Sebuah lembaga kajian Buddhis yang berbasis di Jakarta, Institut Nagarjuna, melansir sebuah fakta mengejutkan.
Sebuah fakta yang sebenarnya merupakan data lama tapi sepertinya tidak terlalu banyak umat Buddha yang ‘ngeh’ dan mempedulikannya. Data itu adalah tentang jumlah umat Buddha di Indonesia. Menurut hasil sensus Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah umat Buddha 1.703.254 jiwa, atau 0,72% dari total populasi Indonesia 237,6 juta jiwa. Angka ini menurun cukup signifikan dibandingkan data BPS tahun 2005, dimana jumlah umat Buddha 2.242.833 jiwa, atau 1,07% dari total populasi Indonesia saat itu. Tapi uniknya Direktorat Jenderal Bimas Buddha Kementerian Agama RI punya data yang berbeda yang mengklaim jumlah umat Buddha Indonesia saat ini sekitar 5 juta jiwa. Lalu, mana yang benar?
Data ini diungkap dalam Dialog Komunitas “Membangun Kesepahaman, Kebijakan dan Strategi Menata Buddhis Indonesia” di Gedung Dewan Pers, Jakarta, pada Sabtu, 13 Oktober 2012 lalu. Dialog ini hasil kerjasama Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) dan Institut Nagarjuna.
Ada sejumlah opini tentang hal ini. Eddy Setiawan, seorang mantan aktivis mahasiswa Buddhis yang kini bekerja pada Institut Kewarganegaraan Indonesia menyebut penurunan itu terjadi salah satunya karena adanya pengakuan agama baru, yaitu Konghucu, pada awal tahun 2000 pada masa pemerintahan Gus Dur. Jumlah umat Konghucu yang tercatat sebanyak 117.091 jiwa diyakini hampir semuanya sebelumnya tercatat sebagai penganut agama Buddha.
Dalam dialog yang dikemas layaknya acara Indonesian Lawyers Club di salah satu televisi swasta nasional itu akhirnya sepakat untuk menelisik lebih jauh data mana yang valid, walaupun ada kecenderungan lebih merujuk pada data BPS. Karena bagaimanapun data BPS yang diakui secara resmi.
Para peserta dialog yang terdiri dari anggota Sangha, pimpinan majelis keagamaan Buddha, tokoh Buddhis, akademisi, dan mahasiswa berdialog dengan cair namun tetap kritis. Isyanto, direktur eksekutif Institut Nagarjuna yang menjadi moderator berhasil menggiring peserta mengeluarkan pendapat dan mungkin juga unek-uneknya dengan santai dan terbuka. Peserta dialog sendiri ada yang berasal dari perwakilan majelis yang berafiliasi kepada KASI dan ada yang berafiliasi kepada Walubi. Konflik yang bertahun-tahun melanda kedua organisasi induk agama Buddha itu seperti sama sekali tak berbekas dalam dialog itu. Semua berbicara dengan terbuka dan santai penuh keakraban, bahkan ketika membicarakan tentang konflik KASI-Walubi.
Banyak topik yang dibahas, mulai dari data valid jumlah umat Buddha, hubungan KASI dan Walubi, sekolah Buddhis, beasiswa, peran vihara dan Dharmaduta, hingga isu-isu terkini seperti kasus Rohingya dan Bangladesh yang berimbas sampai ke Indonesia. Mungkin memang seperti itulah gambaran pekerjaan rumah yang harus diselesaikan komunitas Buddhis di Indonesia. Begitu kompleks dan rumit.
Tapi sebelum melangkah lebih jauh membenahi agama Buddha di Indonesia, sepertinya yang pertama harus dibenahi adalah seperti apa yang diungkapkan oleh salah seorang utusan dari majelis Maitreya, “Yang harus ditindaklanjuti adalah masalah ‘orangtua’ kita. Kalau ‘orangtua’ tidak akur, susah kita jadi ‘anak’.”
Yup! KASI dan Walubi sebagai ‘orangtua’ umat Buddha di Indonesia harus terlebih dahulu akur sebelum melangkah lebih jauh membenahi agama Buddha. Dualisme organisasi dalam tubuh agama Buddha ini harus diselesaikan terlebih dahulu baru bisa menyatukan visi dan langkah. “Sesungguhnya kami (KASI dengan Walubi) ini tidak ada yang dipermasalahkan,” kata Sekjen KASI Bhikkhu Dhammakaro.
Ariya Chandra, seorang pandita senior Theravada, menjadi terkenang akan ucapan almarhum Anton Haliman, salah seorang dermawan Buddhis pendiri Agung Podomoro Group. “Kalau dilihat dalam berorganisasi di Buddhis, mereka semua naga-naga yang hebat. Tapi kalau sepuluh naga dikumpulkan jadi satu, mereka bukan jadi naga. Mereka jadi cacing yang saling bergulat sendiri,” tuturnya prihatin. “Masalah besar yang kita hadapi adalah ego (‘sang aku’ kita), padahal Sang Buddha mengajarkan mengenai paham anatta. Kita diajarkan untuk makin mengikis ‘aku’, tapi makin dibentuk organisasi, ‘aku’ makin besar. Merasa ‘aku’ paling hebat sehingga tidak bisa bekerjasama.”
Tentang turunnya jumlah umat Buddha, Sugianto, advokat yang juga pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) mengaitkannya dengan perkembangan politik nasional. Menurutnya, perkembangan jumlah umat Buddha sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Dalam berbagai gejolak politik, mulai dari zaman kolonial, revolusi tahun 1965, hingga reformasi tahun 1998. “Sayangnya agama Buddha selalu menjadi pihak yang dirugikan karena justru jumlahnya menjadi berkurang,” terangnya.
Contoh dari analisa Sugianto ini disampaikan oleh Eddy Setiawan. Ketika Konghucu diresmikan menjadi sebuah agama awal tahun 2000, semua gereja merayakan Imlek, semua gereja mendatangkan barongsai. “Mereka takut kehilangan sebagian umatnya yang orang Tionghoa yang memang dulunya terpaksa pindah (agama ke gereja),” ucap Eddy. Sialnya, yang justru tergerus adalah umat Buddha.
“Kita harus berbuat sesuatu. Kalau tidak, jumlah agama Buddha akan berkurang terus,” cetus Sugianto tegas. “Agama Buddha kalau di pedesaan dikepung oleh mayoritas sehingga banyak yang pindah agama. Sedangkan di perkotaan digempur oleh sesama minoritas tapi kemampuan ekonomi, pendidikan, ataupun intelektualitasnya jauh lebih besar.” Karenanya, banyak orang yang sebenarnya beragama Buddha tapi KTP-nya agama lain. Entah karena cari aman, gengsi, atau merasa nyaman dengan agama itu.
“Umat Buddha tidak pernah bangga dengan agamanya, malah malu menyatakan dirinya beragama Buddha!” Sugianto mengkritik keras.
Masih berkaitan dengan korelasi agama dan politik, Eddy Setiawan menceritakan kajiannya tentang perkembangan agama Buddha di Vietnam dan Korea Selatan.
Vietnam mayoritas beragama Buddha tapi siapa sangka sempat pernah hampir berubah menjadi negara Katolik ketika diperintah oleh Presiden Ngo Dinh Diem pada tahun 1960an. Ia memaksakan warga Vietnam untuk pindah menjadi Katolik, agama yang dianutnya. Namun rakyat bersatu menentang presidennya hingga terjadi demo anti pemerintah besar-besaran, salah satunya adalah aksi bakar diri Bhiksu Thich Quang Due. Aksi ini dianggap sebagai salah satu pemicu hingga akhirnya rezim Presiden Ngo Dinh Diem jatuh. Maka, agama Buddha di Vietnam pun terlepas dari ancaman besar.
Sebaliknya adalah cerita gagal dari Korea Selatan. Awalnya umat Buddha di sana mencapai 90 persen, tapi bisa turun sangat tajam hingga tinggal 10 persen! Sejumlah orang yang peduli kemudian membentuk Buddhist Solidarity for Reform yang bekerja keras mengembalikan jumlah umat Buddha di sana. “Sekarang naik lagi menjadi 22 persen,” tutur Eddy.
Lalu kenapa posisi agama Buddha di Indonesia sangat lemah? “Karena kita tidak punya tulang punggung politik,” jawab Eddy. Ia kemudian membandingkan dengan agama Hindu sebagai sesama agama minoritas tapi punya tokoh-tokoh di pemerintahan, akademisi, hingga partai politik. Dan mereka memperjuangkan kepentingan agama mereka. Sedangkan agama Buddha nihil! Kita memang sempat punya tokoh seperti Kwik Kian Gie yang beragama Buddha. Tapi Kwik Kian Gie besar menjadi tokoh bukan di lingkungan komunitas Buddhis, sehingga tak mengherankan jika dia tidak terlalu punya ikatan emosional kuat dengan komunitas Buddhis.
Pembahasan lain yang cukup menarik masih berkaitan dengan penurunan jumlah umat Buddha disampaikan oleh Daniel Johan, salah satu pendiri Institut Nagarjuna yang juga staf khusus Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI. Daniel bercerita, “Seluruh keponakan saya nggak ada satu pun yang Buddha, padahal orangtuanya semuanya Buddha. Karena mereka sekolah di sana, di sekolah Kristen dan Katolik.”
Pengalaman yang hampir sama juga dialami Ernawati Soegondo, anggota DPRD DKI Jakarta. “Kenapa agama Buddha menurun? Mungkin dari sekolahan kali ya. Kan banyak anak-anak yang sekolah di sekolah Katolik dan Kristen,” tutur Ernawati.
Ini memang sebuah fakta yang sangat sering kita dengar. Banyak anak yang akhirnya pindah dari agama Buddha karena sejak Playgroup atau TK hingga SMU bersekolah di sekolah Kristen atau Katolik, sebaliknya perkenalan dengan agama Buddha sangat terbatas. “Perkembangan agama Buddha menjadi sangat lemah karena tidak dimulai dari pendidikan dan sosial,” analisa Daniel. Ia kemudian menyebut ‘cantrik’ yang merupakan warisan Kerajaan Sriwijaya, tapi justru diserap oleh agama Islam menjadi santri dan pesantren. “Makanya sampai kapan pun Islam nggak akan goyah karena mengangkat pendidikan, basis yang paling dasar.”
Daniel melanjutkan, “Di Thailand, vihara dan sekolah jadi satu, seperti pesantren di Indonesia. Kenapa bukan itu yang diwariskan?” Untungnya masih ada komunitas berbasis Buddhis di Indonesia yang menerapkan cara ini. “Ini diberikan contoh yang sangat baik oleh Tzu Chi yang datang ke Indonesia bukan diawali dari agama tapi dari pendidikan dan sosial,” kata Daniel. “Kita harusnya seperti itu. Apalagi undang undang pendidikan sangat mendukung karena sekolah Katolik tidak harus mengajarkan Katolik, sekolah Kristen tidak harus mengajarkan Kristen. STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha) sebanyak 14 harus diupgrade untuk menghasilkan sumber daya pendidikan Buddhis yang baik.”
“Kita harus kembali ke akar, ke pendidikan!” tegas Daniel Johan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara