Reza Wattimena | Friday, 27 September 2019 16.16 PM Life
Perselingkuhan itu bagaikan petir di siang bolong. Ia mengguncang dan mengagetkan. Perselingkuhan merupakan tindak mematahkan janji untuk tetap setia terhadap pasangan. Ia menciptakan kegembiraan sesaat dengan jutaan sakit hati serta masalah yang nantinya datang mengikuti.
Bagi banyak orang, ini adalah tema yang amat sensitif. Tak sedikit orang yang terluka karenanya. Berbagai lagu dan film berkembang dari tema ini. Berbagai tragedi berdarah juga terjadi di atasnya.
Memang, daya rusak perselingkuhan amatlah besar. Ia mengoyak hati yang sebelumnya tulus menyayangi. Ia memecah keluarga ke dalam kepingan-kepingan sakit hati. Ujung yang paling menyakitkan, akibat perselingkuhan, pembunuhan pun terjadi.
Ini semua terjadi, karena perselingkuhan merusak salah satu sumber kebahagiaan terbesar manusia, yakni hubungan cinta yang mendalam dengan manusia lain. Ketika jatuh cinta, semua terasa begitu indah. Hati berbunga-bunga, dan hidup terasa kembali bermakna. Ketika itu lenyap, akibat perselingkuhan, luka yang ditinggal begitu menyayat. Tak jarang, kematian pun dianggap sebagai pelepasan yang melegakan.
Beberapa data
Beberapa data kiranya bisa memberikan penjelasan. Data dari Demographic Yearbook of the United Nations dari 97 masyarakat antara 1947 sampai 1992 menunjukkan, bahwa lebih dari 90% orang memilih untuk berpasangan. (Fisher, 2014) Mereka merasa, bahwa berpasangan adalah salah satu kebahagiaan tertinggi yang bisa ditawarkan kehidupan. Data terbaru juga menunjukkan, bahwa 85% orang akan menikah dalam hidupnya.
Namun, lebih dari 40% dari pasangan itu mengaku telah berselingkuh. Tentu saja, pria lebih sering melakukan perselingkuhan, daripada wanita. Namun, ada penyebab sampingan untuk itu. Orang sulit mengakui, bahwa mereka telah berselingkuhan, apalagi untuk bahan penelitian semacam ini. Jadi, data tepatnya sulit, dan bahkan tidak mungkin, untuk didapatkan.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan antara struktur otak dan perselingkuhan. Jika dorongan seks tinggi, dan itu tak terpuaskan, maka kemungkinan perselingkuhan akan semakin besar. Dorongan seks tinggi terkait dengan struktur otak sekaligus hormon-hormon yang ada di dalamnya.
Perselingkuhan juga terjadi, ketika orang berpendapat, bahwa pasangannya tak lagi mampu menjadi pasangan yang baik di dalam membesarkan anak-anak. Ini terkait dengan dorongan evolusi manusia untuk memiliki keturunan yang lebih baik dari dirinya. Dorongan ini kerap kali tak disadari, namun amat mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat seseorang.
Mengapa orang berselingkuh?
Sebab-sebab di atas kiranya belum menyentuh hal yang lebih dalam. Beberapa penggalian kiranya diperlukan. Pertama, faktor kesepian amat mendorong orang untuk berselingkuh. Orang bisa merasa kesepian, walaupun ia dikelilingi orang-orang yang ia cintai, ataupun dikelilingi oleh keramaian.
Maka, kesepian adalah soal rasa pribadi. Ia terbentuk dari kesalahpahaman pandangan tentang hidup. Sejatinya, kita tak pernah kesepian. Seluruh kehidupan nenek moyang maupun semua mahluk hidup sudah selalu bersama kita setiap detiknya. Udara yang kita hirup, air yang kita minum serta makanan yang kita makan adalah hasil pengolahan jutaan yang melibatkan semua mahluk hidup. Ini adalah fakta, dan bukan sekadar hiburan romantis.
Dua, perselingkuhan terjadi, ketika pasangan tak lagi saling mendengar satu sama lain. Satu demi satu, janji dipatahkan. Maaf pun hanya sekedar kata yang tak lagi bermakna. Hubungan menjadi dingin dan beku, serta membuka kesempatan bagi orang lain untuk masuk.
Belajar untuk mendengar mungkin merupakan salah satu hal tersulit dalam hidup. Kita hanya mendengar apa yang ingin kita dengar, yakni apa yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan yang kita punya. Alhasil, salah paham pun tak bisa dihindari. Perselingkuhan hanyalah salah satu dampak dari salah paham yang tak terobati.
Tiga, perselingkuhan terjadi, karena krisis keteladanan. Orang tua berkata soal kejujuran dan kesetiaan, namun memiliki wanita ataupun pria simpanan yang disembunyikan. Masyarakat luas berkhotbah soal kejujuran. Namun, korupsi dan kebohongan bertebaran.
Kemunafikan semacam itu yang mengundang perselingkuhan. Orang main mata dan main hati dengan orang yang bukan pasangannya. Kemunafikan didiamkan, maka perselingkuhan pun juga diabaikan. Semua sama-sama tahu, dan sama-sama selingkuh.
Melampaui perselingkuhan
Pada akhirnya, kita perlu mengolah kesepian. Bahkan di saat sendiri pun, kita bisa terhindar dari kesepian, asal memiliki cara berpikir yang tepat. Kita juga perlu membangun teladan dari dalam diri. Orang-orang di luar bisa berbuat jahat dan kejam. Namun, kita tak akan mengikutinya, apa pun yang terjadi.
Kita juga perlu belajar untuk sungguh mendengar. Kita menyimak dengan seksama apa yang disampaikan orang lain. Berbeda pendapat itu soal biasa dalam hidup. Jika pun tak ada titik tengah, perpisahan pun juga merupakan kemungkinan.
Di sinilah arti penting mendengar dengan kesadaran (mindful hearing). Ketika mendengar dengan kesadaran, kita melepaskan ego kita. Kita melepaskan pula ambisi pribadi yang menutupi telinga kita dari harapan maupun keinginan pasangan kita. Dengan pola ini, kesepakatan yang sehat terbuka untuk ditemukan.
Pada akhirnya, daripada berselingkuh lebih baik berpisah. Berpisah dengan adil adalah sebuah keutamaan hidup yang tinggi. Orang melepas apa yang tak bisa disepakatinya. Sepakat untuk tidak sepakat, lalu berpisah secara beradab, itulah yang kiranya perlu kita dalami bersama.
Perselingkuhan sebagai jalan pencerahan
Dalam derita sakit hati yang menyayat, kesempatan lebar terbuka. Orang bisa menemukan dirinya sebenarnya, ketika dihantam penderitaan yang besar. Inilah kiranya sisi terang dari perselingkuhan. Alih-alih tenggelam dalam dendam dan sakit hati berkepanjangan, para korban perselingkuhan bisa memperdalam spiritualitasnya.
Penderitaan bisa membuat kita memisahkan diri dari pikiran maupun emosi yang muncul. Dalam kaca mata Zen, penderitaan bisa mendorong kita langsung ke keadaan alamiah kita sebagai mahluk hidup. Keadaan alamiah ini berada sebelum pikiran dan emosi yang muncul. Ia jernih, dan selalu bisa menanggapi keadaan dengan bijaksana. Ia adalah hakekat Buddha (Buddha Nature) yang dimiliki setiap kehidupan.
Pada akhirnya, penderitaan adalah pencerahan. Luka karena perselingkuhan bisa menjadi jalan tol untuk mencapai pencerahan. Artinya, kita bisa menyadari sepenuhnya, siapa diri kita yang sebenarnya. Inilah inti terdalam dari proses penyembuhan diri (self-healing)
Setelah itu, kita bisa belajar untuk mencintai dan mempercayai lagi…
Reza A.A Wattimena
Pelaku Zen, tinggal di Jakarta
Setelah melalui proses selama 9 tahun, BuddhaZine kini telah berpayung hukum dengan naungan Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara. Kami berkantor di Dusun Krecek, Temanggung. Dengan yayasan ini kami berharap bisa mengembangkan Buddhadharma bersama Anda dan segenap masyarakat dusun.
Kami meyakini bahwa salah satu pondasi Buddhadharma terletak di masyarakat yang menjadikan nilai-nilai ajaran Buddha dan kearifan budaya sebagai elemen kehidupan.
Anda dapat bergabung bersama kami dengan berdana di:
Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara
Bank Mandiri
185-00-0160-236-3
KCP Temanggung