• Sunday, 4 March 2018
  • Lani Lan
  • 0

Apa yang harus aku lakukan? Katakan, apa yang harus aku katakan?

Rumah sakit Boromeus tak kalah ramainya dengan mal, banyak pasien yang berlalu lalang demi mendapatkan kesehatannya kembali. Di mana-mana bau obat dan tersirat kesedihan membuat perutku mual seketika. Aku buru-buru menuju toilet karena dari tadi menahan kencing.

Jalanku terhuyung-huyung dengan tenaga seadanya, terbirit-birit langsung menerobos kerumunan orang yang sedang menaiki tangga. Dan akh! Kenapa toilet adanya di lantai dua bukan lantai satu? Byurrr.. lega rasanya mengeluarkan sesuatu yang berhasil tertahan. Aku merapikan rambutku, membasahi poniku supaya terlihat lebih fresh.

Mataku masih memancarkan rasa marah dan memerah sedikit, anggap saja kelilipan. Lima buah apel sudah kutenteng, tanpa ragu lagi kakiku melangkah ringan menuju kamar Filan nomor 325 ruang VIP.

Mataku berkeliling menatap setiap sudut ruangan namun tak kudapati batang hidung Filan, kosong hanya selimut yang berserakan di tempat tidurnya. Aku segera tahu kalau Filan pasti sedang duduk santai di taman menikmati hidupnya. Dan benar saja, Filan sedang duduk sambil bersedekap memandang langit yang tidak begitu biru. Setengah mendung dan tak bergairah namun tetap dengan senyum yang memesona. Sampai ada pasien lain yang tersipu malu menatapnya.

“Hei.. pasien kuat,” sapaku. Aku duduk di sampingnya menaruh apel di tangan Filan.

“Halo Anna, apa kabar?” Filan menatapku. Aku menatap balik, mengernyitkan kening.

“Aku alergi apel kenapa kamu kasih apel ke aku?” gerutu Filan. Sejak kapan Filan jadi sok manja begini? Haiz.. kalau saja dia tidak sakit sudah kuacak-acak rambutnya. Aku hanya bergumam dalam hati, orang yang sedang sakit biasanya akan lebih sensitif. Sabar Anna.

“Ya sudah, gak jadi dikasih buat kamu. Biar aku makan sendiri aja,” aku ambil apel dari tangan Filan lalu kugigit dan kumakan. Filan tertawa girang dan seperti aku yang terlihat sakit di sini.

“Kok kamu sensi banget hari ini, terjadi sesuatu ya?” Filan masih menatapku. Aku jadi salah tingkah. Aku harus mulai dari mana? Rasanya tidak perlu bercerita pada Filan tentang kondisiku. Toh dia sedang sakit, harusnya aku yang menghiburnya, bukan aku yang butuh hiburan. Masa aku bercerita tentang pamannya yang munafik itu? Mataku berkedip-kedip kemudian kepalaku menggeleng.

“Ih sok tahu..” akhirnya aku menimpuk kepala Filan. Lagi-lagi Filan tertawa senang tanpa beban. Bahkan ketika maut di depan matanya, dia tidak peduli, yang bisa dilakukan Filan adalah menikmati apa yang ada di depan matanya. Selalu tertawa bahagia walau apa pun yang terjadi, dan diam-diam aku iri padanya, kenapa aku tidak bisa sesederhana itu. Yang kulakukan adalah terus menghujat dalam hati, salahkah aku dengan semua kondisi yang seperti ini?

“Terima kasih ya sudah mengusir kebosananku,” Filan nyengir dan merebut apel dari tanganku dan memakannya. Ingin sekali kutanyakan resepnya menjalani hidup dengan sangat kuat dan tegar. Filan menatap sekeliling sambil memakan apel, sesekali matanya tertutup merasakan angin yang berhembus. Aku menatap Filan dengan tangan memangku kepalaku.

“Aku kasihan sama pamanku,” suara Filan memecah keheninganku. Paman? Itu berarti Rico dong.

“Kenapa?” aku mulai penasaran. Ah! Harusnya aku sudah tidak tertarik tentang apa pun yang berhubungan dengan Rico, toh aku sudah sangat membencinya. Tapi tidak adil rasanya jika apa yang aku pikirkan adalah sebuah kebenaran mutlak.

“Yah hidupnya tuh munafik,” jawab Filan. Weiz.. tepat sekali. Filan sepemikiran sama aku. Rico memang munafik dan pengecut apalagi dia sok sempurna banget hidupnya. Kurekatkan gigiku kuat-kuat.

“Jadi dia itu lebih mementingkan nama baiknya daripada memikirkan perasaan yang sebenarnya. Dia lebih peduli dengan pandangan orang terhadap dirinya daripada dia menjadi dirinya yang apa adanya,” lanjut Filan. Aku mengangkat alisku.

“Contohnya?” tanyaku penasaran.

“Kayak sekarang memaksakan menikah demi kelangsungan perusahaannya, biar lebih kaya dan bisa membantu banyak orang katanya. Bodoh sekali!” Filan membuang biji apel dengan melempar tepat ke tong sampah.

“Paman kamu punya anak ya?” tanyaku lagi.

“Yup! Banyak sekali anaknya tuh. Anak asuh hampir 500 orang, tapi dia masih perjaka kok hahaha,” jawab Filan sambil terkekeh.

What? Jadi apa maksud Rico mempermainkanku seperti ini? Aku benar-benar ingin menjerit histeris. Menyudahi apa yang sudah kumulai. Kau tahu, lebih baik ikut berperang dan baku hantam secara nyata kalaupun menang dan kalah itu jelas daripada hanyut dalam rasa penasaran yang tidak jelas tanpa tujuan.

“Oh, hehehe. Kamu hebat Filan,” aku memuji Filan.

“Hahaha hebat apanya? Aku hanya siap mati kapan saja, itu satu-satunya senjataku dalam hidup. Apa senjatamu untuk menghadapi kenyataan ini?” tanya Filan.

“Aku…” jawabku terbata.

Gak usah dijawab. Aku sudah tau kok,” jawab Filan sambil berdiri dan melangkah menuju kamar pasien. Aku masih duduk bingung kemudian menatap langit yang mulai cerah. lalu aku memicingkan mata memandang jauh ke Filan yang mulai menjauh.

Bahkan aku kadang ragu dengan diriku sendiri bagaimana aku memastikan punya senjata untuk melawan dunia? Melawan ego diriku sendiri saja seringkali aku kalah. Aku menyusul Filan, pasien keras kepala yang siap mati kapan saja.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *