• Friday, 3 November 2017
  • Hendry F. Jan
  • 0

Aku memandang ke depan, hanya tampak plafon berwarna putih dan lampu. Lalu pandanganku bergeser ke arah bawah, ada pesawat televisi yang menempel di dinding. Perlahan aku mengumpulkan ingatanku. “Ah… ternyata aku baru saja bermimpi. Sekarang aku masih terbaring di kasur,” kataku pada diri sendiri.

Kulihat ke samping kananku, istriku tidak ada. Pasti ia sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan untukku. Dengan gerakan perlahan, aku duduk di kasur. Di usia 65 tahun aku bersyukur masih bisa beraktivitas tanpa harus dibantu, begitu juga istriku. Meski sudah jadi Opa dan Oma, kami masih mandiri, melakukan semuanya tanpa harus dibantu orang lain.

Aku kembali teringat pada mimpi yang baru saja aku alami. Aku bermimpi tentang rekan sekerjaku dulu, Rivano. Rivano yang dulu menikah dengan gadis cantik, kembang desa. Istrinya cantik banget, bisa disebut Miss Universe dari desanya. Tapi menikah dengan gadis secantik itu ternyata banyak risikonya. Rivano harus memanjakannya. Istrinya minta diperlakukan bak ratu, hanya memakai pakaian branded, makanan yang kekinian istilah kids zaman now, tiap hari Minggu harus diajak ke mal. Dan, untuk itu Rivano harus cari akal agar gajinya yang tidak seberapa bisa mencukupi keinginan istrinya. Anak-anak pun otomatis ikut gaya hidup orang kaya.

Dalam mimpiku, Rivano datang ke rumahku dalam keadaan yang menyedihkan, badannya kurus tak terawat. Ia sekarang hidup sendiri, istri dan anaknya pergi meninggalkannya, tak lama setelah Rivano diberhentikan karena tidak disiplin. Ia memang sering datang telat atau minta izin pulang setelah jam makan siang. Sering banget terlambat masuk kerja atau bahkan tidak masuk dengan alasan yang itu-itu lagi: antar anak sekolah, ambil raport anak, ban motor bocor, jet pump rusak, antar ortu ke bandara, dan antar ortu ke dokter.

Rivano selalu jadi andalan untuk urusan keluarga kecilnya sendiri, keluarga besarnya, juga keluarga besar istrinya. Padahal Rivano bekerja, Rivano dan istrinya bukan anak tunggal. Ada adik atau kakak yang bisa diminta bantuan.

Parahnya, istri Rivano yang hanya seorang ibu rumah tangga dan bisa mengendarai motor pun, selalu mengandalkan Rivano untuk urusan antar anak tunggal mereka yang sudah kelas 3 SD ke sekolah, termasuk untuk ambil raport.

Huuuh… aku menghela napas. Lupakan mimpi itu. Aku langsung ingat Raya, cucu pertama kami. Entah kebetulan atau ada hubungan karma atau apa namanya, setiap kali aku mimpi yang kurang baik, aku selalu mendapati Raya sedang menghadapi masalah. Pernah saat aku mimpi resto sate Pak Tino Kusbini, mantan atasanku habis terbakar, esoknya saat aku main ke rumah Ananda, anakku, kudapati Raya yang tidak sekolah karena habis terjatuh dari sepeda.

Setelah aku bermimpi Baharudin Bima, mantan teman kuliahku kehilangan Reynold, anak bungsunya yang meninggal karena demam berdarah, aku mendapat telepon dari Ananda yang mengabarkan Ray, panggilan kesayangan untuk Raya, sedang terkena cacar. Dan mimpi-mimpi buruk selanjutnya juga diikuti keadaan Ray yang kurang baik. Jadi mimpi burukku, kuyakini sebagai kiriman pesan bahwa Ray sedang bermasalah.

* * * * * * * * * * *

Aku mengayuh sepedaku menuju kompleks perumahan anakku yang tidak begitu jauh. Ananda dan istrinya tentu masih di kantor tempat mereka bekerja. Sekarang ini pasti Ray sudah di rumah, sudah pulang dari sekolah.

Setelah pembantu membuka pagar, aku segera masuk dan langsung ke kamar Ray di lantai dua. Aku ketuk pintu kamarnya sambil memanggil, “Ray…”

“Iya Yéyé**” jawabnya. Kemudian Ray membuka pintu. Kutatap wajahnya, hmmm… memang tidak seceria biasa. Terlihat murung meski coba disembunyikan.

“Ray lagi apa?” tanyaku berbasa-basi.

“Buat PR matematika,” jawabnya.

“Ray lagi ada masalah apa?” kataku sambil mengusap kepala cucuku yang duduk di kelas 4 SD ini.

Ray tidak menjawab, tapi ia menghentikan aktivitasnya menulis. Ray membalikkan badan dan menatapku. “Ray tidak bisa bohong ya sama Yéyé?” kata Ray. “Yéyé selalu tahu kalau Ray ada masalah,” lanjutnya. Aku membimbingnya duduk di kasur, “Ayo cerita…” kataku. Ray menatapku sejenak, lalu ia mulai bercerita.

“Kemarin Ray bohong pada Mama dan Papa,” Ray memulai ceritanya. “Lutut Ray luka karena didorong teman. Mama dan Papa tanya, siapa yang nakal sama Ray? Ray bilang tidak ada yang nakal, teman Ray baik-baik. Ray terjatuh waktu main sepak bola dengan teman-teman,” Ray berhenti sejenak.

“Pertamanya kami main sepak bola, tapi kemudian jadi kejar belalang yang lompat dan terbang dari rumput. Siapa yang berhasil menginjak belalang, dia yang menang. Ray bilang jangan bunuh belalang, mereka juga makhluk yang ingin hidup. Teman-teman tetap berebutan kejar dan ingin injak belalang. Ray ikut kejar tapi cuma buat usir agar belalang terbang ke tempat yang jauh dan selamat. Hansen marah dan dorong Ray sampai terjatuh,” Ray mengakhiri ceritanya.

“Oke, apa yang Ray lakukan sudah benar,” aku mulai bicara.

“Tapi kata Cici di Sekolah Minggu, berbohong itu melanggar sila keempat dari Pancasila Buddhis,” Ray mengemukakan pendapatnya.

“Pertama Ray melakukan kebajikan menyelamatkan belalang. Itu baik bagi belalang, juga baik bagi teman-teman Ray agar mereka tidak melanggar sila pertama, membunuh. Kedua soal berbohong. Memang sebaiknya kita tidak berbohong. Berbohong itu melanggar sila keempat. Tapi kadang kita dihadapkan pada pilihan yang sulit sehingga terpaksa berbohong,” kini aku yang berhenti sejenak.

“Ray pernah main sulap di depan teman-teman?” tanyaku.

“Pernah…” jawab Ray.

“Kalau teman Ray bilang, wah…hebat! Ray bisa mengubah kertas jadi uang, padahal semua itu hanya trik, apakah Ray akan bongkar rahasia sulapnya dan cerita jujur bagaimana cara bermain sulap?” aku tanya lagi.

“Tidak dong…” jawab Ray.

“Contoh lain. Ray sedang berdiri di depan rumah, ada seorang yang berlari ketakutan. Beberapa saat kemudian ada seorang yang lari dan membawa pedang. Dia tanya kepada Ray, ke mana larinya orang yang tadi lari lewat sini? Apakah Ray akan jujur mengatakan ke mana orang tadi lari?” tanyaku lagi.

“Tidak…” jawab Ray spontan.

“Mengapa Ray berbohong? Itu ‘kan melanggar sila?” tanyaku.

“Karena orang tadi mungkin akan dibunuh,” jelas Ray.

“Nah… itu kuncinya. Terkadang kita dihadapkan pada situasi seperti itu. Kita terpaksa berbohong. Baik atau buruknya tindakan kita, sangat tergantung dari niat kita. Karena terpaksa, kita berbohong dengan niat menyelamatkan nyawa. Karma buruk berbohong tetap ada, tapi kecil. Jauh lebih besar karma baik kita yang menyelamatkan nyawa,” terangku.

“Jadi, kalo Ray ketemu pilihan yang sulit, begini saja. Silakan berbohong kalo itu terpaksa, tapi syaratnya, karma baiknya jauh lebih besar daripada karma buruk berbohong yang kita lakukan,” aku memberikan tips kepada Ray.

Aku melihat wajah Ray sudah cerah, tidak murung seperti saat awal aku datang. “Ray ada kesulitan dalam mengerjakan PR matematika?” tanyaku.

“Tidak ada,” jawab Ray.

“Kalau begitu, Yéyé turun dulu, Mau minum. Kalau Ray sudah selesai, Yéyé akan ajarkan trik sulap baru, mau nggak?” tawarku.

“Mau!” jawabnya antusias.

Aku menuruni tangga dengan perasaan bahagia, jagoan kecilku begitu gentleman. Ia bisa melindungi teman mainnya dengan mengatakan terjatuh saat main, bukan akibat ulah nakal temannya.

Saat minum, aku jadi teringat video sulap David Copperfield yang legendaris ketika memainkan trik Four Aces yang diajarkan kakeknya saat ia masih kecil. David bercerita, ia pernah berjanji, suatu saat, jika ia sudah terkenal, ia akan memainkan trik itu di panggung sebagai persembahan untuk kakeknya. Sayangnya, sang kakek meninggal sebelum cita-cita David tercapai.

Dan sesuai janjinya, David memainkan trik itu di panggung megah di hadapan ratusan penonton dan jutaan pemirsa televisi sebagai ucapan terima kasih kepada almarhum kakeknya. Di penghujung video, David memandang ke atas, lalu mencium ujung jari telunjuk dan jari tengahnya, kemudian menunjuk ke atas dan tersenyum. Momen yang sangat mengharukan.

**) panggilan untuk kakek (kakek dari pihak ayah) dalam bahasa Mandarin

 

Hendry Filcozwei Jan

Penulis cerpen Buddhis, suami dari Linda Muditavati, ayah dari dua putra (Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan).

Pengelola blog www.vihara.blogspot.com, yang suka sulap, pendiri group WA:Komunitas Cerpen Buddhis (KCB), tinggal di Bandung.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *