• Sunday, 18 November 2018
  • Reza Wattimena
  • 0

Dylan Roof membunuh sembilan orang di sebuah gereja di South Carolina, Amerika Serikat. Alasannya adalah karena ia membenci orang-orang kulit hitam.

Robert Bowers, menurut dugaan, membunuh sebelas orang Yahudi yang sedang berdoa di Pittsburg, karena ia membenci orang Yahudi. Cesar Sayoc juga diduga mengirim belasan bom ke kantor-kantor Partai Demokrat AS dan kantor berita CNN, karena ia juga membenci mereka.

Di Indonesia, kita pun tak luput dari serangan mematikan yang berpijak pada kebencian semacam ini. Kota-kota besar Indonesia sudah kenyang dengan tragedi pembunuhan massal berdarah. Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab adalah, apa akar dari semua kebencian ini? Pemikiran Gabor Mate, sebagaimana diulas oleh Abraham Gutman, kiranya bisa membantu kita. (Gutman, 2018)

Gabor Mate adalah seorang dokter kelahiran Hongaria, namun dibesarkan di Kanada. Ia sudah lama bertekun untuk memahami akar dari kecanduan. Salah satu hasil penelitiannya adalah, bahwa kecanduan mendorong orang untuk menemukan pelepasan dalam berbagai bentuk, mulai dari heroin sampai dengan kebencian. Akar dari kecanduan, menurutnya, adalah upaya untuk menutupi trauma berat yang pernah dialami.

Kecanduan dan kebencian

Apa itu kecanduan? Kecanduan adalah perilaku manusia yang tak bisa dihentikan secara sadar, karena ia memberikan kenikmatan, walaupun dengan dampak-dampak yang merusak. Seorang pecandu heroin menemukan kehangatan dan kenikmatan dari penderitaan yang ia alami, ketika ia menggunakan heroin. Seorang pecandu rokok menemukan kehangatan, ketika ia merokok, walaupun ia tahu, bahwa rokok itu merusak kesehatan.

Lalu, bagaimana hubungan antara kecanduan di satu sisi, dan kebencian di sisi lain? Mate menjawab, keduanya terhubungan melalui trauma. Tidak ada pembunuh massal yang tidak mengalami trauma berat di dalam hidupnya. Mereka menemukan pelepasan tidak melalui narkoba, melainkan dari kebencian yang mereka genggam erat-erat.

Kebencian yang dirasakan berakar begitu dalam, karena penderitaan yang mereka alami di masa-masa hidupnya. Kebencian itu lalu  diarahkan ke orang lain. Suasana masyarakat juga memberikan dukungan terhadap kebencian itu, ketika satu kelompok dijadikan kambing hitam untuk semua masalah yang ada. Ini seperti menuangkan bensin ke dalam api kebencian yang telah terbakar lama, karena trauma berat.

Bagaimana mengelola kebencian? Kebencian tidak bisa ditolak. Kita tidak bisa “membenci” kebencian itu sendiri. Paradoksnya adalah, semakin kebencian itu ditolak, semakin ia bertambah besar.

Kebencian dan trauma

Orang membenci, karena ia sebelumnya dibenci. Orang menyakiti, karena ia telah disakiti sebelumnya. Akar dari kebencian adalah trauma. Dalam arti ini, trauma adalah jejak dari peristiwa masa lalu yang belum lenyap, sehingga membekas, dan mempengaruhi sikap orang di masa kini. Trauma akan kekerasan akan mendorong orang menjadi pelaku kekerasan.

Trauma juga mesti ditempatkan pada bingkai peristiwa yang lebih besar. Keadaan sosial politik dan ekonomi sebuah masyarakat juga memiliki pengaruh besar di dalam kehidupan orang. Masyarakat yang terjebak pada kesenjangan sosial ekonomi yang besar, seperti di Indonesia, akan menciptakan manusia-manusia traumatik yang memendam kebencian.

Baca juga: Berbeda Tanpa Konflik

Kebencian inilah yang lalu mendorong tindak kekerasan. Pada tingkat kecil, banyak keluarga terpecah, karena kekerasan di dalamnya. Kecanduan narkoba, dan berbagai bentuk kecanduan lainnya, juga akan meningkat. Pada tingkat yang lebih luas, konflik dan pembunuhan massal akan menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

Kebencian adalah salah satu bentuk “narkoba” kehidupan. Karena trauma yang dialaminya, orang mungkin tak jatuh ke dalam heroin, atau rokok. Setiap orang punya kecenderungan yang berbeda di dalam mengelola trauma yang ia punya. Bagi sebagian orang, kebencian adalah narkoba yang menghangatkan.

Walaupun begitu, apa pun bentuknya, pengalihan dari trauma tak akan pernah bisa berjalan selamanya. Pada satu titik, penderitaan tetap menyelinap masuk, bahkan dengan intensitas yang lebih besar. Kebencian, dan segala bentuk narkoba trauma lainnya, bersifat sangat sementara, bahkan menciptakan kecanduan dan penderitaan yang lebih besar. Jalan lain mesti ditemukan.

Berada bersama trauma

Jika trauma adalah akar dari kebencian, dan kebencian adalah akar dari konflik serta pembunuhan massal, maka kita harus belajar untuk memahami dan mengelola trauma yang ada. Rasa sakit yang dialami akibat trauma tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika diabaikan, ia akan mempengaruhi perilaku hidup sehari-hari. Hubungan antarmanusia, sekaligus mutu kehidupan secara keseluruhan, pun juga akan terpengaruh.

Dari sudut pandang Zen, dan di banyak pendekatan filsafat Asia lainnya, trauma hanya bisa dihadapi dengan kesadaran penuh. Di sinilah arti penting “berada bersama trauma“, yakni dengan melihatnya sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan itu sendiri. Di titik ini, tidak ada penolakan terhadap trauma.

Dengan “berada bersama trauma“, orang mengakui, bahwa hidup tak sepenuhnya bahagia, tetapi juga tak sepenuhnya penuh derita. Seorang guru berkata, jika derita itu abadi, maka itu pasti ilusi. Sebaliknya pun juga betul. Jika bahagia itu abadi, maka itu pasti juga hanya ilusi.

“Berada bersama trauma“ berarti orang tak hanyut di dalamnya, sekaligus tidak menolaknya sebagai musuh. Sikap ini menghasilkan ketenangan batin, sekaligus kejernihan. Keduanya amatlah penting di dalam memahami dan mengelola trauma. Dengan sikap ini, trauma pun tidak berbuah menjadi sebentuk kecanduan atau kebencian yang merusak.

Menyiasati trauma dan kebencian berarti menempatkan keduanya dalam bingkai kompleksitas kehidupan yang tiada tara. Dalam hal ini, orang perlu untuk belajar menghargai dan menghormati kompleksitas itu sendiri. Hidup bukanlah untuk dikontrol sesuai keinginan, tetapi dijalani dengan kepekaan penuh terhadap segala kompleksitas yang ada. Di dalam kompleksitas itu, kebencian berpelukan dengan cinta, serta kejahatan berpelukan dengan kebaikan.

Zen adalah hidup dengan kejernihan di tengah semua kompleksitas yang ada. Awalnya, kesulitan pun akan datang menerpa. Jika kita berteguh, buah-buah kejernihan dan kedamaian akan kita petik. Walaupun, masalah dan berkah datang silih berganti.

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *