Pernah menikmati cuci pakaian dengan mengucek pakai tangan? Pakai ember? Saya harus jujur, nikmat! Kuti baru di Pondok Sadhana Amitayus (PSA) belum dilengkapi dengan mesin cuci, jadi sementara pakai tangan saja, ini berkah loh! Orang lain mungkin akan menganggap ini mubazir waktu.
Pagi itu saya sedang mencelup-celup kaos dan jubah di dalam ember, memang butuh energi sedikit lebih besar karena ini manual! Saya sudah terbiasa dengan mesin cuci, terasa janggal mengucek-ngucek pakaian dan mencelup-celupkan di dalam ember. Waktu vassa barusan di Plum Village Thailand saya juga memilih untuk mencuci jubah dan pakaian dengan cara manual demikian. Mau tahu nikmatnya cuci pakaian pakai tangan? Silakan coba!
Setelah selesai celup-celup, bagian yang paling asyik adalah memerasnya, ini butuh energi lebih besar lagi, terutama tenaga pergelangan tangan. Saya membawa pakaian dan jubah ke bagian depan untuk di peras sekali lagi, setelah itu baru bisa dijemur.
Hari itu adalah hari kedua retret untuk anak sekolah SD Tri Ratna. Sambil memeras kaos dan jubah, saya melihat di lapangan rumput hijau ada sekelompok anak-anak sedang bersorak-sorak. Saya hanya memalingkan kepala sambil membatin, “Dasar anak-anak, tak ada diamnya.” Tapi suara sorak-sorak mereka kok semakin keras, saya merasa ada sesuatu yang aneh.
Saya mulai mencium sesuatu yang tidak beres, apalagi kemarin saya melihat ada satu anak menangkap seekor belalang di tangannya, tapi dia terciduk oleh saya, lalu saya minta anak itu untuk melepaskannya, saya bilang, “Belalang juga ingin hidup bebas, jangan ditangkap ya…” Anak itu nurut dan langsung melepaskannya.
Jemuran saya belum beres, jadi kadung. Tapi saya memutuskan untuk turun melihat apa gerangan yang sedang terjadi, biar saya tidak penasaran. Mereka beramai-ramai mengelilingi satu anak yang berada di tengah kerumuman itu. Saya semakin curiga sehingga mempercepat gerak langkah kaki, saya yakin ada serangga yang ketangkap oleh mereka lalu mereka mengarak-arakkan binatang itu bersama-sama.
Anak-anak melihat saya, langsung sebagian bubaran, tapi saya minta mereka menghampiri saya, “Anak-anak, yuk ikut saya.” Saya merangkul anak-anak dan ikut saya berjalan Tibalah di hadapan anak yang sedang memegang seekor kupu-kupu di atas setangkai bunga.
Saya bertanya kepada mereka, “Anak-anak, apakah kupu-kupu ini punya mama?”
Mereka jawab, “Punya, Bhante.”
“Kalau anak-anak tangkap kupu-kupu ini, nanti dia tidak bisa pulang ke rumahnya, benar?” lanjut saya.
“Benar, Bhante,” mereka menjawab serentak.
“Kalau kupu-kupu ini tidak bisa pulang, apakah mamanya akan khawatir?”
Mereka jawab, “Iya, Bhante.”
“Anak-anak juga punya mama kan?” Mereka spontan jawab, “Punya….”
“Kalau anak-anak tidak bisa pulang ke rumah, apakah mama akan khawatir?”
“Iya, khawatir…..” Jawaban mereka datar dan sambil membisik.
“Jadi biar mamanya tidak khawatir, mari kita sama-sama melepaskan kupu-kupu ini yah, setuju?”
Mereka serempak menjawab, “Setuju!”
Anak itu menyerahkan kupu-kupu yang di atas bunga itu kepada saya, dan bilang, “Tapi kupu-kupunya tidak bisa terbang?” Saya jawab, “Tidak apa-apa, kupu-kupu ini lagi lelah, sebentar lagi dia akan bisa terbang lagi. Biarkan saja dia di bawah pohon ini yah. Yuk, bubar.”
Bertutur dengan hati
Saya tahu, teori tidak akan mempan sama anak-anak, jadi saya pakai logika sederhana untuk bertanya saja kepada mereka. Ternyata respon mereka bagus. Saya merasa sedih dan marah di dalam hati ketika melihat anak-anak dengan gembira mengarak-arak kupu-kupu itu, padahal kupu-kupu itu sedang menderita. Sedih dan marah tidak menyelesaikan masalah, jadi saya mengambil napas panjang lalu melakukan aksi nyata.
Mengajarkan sila tentang menghindari pembunuhan saja tampaknya masih belum lengkap, tapi kita perlu mengajarkan mereka bagaimana agar bisa proaktif menyelamatkan makhluk lain yang sedang menderita. Esensi sila terletak pada menyadari betapa pentingnya menjunjung tinggi kehidupan.
Waktu sesi tanya jawab juga anak-anak bertanya mengapa mereka wajib vegetarian di PSA? Saya hanya menjawab singkat tentang betapa pentingnya untuk mempraktikkan vegetarian, mempraktikkan karuna (welas asih) dan respek terhadap semua binatang yang juga ingin hidup.
Persis seperti pertanyaan apakah sang kupu-kupu memiliki mama? Jika kupu-kupu tidak bisa pulang, maka mamanya akan khawatir.
Saya merasa ada sebuah pelajaran besar untuk anak-anak, dan tentu saja pelajaran besar juga buat saya. Bayangkan kalau saya marah-marah kesal, mungkin tidak akan mendapat simpati dari anak-anak, bahkan mereka bisa menganggap bhante terlalu galak. Keberhasilan menyelamatkan kupu-kupu menjadi kebahagiaan besar pada hari itu.
Saya kembali ke kuti untuk melanjutkan tugas yang belum selesai yaitu memeras kaos dan jubah. Kemudian saya menaruh semua itu di atas jemuran dengan rapi. Saya mendapat dobel kebahagiaan pagi itu, pertama nikmatnya mencuci jubah pakai tangan dan ember, kedua mengembalikan kupu-kupu kepada mamanya.
Bhante Nyanabhadra
Dharmacharya dari silsilah Zen Master Thich Nhat Hanh, Plum Village, dikenal sebagai 真法子「Chân Pháp Tử」. Menerima Penahbisan samanera dari tradisi Theravada dengan nama 釋學賢 「Nyanabhadra」dari Y.M. Dharmavimala.
Menerima penahbisan ulang sramanera dari silsilah Mulasarvastivada dari Y.M. Dalai Lama ke-14 di Dharamsala dengan nama Tenzin Donpal.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara