• Saturday, 17 February 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

Hujan deras masih mengguyur Kota Bandung. Aku memandang ke luar jendela, memandang titik-titik air hujan. Situasi saat ini mengingatkan aku pada kejadian 5 tahun lalu. Semuanya masih terbayang jelas, bagai film yang diputar di bioskop.

Bulan Februari, tepatnya 14 Februari, saat aku menerima cinta Ardy. Ardy menyatakan cintanya saat hujan, seperti saat ini. Saat itu di halte bus. Aku memintanya untuk mengulang sampai dua kali apa yang diucapkannya.

“Anita, apakah kamu mau jadi pacarku?” tanya Ardy. “Apa? Kamu ngomong apa?” tanyaku. Memang ucapannya kurang keras, kalah oleh suara hujan. Sebenarnya sih aku bisa menebak apa yang diucapkannya. Tapi, lebih baik memintanya mengucapkannya sekali lagi. Supaya lebih jelas dan juga sebagai wanita, aku harus agak jual mahal sedikit. Hehehe…

“Aku nggak denger, kamu bilang apa?” tanyaku.

“Aku cinta kamu, kamu mau nggak jadi pacarku?” jawab Ardy dengan mimik serius.

“Kamu ngomong apa sih?” kali ini aku sengaja bicara agak keras, sebagai isyarat agar ia mengulangi sekali lagi. Agak jahil sih, aku memang sengaja melakukannya. Dua orang ibu-ibu yang sedang menunggu bus menoleh ke arah kami.

Ardy mendekatkan mulutnya ke telingaku. “Anita, aku cinta kamu. Maukah kamu jadi pacarku?” bisik Ardy.

Aku menjauhkan kepalaku. Lalu memandang wajahnya yang terlihat tegang menantikan jawabanku. Beberapa detik kami bertatapan. Aku menikmati detik-detik ini. Wajah Ardy yang penasaran menantikan jawaban atas pernyataan cintanya. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.

Bagi Ardy, itu tentu sudah lebih daripada kata-kata. “Terima kasih…” kata Ardy sambil kedua tangannya memegang pipiku.

“Ehm…” suara ibu-ibu tadi. Secepat kilat Ardy melepaskan tangannya. Wajah kami memerah, duh… malunya.

Hari-hariku selanjutnya penuh warna. Indah dan aku sangat bahagia.

Awal pertemuanku dengan Ardy terjadi tidak sengaja. Aku sedang menanti bus di halte. Ardy pun sama. Ardy tiba di halte dalam keadaan basah kuyup. Awalnya aku cuek, tak memandang ke pemuda baru masuk ke halte. Malah ada perasaan curiga dan takut. Bagaimana kalau dia orang jahat? Aku bisa ditodong atau lebih parah lagi, aku di… Ah aku takut membayangkannya.

Menjelang malam, hujan deras, keadaan sepi, tapi aku hanya berdua dengan orang asing di halte bus. Dan laki-laki lagi.

Untungnya beberapa menit kemudian ada seorang ibu dan anak kecil yang juga berteduh di sana. Duh…leganya hatiku.

Anak perempuan kecil itu menangis. “Ma, Dea lapar,” kata anak kecil itu. “Sebentar Dea, hujan-hujan begini tidak ada yang jualan,” kata sang ibu.

“Adik mau wafer atau mau roti?” tawar pemuda itu.

“Terima kasih Dik, nggak usah,” tolak sang ibu.

Nggak apa Bu. Ini saya baru beli di minimarket, untuk stok di kost-an saya. Maklum, malam-malam saya sering lapar dan malas keluar,” kata pemuda itu.

“Terima kasih Dik, nggak usah,” tolak ibu itu. Aku menoleh ke arah pemuda dan ibu serta anaknya. Tampaknya si anak ingin mengambil tapi sang ibu tidak mengizinkan.

“Ambil saja Bu, buat si adik. Kasihan dia lapar. Tidak bayar kok, saya bukan pedagang asongan,” ucap pemuda itu sambil tersenyum. “Oh… mungkin khawatir ada obat bius atau ada racun? Ini, saya makan dulu, biar ibu yakin,” kata pemuda itu sambil tersenyum.

Akhirnya si ibu mengambil biskuit yang sudah dibuka kemasannya dan sudah diambil dan dimakan beberapa keping oleh pemuda itu sambil mengucapkan terima kasih.

Setelah ibu dan anak naik bus, tinggallah kami berdua. Bus yang datang bukan jurusan yang aku dan pemuda itu tunggu. Kali ini aku sudah sedikit lega, pemuda ini bukan orang jahat, batinku.

Singkat cerita, kami akhirnya berkenalan. Lalu bertukar nomor ponsel, sering ngobrol via WA, sesekali telepon, dan akhirnya ketemuan. Ardy, mahasiswa di universitas yang sama, usianya 1 tahun di atasku. Akhirnya kami berteman akrab, perlahan namun pasti, ada rasa suka di hati. “Witing tresno jalaran soko kulino” kata pepatah Jawa. Tapi takdirnya perempuan harus menunggu laki-laki yang menyatakan cinta.

Untung tak dapat diraih, malang  tak dapat ditolak. Kisah manis hubungan kami tidak berlangsung lama. Hanya sekitar satu tahun kami berpacaran. Sore itu, saat hujan deras, sebuah pesan masuk mengagetkanku. Seorang teman Ardy mengirim pesan bahwa Ardy yang dibonceng temannya jadi korban tabrak lari. Sekarang keduanya sedang di rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit, baru aku mendapat kabar, bahwa Ardy dan temannya meninggal di tempat kejadian.

Aku hanya bisa memandang jenazahnya terbujur kaku. Dunia terasa gelap. Aku pingsan dan tak ingat apa-apa lagi.

***

Duka teramat dalam menyelimuti hari-hariku sejak kepergian Ardy. Mengapa Ardy pergi begitu cepat. Meninggalkan aku seorang diri. Butuh waktu lama untuk bangkit dari kesedihan ditingal Ardy. Aku nyaris putus asa jika tak ada Livia. Livia adalah sahabat karibku yang selalu ada di sisiku.

Butuh waktu setahun lebih untuk kembali hidup normal. Sebenarnya tidak bisa disebut normal, saat hujan dan sedang sendiri, semua kenangan manis saat pertemuan pertama, saat kami jadian dan kenangan akan peristiwa tabrak lari itu kembali menghantui. Untuk itulah, aku memilih kamar kost yang besar agar aku bisa sekamar dengan seorang teman. Dan untungnya Livia mau pindah kost dan sekamar denganku.

Tapi tentu saja Livia tidak bisa 24 jam berada di sisiku. Ada saat tertentu, ia juga punya kegiatan sendiri. Atau jadwal kuliah kami yang tidak sama. Sejauh cuaca cerah, aku baik-baik saja meski aku sendirian.

Sekarang aku sudah bekerja. Perlahan aku menata hidup baru tanpa Ardy di sisiku. Sejak kepergian Ardy, aku tidak punya teman dekat pria. Aku masih menutup hati. Kepedihan ditinggal Ardy sulit terobati.

Tapi, akhir-akhir ini, aku dekat dengan Andrew, seorang rekan kerjaku. Kedekatan kami berjalan wajar. Aku dan beberapa rekan kerja sering ikut mobil Andrew yang memang satu arah dengan rumah Andrew.

Dari sikapnya yang santun, gaya bicaranya yang ramah, ceritanya yang asyik, perlahan tapi pasti, aku mulai menyukainya. Sandra, rekan sekerjaku, juga yang lainnya mendukung kedekatan kami. “Sama-sama single, hobi yang sama, ngobrol nyambung, satu keyakinan, apalagi yang ditunggu?” kata Sandra.

Dan… dua hari lalu, Andrew menyatakan cintanya saat kami tinggal berdua di mobil, dalam perjalanan pulang kerja. Aku belum memberi jawaban, aku minta waktu. Satu sisi, aku merasa Andrew adalah orang yang cocok untuk menggantikan posisi Ardy. Ia baik, sama baiknya dengan Ardy. Andai dulu aku ketemu Andrew duluan, aku juga pasti akan menerima cintanya.

Tapi di sisi lain, ada sebagian hati yang masih menolak kehadiran laki-laki lain. Aku tidak ingin mengkhianati Adry, cinta pertamaku.

Besok adalah waktu yang kujanjikan untuk menjawab cinta Andrew. Sampai detik ini aku masih ragu, apakah aku harus menerima cinta Andrew atau membiarkan hatiku sepenuhnya tetap milik Ardy? Sungguh aku tak bisa menjawabnya.

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *