• Tuesday, 6 August 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Foto : Surahman Ana

Vihara Yasodara yang terletak di Dusun Banjarsari, Desa Karang Jengkol, Kecamatan Pesugihan, Cilacap, menyajikan pemandangan yang tidak lazim untuk sebuah vihara di daerah pedesaan. Berbeda dengan kebiasaan di banyak daerah, di mana vihara umumnya berada dekat dengan rumah-rumah umat Buddha, Vihara Yasodara justru terletak dan dikelilingi oleh perumahan umat agama lain. Keberadaan rumah umat Buddha berbeda lingkungan RT dengan vihara, dengan jarak terdekat kurang lebih 100 meter.

Bangunan ini, yang didirikan pada tahun 2003, berada di tengah pemukiman yang harus diakses melalui gang kecil yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Vihara Yasodara bukanlah vihara pertama di Dusun Banjarsari. Pada tahun 1980-an, sebuah vihara yang lebih besar dibangun di pinggir jalan utama. Namun, meskipun vihara saat ini memiliki ukuran lebih kecil dan terletak jauh dari umat, keberadaannya menunjukkan keharmonisan kehidupan beragama di Dusun Banjarsari.

Hingga kunjungan BuddhaZine pada Selasa (25/6/2024), Vihara Yasodara, yang direnovasi pada tahun 2023, memiliki 75 umat yang terbagi dalam 22 keluarga. “Keberadaan vihara ini di tengah pemukiman umat agama lain menunjukkan bahwa toleransi di Dusun Banjarsari berjalan dengan baik,” ujar Karsidi (57), salah satu pengurus vihara. Ia juga menambahkan bahwa beberapa waktu lalu, vihara ini menerima kunjungan dari siswa-siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk mengikuti edukasi tentang moderasi umat beragama.

Menurut Karsidi, perkembangan agama Buddha di Dusun Banjarsari tidak terlepas dari peran tokoh terdahulu, Bapak Mustakim, yang dikenal juga sebagai Bhante Dhammatejo. Beliau membeli lahan dari Pak Pujo Sumarto, ketua vihara sebelumnya, untuk mendirikan vihara. Kala itu, sekitar lima puluh tahun lalu, umat Buddha di dusun ini merupakan mayoritas, bahkan pejabat dusun banyak berasal dari kalangan umat Buddha termasuk Kepala Dusun.

Namun, kondisi ini berubah seiring waktu, dan jumlah umat Buddha di Dusun Banjarsari berkurang signifikan. Karsidi, yang berasal dari keluarga non-Buddhis, mengaku menemukan kecocokan dengan ajaran Buddha dan terus aktif dalam kegiatan umat. “Meskipun jumlah umat berkurang, keaktifan kami tetap terjaga. Puja bakti rutin dilakukan setiap malam Minggu dan malam Rabu. Kami juga berkolaborasi dengan vihara di Sumingkir meskipun dengan tradisi yang berbeda,” jelasnya. “Sekolah Minggu Buddha juga sudah mulai berjalan, dan anak-anak mulai percaya diri tampil di luar vihara.”

Karsidi berharap ada terobosan dari tokoh-tokoh agama Buddha untuk mempertahankan dan mengembangkan Buddha Dhamma di Dusun Banjarsari. Menurutnya, permasalahan ekonomi dan perjodohan di kalangan umat Buddha merupakan tantangan besar. “Permasalahan ekonomi dan perjodohan ini mempengaruhi keberlangsungan keyakinan umat Buddha. Ini perlu dicari solusi agar umat dapat mempertahankan keyakinannya,” ungkapnya.

Selain itu, dia juga mengungkapkan perlunya sertifikasi lahan vihara untuk menghindari sengketa di masa mendatang. “Kami menghadapi kesulitan dalam mengurus sertifikasi karena keterbatasan sumber daya manusia. Saya berharap ada pihak yang dapat membantu proses sertifikasi ini,” tambah Karsidi.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *