• Sunday, 28 January 2018
  • Lani Lan
  • 0

Hari baru selalu datang bersama matahari paginya dan dunia tak pernah menahan waktu untuk bergerak. Begitu juga hati yang tak pernah memaksa untuk jatuh hati dan sekedar berkata i love you.

Berulang kali aku membolak-balikan badan di atas kasur, mencoba untuk terlelap namun selalu gagal. Mendapati fakta bahwa Rico mempunyai anak adalah tamparan yang menusuk ulu hatiku. Setelah sekian lama mencoba membuka ruang hati yang tertutup terlalu lama, akhirnya perih mendapat ruang di sisi yang lainnya. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri, hatiku harus tenang. Namun ada perasaan bingung dan tidak aman.

Rico seorang pria berumur tiga puluh lima tahun, mempunyai senyum yang menggemaskan, dengan pembawaan tenang, lembut dan bertanggung jawab. Bahkan semua orang selalu membicarakan karakternya yang sabar.

Pengusaha muda yang cukup sukses, motivator, dan biasa memberikan ceramah-ceramah di bidang spiritual keagamaan maupun umum. Tapi hari ini aku sudah menangis karenanya dan aku membencinya. Sekarang waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Udara Bandung sangat dingin, bahkan ketika seluruh tubuhku terbungkus selimut tanpa celah.

Semalam, tepatnya tiga jam lalu saat Filan menepuk pundakku, ingatanku tentang Filan kembali. Cinta pertama yang membuat hidupku berubah, Filan Pratama sosok pria bermata kecil dengan rambut lurus berwarna hitam, mempunyai kulit kuning langsat yang tingginya kurang lebih 165 centi meter. Yang umurnya beda satu tahun denganku dan hari ulang tahunnya tidak pernah aku lupakan sampai detik ini. Aku menyukainya dan dia pun menyukaiku tapi… hari itu sekitar lima tahun yang lalu, ketika itu Filan masih seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas negeri di Bandung.

Bandung pada 2013 tepatnya tanggal 10 Mei di Vihara Vipasana Graha, Lembang.

Sebuah bangunan vihara yang luas terdiri dari beberapa candi yang bergaya khas Thailand. Filan mengajakku ke tempat yang menurutku adalah sebuah penampakan surga, yang penuh ketenangan dan keheningan di setiap sudut, meski kadang bulu kuduk berdiri dan rasa sensitifku segera muncul. Wangi dupa yang mewangi ditiup angin dari berbagai arah dan alunan musik paritta menambah syahdu dan menyadarkan bahwa hidup perlu waktu sejenak untuk menenangkan diri.

“Anna,” Filan menatapku lama. Aku balas menatap Filan. Suara Filan membuatku terpaku untuk beberapa saat. Filan tersenyum lemah kemudian menjadi murung. Otakku sempat berpikir kalau Filan akan meninggalkanku jauh untuk waktu yang lama. Karena Filan yang kukenal adalah seorang pria yang selalu mempunyai mata yang berbinar dan tidak pernah putus asa.

“Kamu nggak papa?” mendadak tanganku mendarat di pundak Filan.

“Ini soal Metta, adek aku,” Filan menatapku sungguh-sungguh.

“Kenapa? Kirain kamu mau menyatakan perasaanmu padaku,” mata Filan melebar mendengar ucapanku, lalu senyum meluncur dari sudut bibirnya. Tanganku menggaruk kepala meski tidak gatal. Pipiku merona, dalam hati ini adalah ungkapan jujur untuk Filan, perasaan yang tidak tertahan lagi meluncur begitu saja tanpa aba-aba. Di lain sisi aku malu atas ucapanku, bahwa menurut tradisi wanita hanya boleh menunggu atas segala perasaannya.

“Anna Pricilia…” tiba-tiba Filan mengucapkan nama itu. Jeda yang terjadi selama beberapa detik membuat jantungku berdetak keras.

“Aku suka kamu kok,” Filan terkekeh.

“Serius Filan, apa kamu tidak pernah menyukai seorang gadis?” bibirku cemberut. Filan hanya tertawa sambil mengelus puncak kepalaku, membuatku penasaran. Tidak pernah ada gadis yang Filan ceritakan tapi beberapa kali membuatku cemburu bahwa banyak gadis-gadis mengiriminya kado ke rumahnya.

“Gadis yang aku suka itu seperti dia,” Filan meraih pipiku dengan kedua tangannya lalu menunjuk ke arah candi. Seorang wanita dengan pakaian serba putih dengan rambut plontos yang sedang memegang dupa dan hendak menancapkannya. Aku tercengang. Filan menyukai wanita yang sangat religius. Seorang silacarini yang sedang mempraktikkan hidup berkesadaran.

“Ah..” gumamku.

Filan menggamit tanganku, mengajakku untuk berkeliling ke seluruh area vihara. Mulai dari memasukkan koin untuk 108 arahat, berfoto dan mendarat di perpustakaan tempat favoritnya.

“Filan aku benar-benar menyukaimu loh,” seruku menyadarkan Filan.

Filan lagi-lagi hanya tersenyum dan mencari buku.

“Anna, setelah lulus tahun ini, aku akan melanjutkan study-ku ke Jepang. Kamu harus sering-sering datang ke vihara ya, syukur-syukur bisa seperti silacarini,” balas Filan.

Aku menatapnya tanpa berkedip, kemudian mengangguk kecewa, itu artinya Filan tetap menjadi sahabatku. Aku yang polos selalu membuat Filan ingin tersenyum dan menggodaku. Matahari terik menandakan waktu menunjukkan tengah hari. Filan mengajakku ke kantin vihara dan mentraktirku sepuasnya. Biasanya Filan akan mengomeliku jika makan tanpa berdoa dan menambah porsi lebih banyak. Namun kali ini Filan banyak tersenyum dan membuatku bahagia, meski aku menyadari bahwa perasaanku sekejap berubah, tetapi kupu-kupu dalam hatiku semakin banyak dan melebarkan senyum di bibirku setiap detiknya.

Degh! Itu adalah kenanganku bersama Filan yang kini kusadari bahwa Filan adalah sebuah rasa yang tak biasa, yang membuatku melayang jauh melampaui diriku yang sebenarnya. Setelah kepergian Filan ruang di hatiku terasa sunyi dan dingin. Dan kini dia datang lagi tanpa aba-aba.

“Kapan kamu pulang Filan?” tanyaku.

“Hai.. hari ini, kamu masih sama ya. Masih membuatku tersenyum geli dan ingin menggodamu,” ucap Filan tiga jam lalu sebelum mengantarku pulang dari taman kota. Aku merasa senang tapi jantungku tidak berdegup keras dan pipiku tidak merona bahkan tidak ada kupu-kupu yang hinggap memenuhi perutku seperti waktu itu.

“Filan Pratama..” ucapku.

“Anna Pricilia..” balas Filan.

Kami saling memandang.

Dan tiba-tiba terang menyilaukanku, pagi sudah tiba dengan segala keajaibannya. Tanpa sadar aku tertidur pulas dan menengok jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi.

“Oouuuchh!” tubuhku terjatuh ketika hendak meraih ponsel.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *