Api pawon (tungku tradisonal Jawa) tak pernah berhenti menganga, memanasi penanak nasi yang berukuran besar. Dapur berukuran 3 x 6 meter milik yang punya rumah tak mampu menampung banyaknya ibu-ibu memasak.
Pemandangan tak jauh berbeda terlihat di rumah sebelah, tungku-tungku berjajar dengan api menyala, melahap tumpukan kayu kering. Sementara kaum perempuan membuat aneka makanan di dapur, para lelaki sibuk membuat ancak (anyaman bambu), ketupat, memotong dan membelah kayu bakar hingga membersihkan jalan menuju sendang.
Rabu (12/4) mungkin menjadi salah satu hari terpenting dalam hidup Waltiyah dan Pujiyanto, warga Dusun Krecek, Temanggung. Hari itu, usia kandungan Waltiya telah mencapai tujuh bulan. Sebagai masyarakat Jawa pelbagai upacara slametan digelar saat hari-hari penting, termasuk upacara peringatan tujuh bulan kandungan, oleh warga Dusun Krecek disebut sebagai upacara mitoni atau tingkeban.
Mitoni
Bagi masyarakat Dusun Krecek, upacara mitoni tak jauh berbeda dengan orang punya gawe. Semua dilakukan dengan totalitas, melibatkan sanak saudara dan tetangga. Prosesnya juga dilakukan dengan sakral, hal-hal tersebut dimulai dari beberapa rangkaian prosesi.
Pertama; Nyajeni (memberi sesaji). Pada umumnya, masyarakat perdesaan hidup menyatu dan selaras dengan alam. Sumber mata air, tanaman, perempatan jalan, pawon, atap rumah, sendang merupakan bagian dari pemberi kehidupan. Saat punya gawe seperti pernikahan, khitan, gombak, sedekah dusun dan lain-lain, tempat-tempat seperti ini akan beri sesaji.
Baca juga: Sadranan Upacara Ratusan Tahun yang Ada di Jawa
“Sebelum saya memangku Dusun (Krecek) ini, para pendahulu juga melakukan ini. Memberi sesaji sebagai bentuk rasa syukur atas kehidupan ini, juga pelimpahan jasa kepada mahkluk-mahkluk yang ada di situ,” kata Sukoyo, sesepuh Dusun Krecek.
Kedua; Memandikan orangtua calon jabang bayi. Dengan memakai jarik (ibu), sarung (ayah) kedua orangtua calon jabang bayi diarak dari rumahnya menuju sendang. Dengan membawa sapu dan batok berisi bunga, uang koin dan air dukun bayi berada di barisan terdepan diikuti oleh pasangan suami istri dan pengiring. Upacara mandi pasangan ini adalah inti dari upacara mitoni. Setelah upacara mandi pasangan selesai, para pengiring melakukan kendurian dengan rebutan makanan yang dibawa dari rumah.
Ketiga; Pujabhakti. Sebagai umat Buddha apalagi tinggal di dusun dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, pujabhakti membacakan parita-parita suci selalu dilakukan setiap acara. Pujabhakti diikuti oleh semua warga dusun (laki-laki). Selesai pujabhakti, yang punya rumah memberi suguhan makanan. Saat itu juga terlihat guyub rukunnya warga dusun Krecek.
Keempat, Kendurian. Bagi masyarakat Dusun Krecek, gendurian adalah proses yang tidak bisa ditinggalkan dalam setiap gawe, termasuk saat acara mitoni. Daun pisang dijajar memanjang, seluruh warga dusun (laki-laki) duduk berhadapan mengelilingi tumpeng dan aneka makanan. Manggalia (pemimpin ritual Buddha), membacakan doa bahasa Jawa dan parita-parita suci. Makan bersama dengan alas daun pisang menjadi penutup acara pada malam hari.
Tetapi acara tak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, mulai dini hari, para perempuan sudah sibuk kembali masak di dapur. Masakan ini digunakan untuk ater-ater (memberi makanan) kepada sanak saudara dan seluruh warga dusun.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara