• Tuesday, 17 April 2018
  • Victor A Liem
  • 0

Selama kita belum tercerahkan, kita masih hidup dalam ilusi. Selama belum terbangun dari mimpi, kita merasa pengalaman mimpi begitu nyata. Padahal itu semua adalah ilusi.

Kita pun bereaksi dengan benci, serakah, menjalani suka duka menanggapi hal yang ilusi tersebut.

Belum lama ini program talk show ILC di Tv One (10/4) heboh dengan penjelasan Rocky Gerung mengenai kitab suci itu fiksi, bukan fiktif.

Terlepas pandangan Rocky Gerung yang kontroversi, namun hal seperti itu bukan hal baru dalam filsafat India pada umumnya. Tanpa bermaksud memperkeruh suasana apalagi fenomena semacam itu acap kali menjadi komoditi politik.

Rocky Gerung memahami bahwa kitab suci itu fiksi. Fiksi dalam pengertiannya adalah segala hal yang melibatkan imajinasi. Dalam fiksi bisa jadi tercampur dengan fakta. Sedang fiktif dalam pengertiannya bukan sesuatu yang bersifat fiksi, tapi sesuatu yang palsu atau bohong. Kitab suci itu fiksi, bukan fiktif.

Secara definisi, tentu fiksi dan fiktif seperti itu tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Rocky Gerung juga mengakui hal itu, pengertian yang disampaikan lebih pada pemikirannya sendiri, tepatnya hasil dialog dengan dirinya sendiri. Sampai di sini tidak ada hal yang aneh, karena seorang filsuf memang cara berpikirnya seperti itu.

Filsafat

Alam filsafat India sudah umum memahami bahwa kebenaran sejati itu tidak mudah dipahami. Karena kita ini hidup dalam dunia yang penuh ilusi. Swami Vivekananda pernah mengatakan bahwa alam semesta ini adalah maya.

Maya dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata “ma” yang artinya tidak/bukan, dan “ya” yang artinya itu. Kata maya secara harafiah berarti “bukan itu” dan secara umum diterjemahkan sebagai ilusi.

Manusia mengenal alam semesta melalui imajinasi. Proses pengenalan akan kebenaran tidak pernah lepas dari imajinasi. Imajinasi bukanlah kebenaran sejati. Ada sesuatu di luar imajinasi dan di situlah letak kebenaran sejati. Pengertian seperti ini barangkali masih sulit dicerna, apalagi jika belum terbiasa membaca buku filsafat.

Baca juga: Pencerahan Ternyata Bisa Dikaji Secara Ilmiah Loh

Ilustrasi yang paling mudah dipahami adalah analogi wilayah dan peta. Peta bukanlah wilayah. Peta hanyalah sistem simbol yang dianggap mewakili wilayah. Peta dalam hal ini adalah cara kita memahami kebenaran sejati. Sedangkan wilayah adalah kebenaran sejati.

Buddhadharma mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatu apa adanya. Apabila diamati lebih mendalam, sesuatu yang apa adanya itu tidak diam, melainkan bergerak. Inilah yang disebut sebagai perubahan atau ketidak-kekalan (anicca).

Adanya sifat tidak kekal sudah cukup membuktikan bahwa dunia dalam persepsi kita ini adalah ilusi. Sesuatu yang tidak kekal tapi kita tetap mempersepsikannya sebagai hal yang kekal. Imajinasi dibangun oleh asumsi-asumsi kekal berupa persepsi.

Jika memakai istilah Rocky Gerung, maka alam semesta ini fiktif. Semuanya fiktif, tidak ada fakta sejati kecuali yang di luar fiktif itu. Hal ini sudah melangkah jauh dari Rocky Gerung.

Di luar fiktif itu dalam Buddhadharma disebut sebagai pencerahan atau tergugah. Pengertian ini yang menjadi kata dasar “Buddha”, berasal dari kata “Budh” yang berarti tergugah.

Tujuan dari Buddhadharma adalah mengungkap selubung fiktif ini. Selapis demi selapis, selubung ilusif terlepas dan mulai menampakkan realita sejatinya. Dalam tahap akhir, bahkan diri kita ini juga ilusi.

Diri ilusif ini dideskripsikan sebagai Mara penggoda. Dalam film The Little Buddha, Siddhartha Gautama yang diperankan aktor kenamaan Keanu Reeves ada dialog menarik. Ketika Mara menampakkan diri dan terus mengganggu, lalu pada akhirnya Siddhartha berkata. “Kau itu sepenuhnya ilusi, kau tidaklah ada. Bumi adalah saksiku.”

Bumi adalah simbol dasar dari segala sesuatu. Ketika ilusi terungkap, maka yang terlihat adalah realita sejati yang menjadi dasar dari segala sesuatu. Nagarjuna menyebutkannya sebagai sunyata (kekosongan). Inilah fakta sejati dan bukan fiktif, yang menjadi tujuan Buddhadharma, yakni merealisasikan kebenaran sejati.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *