• Wednesday, 14 August 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Foto     : Ngasiran

Umat Tri Dharma gelar Upacara Ullambana di Tempat Ibadah Tri Dharma “Dharma Nugraha” Parakan, Temanggung pada Rabu (14/8/2024). Upacara dihadiri oleh enam bhiksu dan sejumlah umat yang merupakan pengurus Tempat Ibadah Tri Dharma serta beberapa tamu dari Jakarta dan Bandung.

Upacara tahun ini merupakan gelaran yang kedua setelah pelaksanaan yang pertama pada tahun 2005. Acara ini juga didukung oleh Vihara Ekayana Jakarta. Dalam tradisi Mahayana, Ullambana merupakan momen untuk melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhur yang sudah meninggal terutama ayah dan ibu, sebagai wujud bakti.

Dalam upacara ini, berbagai sajian mulai dari hasil tani, nasi, beragam lauk dan sayur, berbagai makanan ringan dan minuman ditata sedemikian rupa di depan altar. Di bagian latar belakang sajian terpasang kurang lebih 750 nama leluhur yang sudah meninggal. Selama upacara umat mengikuti pembacaan mantra sehari penuh mulai dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB yang dipimpin oleh Bhiksu Nyanaprathama dari Sangha Agung Indonesia (SAGIN).

Jimmy Sugiarto Pranoto, Ketua Panitia acara, menyampaikan bahwa upacara ini bertujuan untuk mengingat budi baik para leluhur. “Satu hari ini kami membacakan empat mantra panjang sampai petang. Mantra yang dibacakan namanya Ullambana Sutra dan ditutup dengan mantra yang paling sakral sekitar tiga jam pembacaan,” terang Jimmy.

Suhandoko Tanusubroto, salah satu pengurus Tempat Ibadah Tri Dharma Parakan, berharap dengan upacara ini bisa menolong para leluhur untuk terlahir di alam bahagia.

“Barang kali ada leluhur kita yang terlahir di alam menderita, dengan Ullambana ini bisa mempercepat kelahiran kembali para leluhur di alam bahagia. Munculnya tradisi Ullambana ini berdasarkan kisah YA. Moggallana yang kala itu ingin menolong mendiang ibunya yang terlahir sebagai hantu kelaparan,” jelas Handoko.

Asal-usul Ullambana

Dilansir Berita Bhagavant, edisi 27 Agustus 2015, yang menjelaskan bahwa bulan ke-7 atau Cit Gwee dalam kalender Tionghoa (Imlek), secara tradisi dikenal sebagai “Bulan Hantu”. Meskipun berkaitan dengan makhluk tak terlihat atau secara umum disebut hantu, Hari Ullambana tidak berkaitan dengan mitos-mitos suram dan pantangan takhayul. Bahkan dalam ajaran Agama Buddha, tidak ada yang namanya “Bulan Hantu”, tidak ada mitos dibebaskannya hantu-hantu dari neraka untuk berlibur (cuti) dan saling berebut makanan dari para dermawan selama bulan ke-7 atau Cit Gwee.

Sebaliknya, Hari Ullambana adalah hari bahagia saat umat Buddha dapat membalas budi dengan membantu makhluk tak terlihat yang menderita yaitu preta (Pali: petā) atau sering diterjemahkan sebagai hantu kelaparan, yang tidak menutup kemungkinan merupakan salah satu orang tua, leluhur, kerabat terdahulu.

Hari Ullambana sendiri muncul berdasarkan pada kepustakaan Buddhisme Mahayana yaitu Ullambana Sutra yang isinya mengenai Yang Arya Maudgalyāyana (Pali: Moggallāna), salah satu Siswa Utama Sri Buddha yang sedang bermeditasi melihat mendiang ibunya yang terlahir kembali sebagai hantu kelaparan dan beliau ingin menolongnya.

Berkat nasihat Sri Buddha, Maudgalyāyana dapat menolong mendiang ibunya dengan cara melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baiknya berupa mempersembahkan dana untuk Sangha Bhiksu, kepada mendiang ibunya, dan dilakukan pada akhir masa varsa (Pali: vassa – retret musim hujan) atau Pravarana (Pali: Pavarana) yaitu pada tanggal 15 bulan 7.

Praktik melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baik (jasa) yang telah dilakukan tersebut juga dipraktikkan dalam tradisi Buddhisme Theravada dan disebut dalam bahasa Pali sebagai Pattidāna. Dengan kata lain, upacara puja atau sembahyang Ullambana pada dasarnya atau esensinya merupakan bentuk dari praktik Pattidāna, hanya saja dilakukan di bulan Cit Gwee (bulan ke-7 Imlek). Sedangkan Pattidāna sendiri dapat dilakukan kapan saja.

Dalam kepustakaan Buddhisme Theravada, praktik Pattidāna berawal dari kisah Raja Bimbisara dari Kerajaan Magadha yang melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baiknya kepada para peta yang merupakan sanak keluarganya dengan cara mempersembahkan dana kepada Sangha Bhikkhu. Kisah ini memiliki esensi yang sama dengan kisah Maudgalyāyana, hanya saja tidak ditetapkan waktu pelaksanaannya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *