• Tuesday, 22 May 2018
  • Junarsih
  • 0

Ludwig Wittgenstein, salah seorang filsuf dari Inggris, pernah mengatakan, “The limits of my language are the limits of my world.” Kemampuan berbahasa merupakan pintu menuju pengetahuan, dan tanpa bahasa peradaban di dunia tidak akan berkembang seperti sekarang ini. Kontras dengan banyak orang yang meremehkan kemampuan berbahasa terutama di sekolah.

Pelajaran bahasa Indonesia di sekolah seringkali diremehkan dan dipandang sebelah mata. Dari pengalaman saya selama menjadi mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra, juga masih seperti itu. Banyak mahasiswa yang meremehkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik. Banyak yang beranggapan bahwa mempelajari bahasa Indonesia itu tidak penting. Alasannya karena bahasa Indonesia adalah bahasa yang sering diucapkan sehari-hari.

Bisa dikatakan bahwa jarang mahasiswa yang memahami fungsi bahasa, apalagi hakikat berbahasa. Kemampuan berbahasa bukan sekadar penulisan teknis. Bagi mahasiswa, sering pelajaran bahasa Indonesia sekadar untuk kepentingan penulisan ilmiah, terutama dalam membuat makalah ilmiah dan skripsi.

Mahasiswa memang membutuhkan untuk melakukan penulisan yang baik, pembuatan atau penyusunan paragraf yang mudah dipahami, dan lain sebagainya. Namun hal-hal seperti ini hanya masalah teknis penulisan.

Hakikat berbahasa adalah cara berkomunikasi, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menurut Kiryono, salah satu dosen bahasa Indonesia di STAB Syailendra, “Memakai bahasa yang baik berarti maknanya bisa dipahami oleh lawan bicara atau sesuiai dengan situasinya serta sesuai dengan konteks bahasa itu digunakan. Bagaimana kita bisa mempertimbangkan situasi sebelum memilih kata yang akan digunakan. Semakin baik bahasa yang digunakan semakin baik pula cara berpikir seseorang.”

Baca juga: Dialektika Pendidikan

Cara berpikir seseorang sangat berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Karena kemampuan berpikir seseorang tergantung dengan banyaknya perbendaharaan kata. Semakin banyak perbendaharaan kata, maka semakin luas pengetahuannya.

Meremehkan kemampuan berbahasa, jelas sekali akan menutup pintu pengetahuan.  Seorang ahli riset dari Amerika, Prof. Howard Gardner, mengembangkan model kecerdasan  majemuk (multiple intelligence).

Salah satu kecerdasan yang diungkap Gardner adalah kecerdasan liguistik (linguistic intelligence). Orang dengan kecerdasan liguistik selain mampu belajar banyak hal, juga memiliki kemampuan memengaruhi orang lain bahkan khayalak luas.

Mempertimbangkan bahwa jurusan di STAB pada umumnya adalah Dhammacariya (Pendidikan Guru Agama buddha) dan Dhammaduta (Pengkhotbah), maka sudah jelas bahwa mahasiswa STAB nantinya adalah orang-orang yang terjun ke masyarakat, dan banyak berhadapan dengan khayalak dengan beragam latar belakang.

Apabila masih saja kemampuan berbahasa diremehkan dan dipandang sebelah mata, maka mereka kelak akan menghadapi kesulitan ketika terjun ke masyarakat.

Junarsih

Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *