Kunjungan saya ke sebuah rumah duka menyisakan sebuah kisah yang unik. Bukan karena suasana rumah duka yang saya datangi “diselimuti” kesedihan yang mendalam, melainkan sikap seorang kenalan saya yang enggan berkunjung ke rumah duka itu.
Pasalnya, dia beralasan akan mendapat ciong (sial) kalau datang ke rumah duka. Makanya, sewaktu saya mengajaknya untuk membaca paritta di situ, dia menolaknya dengan halus.
Melayat = ciong?
Bagi kalangan tertentu, khususnya masyarakat Tionghoa, percaya adanya ciong memang masih umum dijumpai. Maklum saja, kepercayaan itu telah “dibawa” dalam tradisi selama bertahun-tahun, dan diwariskan turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Makanya, jangan heran kalau masih ada saja yang memercayainya. Namun demikian, anehnya, sewaktu ditanya alasannya, yang bersangkutan justru bingung sendiri. Akhirnya, saat sudah kehabisan kata-kata akibat dicecar pertanyaan, jawaban yang bisa diberikan ialah “Emang sudah dari sononya.”
Saya agak bingung, “Sononya itu sebelah mana?” Namun, saya tak akan mempersoalkan hal itu lebih lanjut. Sebab, menurut saya, percuma kalau kita memperdebatkan jawaban yang bunyinya, “Emang sudah dari sononya” itu. Ujung-ujungnya kita bisa capek sendiri dan ikut-ikutan “kurang waras” menanggapinya.
Memetik pelajaran di rumah duka
Namun demikian, dengan mengesampingkan kepercayaan itu, saya merasa bahwa kunjungan ke rumah duka selalu memberi “inspirasi”. Ada saja “hikmah” yang bisa dipetik dalam kunjungan tersebut. Satu di antaranya ialah perenungan terhadap kematian.
Kalau kita merunut Tipitaka, renungan terhadap kematian ialah satu jenis meditasi yang dianjurkan Buddha. Renungan lainnya meliputi renungan terhadap Tiratana, kedermawanan, dan kehidupan di alam dewa.
Buddha menganjurkan umatnya untuk melakukan renungan itu secara rutin sebab ada manfaat yang bisa diperoleh. Satu di antaranya ialah pencapaian tingkat kesucian, seperti kisah gadis penenun yang berhasil mencapai tingkat kesucian setelah melaksanakan perenungan terhadap kematian setiap hari, sesuai dengan anjuran Buddha: “Kehidupan itu tidaklah pasti, tetapi kematian pasti terjadi.”
Baca juga: Mati? Ah, Cuma Pindah Alamat Saja, Kok!
Makanya, perenungan demikian menjadi praktik yang populer di negara-negara bercorak Buddhis. Sebut saja Bhutan yang sempat menyandang “gelar” sebagai negara paling bahagia di dunia. Di Bhutan, bukan hal yang aneh kalau masyarakatnya rajin melakukan perenungan terhadap kematian. Konon kabarnya, mereka rutin merenungkan kematian minimal lima kali sehari!
Praktik demikian juga berlaku di Tibet. Pada masa lampau, para Lama Tibet sering menelengkupkan bowel (tempat menerima dana makan), sebelum mereka pergi tidur. Itu menjadi sebuah tanda kepasrahan dan keikhlasan dalam menghadapi kematian yang bisa datang sewaktu-waktu kepada mereka.
Perenungan terhadap kematian dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun, termasuk sewaktu kita berkunjung ke rumah duka. Pasalnya, dalam kunjungan itulah, kita berkesempatan merenungkan betapa fananya kehidupan. Sabbe sankara anicca. Segala yang terbentuk akan terurai. Semua yang muncul akan lenyap pada waktunya. Sebuah kebenaran alami yang bisa diresapi dalam sanubari masing-masing.
Dalam tataran kesadaran demikian, kita akan belajar menghargai kehidupan. Sebab, bagi semua makhluk, kehidupan itu sangat-sangat berharga. Kalau begitu, buat apa lagi kita bersikap bermusuhan? Tak bisakah dalam kehidupan yang fana ini, kita belajar mengasihi sesama?
Kiranya itulah “pelajaran berharga” yang didapat dari perenungan terhadap kematian. Oleh sebab itu, kalau kita datang ke rumah duka, silakan jadikan kunjungan itu sebagai kesempatan untuk praktik perenungan terhadap kematian agar hidup kita jauh lebih bermakna dan berbahagia.
Adica Wirawan
Seorang yang suka menulis
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara