Dr. Rick Hanson, psikolog dan penulis buku best-seller Hardwiring Happiness and Buddha’s Brain meyakini telah memecahkan aspek sains di balik apa yang Buddhis sebut sebagai ‘pencerahan’. Ia memberikan pengetahuan baru dan metodologi untuk mereplikasi apa yang terjadi di dalam otak seseorang yang tercerahkan, seorang Buddha.
“Kata ‘Buddha’ memiliki arti ‘orang yang mengetahui’ atau ‘orang yang melihat dengan jelas’, jadi kita semua mampu memiliki ‘otak Buddha’,” kata Hanson.
“Sebagian dari kita akan lebih termotivasi untuk mencapainya daripada yang lain, sementara sebagian yang lain lebih termotivasi untuk menjadi pemenang olimpiade atau pemain sepakbola, tetapi itu sesuatu yang dapat dicapai. Pemetaan psikologi Buddhis lebih baik daripada ilmu pengetahuan Barat, karena cenderung menjadi dasar yang cukup sekuler. Bukan secara metafisik, melainkan berdasarkan pengalaman langsung,” tambahnya.
Hanson menekankan bahwa pencerahan dalam konteks ini perlu dijabarkan dengan jelas. “Kata pencerahan memiliki dua makna. Salah satu artinya merupakan kerangka sekuler sepenuhnya. Dalam tradisi Buddhis, pencerahan diartikan sangat psikologis yang dioperasionalkan sebagai pikiran, sistem saraf, yang tidak lagi memiliki keserakahan, kebencian, atau kebodohan,” sebutnya.
Meskipun demikian, penelitian Hanson melampaui analisa keadaan pikiran. Ia juga yakin bahwa neuropsikologi dapat menawarkan roadmap yang memungkinkan orang untuk mengalami hal itu untuk diri mereka sendiri. “Buddhisme pada dasarnya sangat praktis, sangat membumi, dan mengarahkan neuropsikologi modern dengan sangat baik.”
Sebagai pendahuluan, Hanson menawarkan gambaran singkat perangkat keras yang kita gunakan. “Otak dibangun seperti sebuah rumah dengan tiga lantai, dari bawah ke atas: batang otak reptil berada di bagian bawah. Di atas itu, dimulai sekitar 250 juta tahun yang lalu, kita memiliki subcortex, yang terkait dengan tahap evolusi mamalia. Dan akhirnya kita memiliki tingkat primata,” katanya. Menurutnya, cerebral cortex merupakan bagian yang paling berkembang.
Jauh di dalam lobus temporal terdapat dua amygdalae, yang menangani reaksi emosional dan mendeteksi ancaman. Menurut Hanson, bagian dari otak ini dapat dilatih dan dikembangkan. “Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang sangat tenang yang tidak mati rasa atau apatis —mereka dapat bergairah mengenai tim sepakbola mereka atau marah atas ketidakadilan— tanggapan emosional mereka dapat dikontrol,” katanya.
“Ini ditandai oleh amygdalae menjadi semakin teratur dari atas sampai bawah, di dalam korteks serebral. Alarm tidak berbunyi keras seketika, dan orang-orang lebih cepat pulih.”
Untuk melatih otak melakukan ini, Hanson mengatakan apa yang paling penting adalah “internalisasi berulang emosi positif” —mengambil kesenangan dari hal-hal sederhana seperti persahabatan dan keluarga, belajar sesuatu yang baru, atau mencapai tujuan. Emosi yang terkait sesuatu yang agung, seperti mengamati langit malam atau berkomunikasi dengan alam, juga terhitung. Langkah berikutnya, katanya, adalah menjadi sadar dan hadir; mengamati dan mencatat ketika emosi positif ini terjadi dan mengenali mereka apa adanya, yang membantu mengatur aktivitas di amygdalae. Prinsip yang sama diterapkan ke emosi negatif dan perasaan.
Pada akhirnya kualitas ke-Buddha-an yang dapat kita cari untuk mencapainya adalah berhubungan dengan dunia di sekitar kita —kualitas yang lebih kompleks dan mendalam yang dicapai ketika sirkuit persepsi allocentric dalam otak memberi kita perspektif yang impersonal pada sesuatu di mana umumnya bergantung pada perspektif egosentris. Salah satu cara untuk mengembangkan ini adalah dengan mengangkat pandangan kita ke cakrawala atau ke langit lebih sering sepanjang hari, yang membantu menawarkan perspektif yang lebih luas mengenai sesuatu —baik secara harfiah maupun kiasan.
Hanson menambahkan kualifikasi penting agar tujuan seseorang lebih jelas, “Saya pikir perjalanan Buddhisme didorong oleh keinginan untuk bebas dari penderitaan, serta menekankan kebajikan dan kemurahan hati.” Untuk tujuan ini, Hanson mempraktikkan apa yang disebutnya ‘welas asih hit and run’, di mana kita selama beberapa detik mendoakan orang asing yang kita temui di jalan agar berbahagia.
“Ini adalah hal-hal kecil yang bertambah hingga menjadi hal-hal besar. Ini bukan obat ajaib, itulah sebabnya mengapa hal ini kredibel,” Hanson menyimpulkan. “Bagi mereka yang terlibat dalam beberapa bentuk latihan psikologis dan pelatihan mental, ada semakin banyak bukti saraf yang mendasari hasil dari praktek latihan; perubahan yang mendasar dalam sistem saraf. Orang benar-benar dapat menjadi lebih tercerahkan.” (www.buddhistdoor.com)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara