• Tuesday, 17 April 2018
  • Didik Susilo
  • 0

“Beda guru ojo nesu, beda Bapa ora papa, sing penting tunggal tinemu, beda iku kodrate manungsa” 

“Berbeda guru jangan marah, berbeda ayah tidak masalah, yang terpenting kita paham arti persaudaraan, beda itu sudah kodratnya manusia”

~ Sedulur, Jogja Hip Hop Foundation

Media sosial Facebook yang semula menjadi tempat berbagi interaksi sosial kini telah berevolusi menjadi tempat gesek-gesekan.

Apa saja nampaknya menjadi bahan yang layak untuk diperdebatkan, terlebih lagi hal-hal sensitif yang menyangkut tentang suku, ras, agama, antar golongan (SARA), serta kontestasi politik yang semakin memanas. Keramah-tamahan, etika, dan logika seketika lenyap, setiap kali mereka memperdebatkan isu-isu SARA dan politik terkini.

Entah kenapa sopan santun yang menjadi kepribadian bangsa serasa mati suri ketika argumentasi pribadi berbenturan dengan argumentasi yang berbeda, apalagi argumentasi yang terucap dari orang yang bukan dari kelompoknya. Apakah semua harus sama?

Berbeda itu hal yang kodrati

Belakangan ini isu agama menjadi topik bahasan yang mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Bermula dari kasus Ahok yang didakwa menghina Al-Quran sampai kasus terkini tentang “Puisi Ibu Indonesia” karya Ibu Sukmawati yang dinilai beberapa kalangan menista agama serta argumen-argumen dan wacana pro-kontra yang mengiringinya.

Isu-isu agama semakin liar bersliweran di Facebook dan media sosial lainnya. Ada yang mendukung, ada yang mencaci, ada yang menolak, semua tumplak jadi satu, belum lagi di kolom komentar yang tak kalah mendidih.

Nurani menumpul, ego meninggi, logika tertutupi, ujungnya kata-kata penuh emosi di kolom komentar yang menghiasi.

Apakah kita mau terus begini? Hujat sana, hujat sini, cuma menghabiskan energi. Mungkin saat kita sedang bergumul dengan perdebatan yang tiada ujung, di lain sisi terdapat pihak-pihak yang mencari untung. Alhasil kita sendiri yang akhirnya buntung.

Mari bersikap arif

Saat ini mungkin kita belum sadar. Perselisihan dan perdebatan yang saat ini kita lakukan merupakan tontonan yang menghibur bagi beberapa kalangan yang berusaha memecah belah persatuan bangsa.

Marilah kita belajar dari Sri Paduka Mangkunegoro IV dalam karyanya Wedhatama yang berbunyi:

Nggugu karsane priyangga, Nora nganggo paparah lamun angling, Lumuh ingaran balilu, Uger guru aleman nanging janma ingkang wus waspadeng semu, Sinamun ing samudana, Sesadon ingadu manis”.

Menurut Anand Krishna (1999: 16-17) tulisan itu memiliki arti bahwa “orang yang tidak sadar seperti itu, biasanya bertindak tidak arif dan tidak berpikir secara matang sebelum mengatakan sesuatu.

Ia tidak suka dikritik dan selalu mengharapkan pujian. Sebaliknya, Ia yang arif, menyadari hal tersebut dan akan menegurnya dengan menggunakan kata-kata bijak yang disajikan dalam bahasa yang manis dan enak didengar”.

Baca juga: Daya Rusak Fitnah

Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis menggarisbawahi bahwa ciri-ciri orang yang belum sadar dan tidak arif adalah mereka yang berbicara (dalam konteks ini berargumen di media sosial) tanpa didasari pemikiran yang matang. Mereka mengganggap dirinya paling berkuasa dan akan membenarkan argumentasinya sedangkan argumentasi dari kelompok yang berbeda merupakan hal yang salah. Apakah Anda termasuk dalam kategori orang yang belum sadar? Semoga tidak!

Penyebab konflik adalah fanatisme

Dalam pandangan Buddhadharma, salah satu penyebab konflik adalah kemelekatan. Dikutip dari Kumpulan Khotbah Buddha yang disunting dan diintroduksi oleh Bhikkhu Bodhi (2011:42), Guru Kaccana menjelaskan kepada Brahmana tentang asal mula konflik yang bermula dari kemelekatan pada pandangan, terikat pada pandangan, perasaan mendalam pada pandangan, ketagihan pada pandangan, godaan pandangan, menggenggam erat pada pandangan, merupakan penyebab para petapa saling berselisih.

Fanatisme terhadap suatu pandangan menjadikan manusia buta etika dan logika. Kewarasan ditinggalkan demi membela pandangan yang terhina.

Alhasil hujat menghujat menjadi fenomena nyata yang menghiasi dunia maya. Tujuannya nyata, untuk memecah belah persatuan bangsa. Apa itu yang Anda rasa?

Kemajuan teknologi dan informasi menyebabkan komunikasi konvensional bergeser menjadi komunikasi digital yang dapat dilakukan melalui dunia maya. Salah satu dampak dari pergeseran komunikasi tersebut ialah sering terjadinya kesalahpahaman yang mengakibatkan perdebatan dan perselisihan.

Oleh sebab itu ucapan yang termanifestasi dalam tulisan di dunia maya perlu dipikirkan secara matang terlebih dahulu sebelum dibagikan. Buddhisme mengajarkan kepada kita untuk berpikir secara matang terlebih dahulu sebelum menuangkannya melalui ucapan atau tulisan.

Daripada seribu kalimat yang tak berarti, lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya (Dhammapada.100). Laksana seorang yang bijaksana, merangkai kata-kata penuh makna. Bertutur kata yang pantas, lugas dan tegas. Menyampaikan Dhamma yang indah di awalnya, indah di pertengahannya, dan indah di akhirnya, sehingga termanifestasi dalam susunan kata yang berarti dan bermakna bagi para pendengarnya.

Menghindari perdebatan melalui ucapan benar

Beberapa pertimbangan yang dapat kita gunakan agar ucapan yang mewujud dalam tulisan di dunia maya menjadi bermakna yakni: ucapan itu benar, ucapan itu beralasan, ucapan itu berfaedah, serta ucapan itu tepat diucapkan pada waktunya (M.II. 393-395).

Ucapan benar adalah suatu kata-kata yang terbebas dari kebencian, keserakahan dan iri hati. Ucapan benar merupakan kekuatan yang mampu memengaruhi orang lain, berupa dukungan moral, menghibur dalam duka cita, dan memberikan ilmu pengetahuan melalui susunan kata-kata.

Ucapan itu beralasan menekankan pada ucapan yang beralasan berdasarkan fakta dan realita bukan karena alasan opini pribadi semata. Ucapan yang demikian tidak akan menjadi bahan pergunjingan yang menimbulkan perdebatan dan perselisihan berkepanjangan.

Ucapan itu memiliki faedah yang menekankan pada ucapan yang membawa keberhasilan dan kebahagian bukan ucapan yang provokatif yang mengundang perseteruan. Ucapan itu diucapkan tepat pada waktunya, menekankan pada situasi dan kondisi yang tepat sehingga tidak mengganggu ketenangan orang lain. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, kita telah berupaya meminimalkan timbulnya perdebatan dan perselisihan.

Baca juga: Industri Hoaks dan Jeratan Pikiran Kita

Mari kembalikan fungsi media sosial sebagai tempat berinteraksi sosial. Berbagi hal-hal kebaikan dan berbagi informasi bermanfaat. Tunjukan bahwa kita bangsa yang smart dan bermartabat. Kurangi berdebat agar hubungan kita semakin erat. Buktikan bahwa kita merupakan bangsa kuat yang tidak mudah dipecah belah melalui berbagai tipu muslihat.

Mari tinggalkan perselisihan dan mulai bangun kerukunan. Sebarkan welas asih tanpa pamrih. Kendalikan jarimu, juga egomu, jangan ikuti nafsu. Layaknya keindahan sang pelangi dengan harmoni warna bervariasi yang ditunggu kehadirannya. Perbedaan bukan untuk diperdebatkan namun untuk dirayakan keberadaannya.

Didik Susilo

Mengambil Progam Studi Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *