Alam semesta bukanlah sesuatu yang tanpa pola. Ia ada dan bergerak dengan pola-pola tertentu. Akal budi manusia bisa digunakan untuk memahaminya. Inilah tujuan utama dari semua ilmu pengetahuan, yakni memahami hukum-hukum yang mengatur alam semesta.
Ilmu pengetahuan, teknologi dan kekuasaan
Namun, alam semesta tak sungguh ada sebagai sesuatu yang tetap dan utuh. Ia amat terkait dengan kesadaran manusia yang mengamatinya. Penelitian-penelitian terbaru neurosains sudah menunjukkan dengan jelas, bahwa alam adalah bentukan dari kesadaran manusia. Kita adalah alam semesta, dan alam semesta adalah kita.
Francis Bacon, pemikir Eropa, pernah menegaskan, bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Hukum-hukum alam perlu dipahami. Ia juga perlu dipatuhi. Hanya dengan memahami dan mematuhi hukum-hukum alam, manusia bisa memanfaatkan hukum-hukum alam untuk hidupnya. Inilah dasar utama dari perkembangan teknologi.
Teknologi adalah efek samping dari pengetahuan. Teknologi modern sudah mengubah hidup manusia. Usia manusia menjadi jauh lebih panjang. Efek sampingnya pun besar, mulai dari kesenjangan global sampai dengan kerusakan lingkungan hidup.
Namun, ilmu pengetahuan lebih dari sekadar teknologi. Ilmu pengetahuan adalah kerinduan untuk memahami semesta. Ilmu pengetahuan juga adalah dorongan untuk mendekati Tuhan. Dengan ilmu pengetahuan yang tepat, hidup manusia tak hanya menjadi lebih sehat, tetapi juga lebih bahagia dan bermutu tinggi. Inilah inti dari fisika pembebasan. Ia bukanlah fisika biasa.
Bukan fisika biasa
Ada tiga hukum alam utama yang membimbing alam semesta dan hidup manusia. Pertama, segalanya berubah. Tidak ada yang tetap di alam semesta ini. apa yang muncul harus lenyap di kemudian hari. Ini berlaku untuk hidup manusia, maupun untuk galaksi serta bintang maha besar di alam semesta.
Herakleitos, pemikir Yunani, terkenal dengan ungkapannya: Pantha Rei, segalanya mengalir. Manusia tidak bisa menginjakkan kaki di sungai yang sama. Sama seperti air sungai yang terus berganti, begitu pula segala hal dalam hidup. Tak ada yang berhenti dan menetap.
Siddharta Gautama, sang Buddha, juga mengungkapkan hal yang sama. Impermanensi adalah hukum baja sejarah. Jika orang mengabaikannya, ia akan menderita. Derita yang lahir dari ketidakmampuan menerima perubahan amatlah besar.
Hukum kedua adalah tak ada inti di dalam segala sesuatu. Tidak ada substansi yang utuh dan tetap. Segalanya mengalir. Segalanya kosong, termasuk atom yang menyusun alam semesta.
Manusia pun tak punya inti. Tak ada “diri” yang utuh dan tetap. Setiap saat, diri kita berubah. Berbagai penelitian neurosains telah sampai pada kesimpulan ini. Aku yang sebelumnya bukanlah aku yang sekarang.
Identitas adalah ilusi. Ia adalah ciptaan masyarakat semata. Ia berguna untuk keperluan praktis. Namun, ia tidak sungguh ada.
Alam semesta juga diisi dengan kekosongan yang besar. Kekosongan ini bukanlah ketiadaan. Ia adalah ruang tempat segala kemungkinan lahir. Berbagai penelitian astrofisika sudah menyimpulkan hal ini.
Hukum ketiga adalah memahami dunia sebagai asap, atau bayangan. Sama seperti “diri”, ia seolah ada, namun tak sungguh ada. Segala hal di dunia seperti ini, termasuk harta, kuasa dan berbagai kenikmatan maupun derita lainnya.
Ketika kita coba mencengkramnya, kita akan frustasi. Bagaimana rasanya memegang asap, atau mengejar bayangan? Inilah penderitaan. Kita ingin kebahagiaan tetap, dan derita pergi menjauh.
Kebahagiaan pasti berlalu. Begitu pula penderitaan. Maka, seluruh dunia adalah kumpulan rasa frustasi, atau penderitaan. Jika kita sungguh sadar akan hal ini, kita akan secara alami melepas dunia, dan mencari ke dalam diri untuk menemukan kesejatian.
Dharma
Alam semesta digerakkan oleh ketiga hukum dasar ini. Yang pertama adalah perubahan. Yang kedua adalah ketiadaan inti atau substansi. Yang ketiga adalah adalah frustasi atau derita.
Ketiga hukum ini bukanlah moralitas ataupun agama semata. Ketiganya adalah fisika. Namun, ia bukan hanya fisika teoretik. Ia adalah fisika untuk membebaskan manusia dari penderitaan hidup yang lahir dari kebodohan.
Di dalam ajaran Asia, ketiga hukum ini disebut juga sebagai Dharma. Ia adalah jalan pembebasan, sekaligus hukum-hukum yang mengatur kehidupan. Para pemikir bijak di dalam sejarah sudah mengajarkannya kepada umat manuia. Namun, ia seolah terlupakan.
Kita lebih terpesona oleh agama-agama yang membunuh akal sehat. Kita lebih terpesona oleh pukauan kenikmatan sesaat yang berakhir pada rasa kecewa, seperti seks tanpa arah, narkoba, belanja dan sebagainya. Pola ini tidak hanya menghancurkan hidup kita, tetapi juga lingkungan hidup di sekitar kita. Di abad 21 ini, karena kebodohan manusia, pandemik Covid-19 global pun terjadi.
Immanuel Kant, pemikir Pencerahan, kiranya tepat. Kita masih hidup dalam ketidakdewasaan yang kita ciptakan sendiri. Kita belum “bangun” pada hukum-hukum sejati yang menciptakan dan menggerakkan seluruh alam semesta. Mau sampai kapan kita hidup seperti ini?
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara