• Monday, 27 July 2020
  • Maharani K
  • 0

Fenomena lockdown dan physical distancing belakangan ini, ditambah dengan memborbardirnya pemberitaan-pemberitaan tidak menyenangkan mengenai virus corona dan kematian karena covid-19 di berbagai wilayah di Indonesia, nampaknya membuat sejumlah masyarakat kehilangan sifat humanisnya.

Bukan berarti pemerintah salah menerapkan kebijakan lockdown dan social distancing, tidak ada masalah dengan hal itu. Karena setiap pengalaman adalah netral, namun kitalah yang menilai dan menyikapinya secara positif maupun secara negatif.

Maraknya imbauan untuk menjaga jarak antar manusia, serta imbauan untuk lebih banyak diam di rumah daripada pergi keluar, nampaknya disikapi secara berlebihan oleh beberapa orang. Namun sebelum kita berlanjut, marilah kita pahami dulu apa itu ‘Humanisme’.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, humanisme merupakan aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik dan menganggap manusia sebagai objek pembelajaran terpenting.

Humanisme lebih melihat sisi kepribadian manusia, terutama bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif bukan hal-hal negatif, baik sebagai pelaku maupun sebagai obyek.

Humanistik adalah salah satu pendekatan atau aliran dari psikologi yang menekankan kehendak bebas, pertumbuhan pribadi, kegembiraan, kemampuan untuk pulih kembali setelah mengalami ketidakbahagiaan, serta keberhasilan dalam merealisasikan potensi manusia.

Tujuan humanistik adalah membantu manusia mengekspresikan dirinya secara kreatif dan merealisasikan potensinya secara utuh. Salah satu pencetus psikologi humanistik adalah Abraham Maslow.

Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadap aliran yang telah ada sebelumnya yaitu behaviorisme dan psikoanalisis.

Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Psikologi humanistik membela kodrat manusia yang telah dianggap negatif dan deterministik oleh aliran behaviorisme dan psikoanalisis.

Menurut humanisme, belajar adalah memanusiakan manusia. Manusia di dunia ini mengetahui dan menyadari bagaimana menggapai energi positif yang ada disekitarnya dan berinteraksi satu sama lain.

Jalan pemikiran dalam menyelesikan masalah yang dihadapi oleh manusia dan mencari bagaimana mengatasi permasalahan itu dengan membangun dirinya untuk melakukan hal yang positif. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif (emosi).

Teori humanisme menurut Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal, yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.

Jika teori psikoanalisa dan behaviourisme dinilai kurang menghargai manusia sebagai individu, karena dalam psikoanalisa, manusia dipandang hanya melayani keinginan bawah sadarnya, behaviourisme memandang manusia yang takluk kepada lingkungan, maka Psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang unik yang memiliki cinta, kreativitas, nilai, dan makna serta pertumbuhan pribadi.

Sekarang marilah kita soroti dua aliran besar dalam humanisme yang berkembang hingga saat ini: 1. Humanisme keagamaan atau religi, dan 2. Humanisme sekular. Aliran yang kedua, yaitu humanisme sekular lebih berfokus pada kebebasan yang tidak terbatasi oleh perbedaan adat istiadat, agama, maupun kebudayaan. Aliran ini dirasa lebih cocok mewakili budaya masyarakat kita saat ini, yang seharusnya tidak lagi mengkotak-kotakkan manusia dari latar belakang, status social ekonomi, maupun ras dan agama.

Tentu, jika mengamati dari teori humanisme tersebut, kita menjadi tersadarkan bahwa manusia memiliki hak, kemampuan, potensi dan pilihan untuk lebih peduli pada lingkungan sekitarnya. Beberapa waktu ini mulai banyak komunitas-komunitas yang peduli pada kesehatan dan kebersihan lingkungan sekitar.

Orang-orang berlatar belakang menengah ke atas pun bahu membahu mengumpulkan sampah dan barang bekas yang kemudian diolah kembali, atau dijual dan hasilnya disumbangkan untuk aksi social. Hal ini tentu menjadi salah satu contoh besar yang bisa kita teladani di jaman dimana manusia semakin tidak peduli dengan lingkungannya, dan lebih sibuk memikirkan kariernya, keluarganya, serta cita-citanya daripada memikirkan hal-hal tetek bengek seperti itu.

Pusat perhatian teori humanistik, adalah pada makna kehidupan, dan masalah ini dalam psikologi humanistik yang disebut sebagai Homo Ludens, yaitu manusia yang mengerti makna kehidupan.

Jadi dari sini, dapat kita lihat bahwa humanisme berkaitan sangat erat dengan bagaimana kita me’manusia’kan manusia, melihat manusia sebagai makluk yang bermartabat dan tinggi derajatnya, memandang kelebihan dan kekurangan manusia apa adanya, serta perbedaan antar individu sebagai sesuatu hal yang berharga, unik dan indah.

Bagaimana seorang individu memberikan makna terhadap cara pandang akan manusia lain sangatlah penting di dalam teori humanisme.

Di masa pandemic corona seperti sekarang ini, dimana mayoritas orang-orang mengkarantina dirinya di rumah, bekerja dari rumah, sekolah dan kuliah dari rumah masing-masing, apakah kita masih peduli bahwa masih ada segelintir orang di luar sana yang terpaksa tetap harus keluar dari rumah setiap harinya demi mencari sesuap nasi untuk keluarganya?

Orang-orang yang harus terpisah dari keluarga tercintanya demi melawan pandemic ini? Orang-orang yang tidak tidur siang malam demi perjuangan untuk negara dan demi terselamatkannya lebih banyak nyawa-nyawa manusia?

Marilah kita sebagai insan manusia, tingkatkan kepedulian kita terhadap mereka-mereka yang mungkin tidak seberuntung orang-orang menengah ke atas, dimana tidak bekerja selama berbulan-bulan pun masih bisa makan tiga kali sehari.

Memang banyak fenomena orang-orang yang sibuk mengumpulkan dana, sumbangan, hand sanitizer, masker dan keperluan-keperluan lainnya dari teman-temannya untuk disumbangkan pada yang membutuhkan dan kurang beruntung.

Dan ini adalah salah satu tindakan nyata dari humanisme tanpa pandang bulu, humanisme yang tidak pilih kasih. Sebuah bentuk tindakan nyata yang patut diacungi jempol. Berkeliling di jalanan demi membagikan keperluan kebersihan dan makanan.

Namun akan lebih indah lagi jika masyarakat mau bergerak bersama, bersama-sama membangun kepedulian dan keprihatian bagi mereka di luar sana yang tidak terlalu beruntung. Jika lebih banyak lagi masyarakat yang mau peduli dan beraksi, tentu akan menimbulkan efek yang jauh lebih massif.

Sumbangkanlah apapun yang kita miliki demi orang lain. Bahkan ketika yang kita miliki hanya social media untuk mengajak teman-teman agar lebih peduli pada sesama, itu pun salah satu bentuk humanisme. Bukannya malah menjauhkan diri dari orang lain, bersikap jijik seolah-olah orang itu adalah carrier pembawa virus untuk diri kita. Disinilah pertumbuhan pribadi sebagai manusia humanis sedang diuji.

Mengacu pada konsep Homo Ludens, dimana memberikan makna pada kehidupan dinilai jauh lebih penting daripada mengutamakan rasa takut, cemas, kuatir dan jijik terhadap sesama, ataupun pikiran-pikiran negatif bahwa kita akan tertular virus oleh seseorang di luar sana yang kita temui.

Bahkan di beberapa daerah terdengar penolakan atas tanah pemakaman bagi para jenazah yang meninggal karena terpapar covid-19. Padahal kalau dipikir-pikir jenazah itu kan tidak mungkin menulari kita lagi, bahkan tim dari rumah sakit pun sudah bersiap siaga sedemikian rupa untuk mengurangi kemungkinan orang-orang tertular virus corona.

Bahkan keluarga yang boleh ikut ke pemakaman saja dibatasi. Tapi masih saja banyak daerah yang menolak tanah pemakaman untuk jenazah penderita covid-19. Maka marilah kita bersama membangun masyarakat yang lebih peduli pada sesama, melalui berbagi hal sekecil apapun yang mudah untuk dilakukan, melalui kepedulian dan empati kita sebagai sesama manusia, secara emosional, maupun secara spiritual.

Belum lagi driver-driver ojol di luar sana sudah mulai mengembar-gemborkan tentang penghasilan yang menurun drastis. Memang untuk saat ini, bukan hanya driver ojol yang mengalami hal demikian. Bahkan pelaku usaha pun mengeluhkan hal yang sama.

Namun jika nilai kemanusiaan dna kebersamaan ini tetap bisa kita pegang di masa sekarang ini, bukankah ini akan dapat meringankan sedikit beban orang lain? Bukankah berbagi tidak akan pernah rugi atau membuat kita miskin? Bukankah sebuah beban akan terasa lebih ringan jika dipikul bersama daripada sendirian?

Yuk, daripada sibuk menggerutu dan berkeluh kesah dengan kondisi ini, kita membuka hati dan pikiran kita, lakukan sebuah action atau tindakan untuk meningkatkan humanisme kita.

Jika anda adalah seorang akademisi, gunakan itu untuk menyerukan kepedulian terhadap sesama, lewat ilmu pengetahuan dan riset, jika anda adalah relawan, kini saatnya untuk menguatkan saudara-saudara kita di luar sana yang sedang ketakutan dan tegang menghadapi pandemic corona, dengan support mental serta emosional.

Jika anda adalah seorang pengusaha, sisihkan sedikit saja dari penghasilanmu untuk membantu orang-orang yang berpenghasilan harian dan sibuk memikirkan besok akan makan apa dengan keluarganya.

Inilah salah satu makna kehidupan yang sesungguhnya, dimana aksi dan kapasitas kita diberdayakan dan dimanfaatkan untuk memberikan makna pada kehidupan bersama.

Karena aksi dan tindakan sekecil apapun, yang menurut kita tidak berarti, mungkin merupakan sebuah anugerah luar biasa bagi orang lain di luar sana. Daripada diam tidak bertindak, mulailah lakukan tindakan dari hal-hal kecil.

Luangkan sedikit berasmu untuk sesama, luangkan sedikit uangmu untuk membantu sesama, sisihkan satu maskermu untuk diberikan pada yang kekurangan, belikan satu saja sabun untuk disumbangkan ke tempat ibadah.

Baik humanisme sekular maupun humanisme religi, sama-sama menekankan kita sebagai umat manusia untuk lebih proaktif mengembangkan cinta, kepedulian pada sesama, dan kebermaknaan hidup yang bisa dibangun melalui tindakan penuh toleransi dan empati.

Di dalam humanisme sekular, tindakan-tindakan positif tidak perlu memandang perbedaan latar belakang seseorang. Jadi dalam menolong sesama, tidak perlu kita pusingkan apa latar belakang, ras, agama maupun suku orang yang akan kita tolong.

Untuk apa sibuk memikirkan perbedaan dimana semua orang sedang mengalami kesulitan yang sama saat ini? Perbedaan hanyalah fenomena yang menjauhkan manusia satu dari manusia lainnya. Jurang pemisah akan semakin terasa jika kita berfokus pada perbedaan.

Social distancing telah membuat jurang antar manusia semakin lebar, lockdown telah membuat manusia menjadi lebih egois dan individualis. Dimana biasanya kita tinggal di lingkungan dan negara yang ramah, saling sapa dan senyum ketika bertemu dan berpapasan, sekarang kita justru menghindar dan menjauh karena rasa takut.

Kita jadi takut menerima tamu di rumah kita, takut untuk saling bersentuhan dengan orang lain, yang sejatinya itu adalah esensi humanity yang sesungguhnya sebagai manusia.

Menerima barang atau membeli barang dari penjual ke pembeli, atau dari driver ojol harus semakin berjarak, bahkan terlebih dahulu disemprot sebelum menyentuh tangan. Lama kelamaan manusia akan kehilangan ekspresi dan kemampuannya untuk berinteraksi. Jangan sampai nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri kita ikut tergerus karena fenomena ini.

Masih banyak aksi yang bisa diperjuangkan di tengah pandemic corona, dengan tetap mematuhi anjuran pemerintah untuk menjaga jarak dan menjaga kebersihan. Jarak hanya bersifat fisik semata, tapi jangan sampai hati ikut berjarak pada sesama.

Di atas semua itu, kita sebagai manusia yang humanis, tetap memiliki pilihan bebas, untuk menebarkan energi positif pada sesama melalui cinta dan kepedulian, maupun memilih untuk menolak dan menghindar. Namun tentu saja, semakin banyak menebar energi yang positif pada orang lain, hal itu akan kembali lagi pada diri kita.

Mungkin dalam bentuk yang berbeda, mungkin dalam bentuk yang sama. Maka dari itu, mari bentuk barisan, susun kekuatan dari dalam, sebarkan itu keluar, dan mulai nikmatilah masyarakat yang bersatu padu, serta mudah untuk menemukan cinta dimana-mana.

Dunia begitu indah bukan? Namun manusia sangat suka untuk mengkotak-kotakkan dirinya, lebih sibuk mencari perbedaan daripada persamaan. Jadi, kalau kita memahami apa itu Humanisme, tentunya kita dapat menumbuhkan sifat-sifat humanis dalam diri kita, yang sudah pasti dimiliki oleh setiap individu.

Marilah kita bersatu padu, jadikan masyarakat kita adalah masyakat sekular yang humanis, penuh cinta, dan keindahan. Apa artinya warna kulit yang berbeda, selama kebutuhan kita sebagai manusia tetaplah sama? Apa artinya cara beribadah yang berbeda, jika kesedihan dan ketakutan kita sebetulnya sama? Kita masih tinggal di atap yang sama, memijak bumi yang sama, dan makan dari hasil bumi yang sama.

Mari lakukan dan ajak orang-orang di sekitar untuk memulai sebuah tindakan kecil yang mungkin bermakna besar untuk sesama mulai dari sekarang. Kebaikan dan kepedulian itu pasti akan menular, dan diawali dari niat di dalam diri untuk lebih peduli dan me’manusia’kan manusia. Bersediakah kita menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang lebih humanis? Dan bukannya hanya mempedulikan ‘distance’ diantara kita?

Menarik khan ngikutin artikel dan tulisan di laman ini?
kalo masih penasaran, kami menyediakan tulisan-tulisan lain yang juga asik dan bermutu untuk dibaca mengenai dunia Psychology, Love, Life and Beauty dari Kak Rani dan Tim. Simak terus yah update artikel terbaru dari kami…

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *