat lagi, isu-isu SARA kembali mengemuka. Lebih parahnya lagi isu ini dijadikan kendaraan politik untuk menjatuhkan calon lain. (Baca Jelang Pilkada, Hati-hati Jangan Ikut Sebar Kampanye Hitam dan Hoax)

Belum lama ini, umat Buddha di Tanjung Balai, Sumatera Utara harus memindahkan patung Buddha dari Vihara Tri Ratna karena desakan kelompok tertentu. Dan ironisnya peristiwa ini terjadi tepat di hari Sumpah Pemuda. Tentu sikap-sikap intoleransi semacam ini bisa mengancam kehidupan bangsa yang mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Namun dari sekian banyak kasus intoleransi yang belakangan marak, masih banyak masyarakat kita yang sangat menghargai toleransi. Hanya saja sikap toleransi ini jarang diekspos ke media.

Masyarakat Desa Wonosalam, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur misalnya. Masyarakat desa yang berada di dekat Gunung Anjasmara ini telah membangun kehidupan harmoni sejak lama.

Jumat (28/10), bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, BuddhaZine menyaksikan langsung bagaimana guyup rukunnya masyarakat desa ini. Masyarakat yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan Kejawen bersatu mengadakan upacara selamatan bersama untuk menyambut hari Sumpah Pemuda dan bulan Syuro.

Lebih dari 100 orang, tua-muda dan anak-anak hadir dalam acara yang digelar di Arama Girivana pimpinan Bhikkhu Tejapunno. Berbagai sesajian, tumpeng beraneka warna dan makanan-makanan tradisional sebagai bentuk syukur terhadap alam tersaji. Iringan doa lintas agama dan penampilan seni tradisonal campur sari turut memeriahkan dan membuat suasana kekeluargaan lintas agama dan budaya begitu terasa.

Bhikkhu Tejapunno, sebagai salah satu inisiator acara ini menyampaikan bahwa kegiatan ini sebagai wujud bakti kepada para leluhur dan para pahlawan pendiri bangsa Indonesia.

“Diakui atau tidak, saat ini rasa nasionalisme masyarakat Indonesia sudah mulai luntur. Selain untuk mengenang para pendiri bangsa, acara ini juga sebagai ajang silaturahmi masyarakat Wonosalam,” kata Bhante.

Kegiatan ini bukan hanya dilakukan saat ini saja, namun sudah menjadi tradisi yang dilakukan setiap bulan purnama. “Setiap bulan purnama, pasti kami berkumpul di sini. Tetapi khusus untuk bulan ini, kita laksanakan pada hari Sumpah Pemuda dan bersih desa bulan Syuro,” tambah Bhante.

20161102-belajar-toleransi-dari-masyarakat-wonosalam-jombang-2 20161102-belajar-toleransi-dari-masyarakat-wonosalam-jombang-3

Kegiatan seperti ini, menurut Bhante, sangat perlu dilakukan sebagai sarana interaksi dengan lingkungan dan masyarakat. “Kita itu biasanya kalau ada masalah kecil tetapi tidak pernah dibicarakan, tidak pernah duduk satu meja, dan kita pikirkan sendiri biasanya tidak terselesaikan. Malah bisa menjadi masalah yang besar. Tetapi kalau kita mau duduk bersama, ngobrol bersama, lama-lama pandangan kita terhadap orang lain akan berubah, dan dengan komunikasi dapat menyelesaikan semua masalah,” jelas Bhante.

Arama Girivana sendiri merupakan sebuah pondok yang digunakan oleh Bhikkhu Tejapunno untuk melatih diri. Meskipun tempat ini berada di tengah-tengah hutan dan jauh dari umat Buddha, namun keberadaannya bisa diterima oleh masyarakat sekitar. Menurut Bhante, keberadaan setiap orang di masyarakat harus memberi manfaat kepada lingkungannya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *