Drama Korea berjudul Squid Game telah tayang sejak tanggal 17 September 2021, menjadi salah satu tontonan yang sedang hype saat ini. Konon, film seri yang disutradarai oleh Hwang Dong Hyuk ini digarap dalam waktu lebih dari 10 tahun.
Menurutku ini salah satu film yang keren banget dan wajib buat ditonton dan diambil maknanya. Sembilan episodenya aku habiskan dalam waktu dua malam.
Dalam film ini Seong Gi Hun (Lee Jung Jae) menjadi tokoh utama yang telah bercerai dengan istrinya dan memiliki satu anak perempuan. Pada usianya yang sudah tidak muda lagi ia masih tinggal bersama ibunya dan bekerja sebagai sopir.
Pendapatan sebagai sopir tidaklah seberapa, sehingga ia terkadang ikut taruhan balap kuda untuk memperoleh uang lebih. Meski demikian, pendapatannya ini masih tidak cukup terlebih dia memiliki banyak hutang.
Hingga suatu hari Gi Hun bertemu dengan laki-laki bernama Gong Yo yang menawarinya melakukan satu permainan dengan iming-iming uang apabila menang. Pada saat itu juga Gong Yo memberi Gi Hun sebuah kartu berisi nomor telepon seseorang bila ia ingin bermain dan menghasilkan uang lebih banyak lagi. Berhubung si Gi Hun ini butuh uang, ia mengiyakan tawaran Gong Yo dan menelpon nomor yang ada di kartu itu lalu dijemput seseorang untuk dibawa ke arena permainan.
Sesampainya di sana, ternyata ada 455 peserta lainnya yang sudah terlebih dahulu sampai di lokasi. Di tempat itu Gi Hun bertemu dengan beberapa karakter lainnya seperti kakek tua nomor 001, Cho Sang Woo (Park Hae Soo) teman masa kecilnya, Kang Sae Byeok (Ho Yeong Jung), dan lainnya.
Para peserta sama sekali tidak memiliki petunjuk perihal permainan seperti apa yang akan dimainkan dan jumlah hadiah yang akan diberikan. Permainan pertama bernama “lampu merah, lampu hijau” (permainan anak kecil di Korea).
Ketika peserta mendengar kata “lampu hijau” maka mereka harus berjalan maju, tapi saat mendengar kata “lampu merah”, mereka harus berhenti. Bila ada peserta yang bergerak saat kata “lampu merah”, mereka akan ditembak mati.
Setelah permainan pertama berakhir, banyak peserta enggan melanjutkannya karena mengorbankan nyawa diri sendiri. Namun, setelah melihat jumlah uang yang akan diberikan, tidak sedikit dari mereka berubah pikiran.
Di saat peserta sedang bersama, di balik layar banyak orang-orang bertopeng (tamu VIP) yang menertawakan mereka. Sungguh jahat mereka, bisa-bisanya ya tertawa di atas penderitaan orang lain! Lalu permainan mematikan lainnya dilanjutkan, seperti sugar honeycombs (mengukir gulali), tugu of war (tarik tambang), marbles (kelereng), glass stepping stone (melangkah dalam lajur yang digambar kotak/engklek), dan squid game (permainan cumi-cumi).
Gi Hun berhasil melewati semua permainan ini dengan selamat. Ya iyalah dengan selamat, kalau tidak selamat mana mungkin dia jadi juara. Ngomong-ngomong, dalang di balik semua permainan ini adalah kakek nomor 001–ini pendapatku lho ya setelah menonton film ini.
Poin
Kalau digali lebih dalam, film ini tidak hanya menceritakan tentang permainan anak kecil yang dimainkan orang-orang dewasa hanya demi memperebutkan uang. Film ini mencerminkan berbagai sifat buruk manusia yang sulit tereliminasi.
Pertama, mulai dari sifat tamu VIP bengis dari yang menertawakan 456 peserta beradu untuk saling membunuh. Kenapa ya orang-orang yang punya kekuasaan selalu ingin menindas ya? Kok karma kelihatannya tidak adil ya? Sebenarnya bukannya karma tidak adil, tapi kalau belum waktunya berbuah, si karma tidak akan berbuat apa-apa. Ingat kawan, karma itu adil jika waktunya sudah tepat.
Kedua, keserakahan yang selalu melekat dalam diri kita. Kalau tidak ada keserakahan, mana mungkin Gi Hun dan ratusan peserta lainnya mau saling membunuh hanya demi uang biar bisa bayar hutang dan memenuhi kebutuhan. Kalau bukan karena keserakahan, Cho Sang Woo tidak mungkin korupsi dan memilih ikutan “Squid Game”.
Memang tidak mudah menghilangkan keserakahan dalam diri. Semua itu kembali lagi pada diri kita. Kalau kita bisa mengendalikan apa yang namanya keinginan dan kebutuhan, pasti kita bisa mengendalikan keserakahan.
Ketiga, pertahanan diri yang mengesampingkan sisi kemanusiaan. Dalam film ini pertahanan diri dibutuhkan agar tidak dibunuh orang lain dan kalau bisa ya yang membunuh supaya memenangkan permainan. Padahal setiap manusia punya hak untuk hidup, tapi ini malah saling membunuh hanya demi memenangkan uang yang nggak akan habis buat beli cilok se-RT selama setahun.
Keempat, saudara bisa membunuhmu tanpa belas kasih. Beberapa adegan dalam film ini kedatangan sosok polisi yang ingin mencari saudaranya yang telah lama menghilang. Tapi, karena penyusupannya diketahui oleh sosok berjubah hitam (saudaranya sendiri) sebagai pengawas. Ia tega membunuh saudaranya sendiri supaya identitasnya tidak diketahui dan permainan tetap aman.
Keempat, musuh terdekatmu bukan orang yang tidak kamu kenal, tapi orang yang kamu kenal. Ingatlah dengan kakek nomor 001, Gi Hun mengira ia hanya peserta biasa yang ingin menghabiskan sisa hidupnya. Ternyata, si kakek ini adalah dalang di balik “Squid Game”. Di sinilah kita harus berhati-hati, kadang kita tidak bisa membedakan mana orang yang baik, berpura-pura baik, atau memang tidak baik sama sekali.
Trus gimana?
Menurutku, segala hal yang kita lakukan saat ini adalah gambaran masa depan. Banyak kok film-film yang akhirnya jadi kenyataan. Seperti film-film dulu tentang ancaman virus di bumi dan manusia kudu di karantina dan ini jadi kenyataan bahwa sekarang kita dihadapkan dengan pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung 2 tahun. Sama halnya dengan film “Squid Game” ini, pertaruhan nyawa kaya gitu bisa saja terjadi.
Sebenarnya sekarang sudah banyak terjadi, cuman kitanya yang tidak menyadarinya. Misal rela ngebohongin kerabat sendiri cuma biar dapat pekerjaan yang diinginkan. Rela membunuh keluarga sendiri karena tidak terima mereka lebih berhasil. Atau bahkan suka mencemooh tukang sapu di jalanan. Ya kita tahu sendiri lah contoh-contohnya seperti apa.
Keserakahan, kekejaman, dan suka menindas dalam film “Squid Game” ini adalah sifat buruk manusia yang sulit tereliminasi. Tapi, kalau kita mau berusaha untuk menanganinya, pasti sifat-sifat buruk itu bisa diatasi. Apalagi di kehidupan nyata seperti ini, kalau sifat-sifat buruk itu tidak segera diatasi apa jadinya dunia ini?
Kalau kita dengan sengaja memupuk sifat benci dan dengki, maka dalam dunia ini hanya penderitaan terjadi. Kita semua pasti tidak ingin menderita kan? Jadi, segeralah obati diri kita masing-masing. Tidak perlu terburu-buru dalam mengobati sifat buruk. Perlahan namun pasti. Supaya bisa menghasilkan sifat-sifat baik yang bertahan lama dan membawa kita juga semua makhluk pada kebahagiaan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara