Victor A Liem | Thursday, 7 September 2017 16.26 PM Life
Foto Sean
Bagi masyarakat Jawa, manusia disebut sebagai “manungsa”. Jarwa dhosoknya “manunggaling rasa” (kebersatuan rasa).
Di bangku sekolah sering kita diajarkan bahwa manusia adalah mahkluk yang berakal. Dalam falsafah Jawa, akal saja belum cukup walaupun hal itu penting, karena itu harus menyentuh rasa. Dalam psikologi modern sudah disadari adanya ruang “rasa” seperti ini, yang disebut sebagai kecerdasan emosi.
Raden Mas Panji Sosrokartono pernah bertutur, “Sinau ngraosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun ngagesang.”
Artinya, “Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari asal yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.”
Manunggal rasa atau menyatu dengan rasa, memiliki arti seseorang mesti punya kepekaan. Kepekaan dalam hal ini adalah kemampuan untuk selaras dengan keadaan. Kepekaan dalam bentuk yang maujud tampil dalam sifat welas asih, kepedulian dan kebersamaan dalam laku. Hal seperti ini nampak dalam salah satu tradisi hidup bergotong royong.
Sering diajarkan dalam tahap awal dengan cara membedakan dua hal terlebih dahulu. Apa dua hal ini?
Pertama adalah rasaning karep. Kedua adalah kareping rasa. Rasaning karep maksudnya mengutamakan nafsu keinginan. Sedangkan kareping rasa maksudnya adalah mengutamakan rasa.
Tanpa kepekaan seseorang akan sulit selaras dengan keadaan. Hidupnya hanya berkutat pada napsu keinginan. Maka dari itu perlu memberi ruang untuk mengolah rasa. Mengasah ketajaman rasa agar mengetahui apa yang dirasakan (kareping rasa). Dari situ akan muncul kesadaran untuk menyelaraskan diri pada keadaan. Keselarasan ini adalah bibit kebahagiaan dan kedamaian. Inilah tujuan hidup.
Menjadi manusia seutuhnya bagi orang modern adalah memahami kemanusiaan. Dan kemanusiaan ini hanya muncul karena rasa. Semua orang hidup dalam atmosfer yang sama. Namun tidak semuanya mampu merasakan hal yang sama.
Di tengah krisis kemanusiaan, kembali pada hakikat manusia. Manunggaling rasa. Kita kembali diingatkan. Sudahkah kita memperlakukan orang sekitar melalui rasa?
Setelah melalui proses selama 9 tahun, BuddhaZine kini telah berpayung hukum dengan naungan Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara. Kami berkantor di Dusun Krecek, Temanggung. Dengan yayasan ini kami berharap bisa mengembangkan Buddhadharma bersama Anda dan segenap masyarakat dusun.
Kami meyakini bahwa salah satu pondasi Buddhadharma terletak di masyarakat yang menjadikan nilai-nilai ajaran Buddha dan kearifan budaya sebagai elemen kehidupan.
Anda dapat bergabung bersama kami dengan berdana di:
Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara
Bank Mandiri
185-00-0160-236-3
KCP Temanggung