• Sunday, 6 January 2019
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Hei Bro… kok kemarin kamu nggak datang?” tanya Brandon. “Padahal seru banget. Calvin nyaris ditonjok Darrel kalau nggak ada yang pisahin,” kata Brandon.

Temen mau berantem kok seru? Emang ada apa?” tanya Wilson.

“Biasa, mulut Calvin suka asal ngomong. Darrel yang mendengar agamanya dijelekkan langsung emosi,” jelas Brandon.

“Oh… kirain masalah apa…” kata Wilson datar.

“Kok cuma gitu komentarmu?” tanya Brandon.

“Lho… emangnya harus gimana?” Wilson balik tanya.

“Kasih pendapat yang agak panjang dong. Mungkin kasih saran supaya Calvin dan Darrel segera baikan. Acara liburan kita nanti jadi nggak asyik nih kalau masih ada yang perang dingin,” kata Brandon.

“Aku paling nggak suka ikut campur soal agama,” Wilson memberi alasan.

“Ya, bukan ikut campur soal agama mereka, tapi mendamaikan mereka,” pinta Brandon.

“Lha… bukannya kata kamu sudah ada yang pisahin?” tanya Wilson.

“Iya. Manajer kita. Tapi nggak tau tuh… apakah mereka masih saling dendam atau sudah selesai ketika disuruh salaman dan saling memaafkan,” cerita Brandon.

* * * * *

“Bro, kenapa sih kamu kok cuek banget kalau ada masalah seperti kasus Calvin dan Darrel kemarin? Di kantor, kalau ada obrolan yang menjurus ke masalah agama, aku perhatiin, kamu nggak pernah ikut menanggapi. Kalau boleh tau, emang ada trauma masa lalu atau apa?” tanya Brandon saat makan siang.

Nggak juga. Cuma males aja. Agama itu hal yang sensitif banget. Agama itu urusan pribadi kita masing-masing. Semua orang tidak suka agamanya dijelek-jelekkan, tokoh agamanya dihina, apalagi Tuhannya. Kendalikan ucapan kita masing-masing, itu kuncinya. Prinsipnya sederhana, kalau nggak mau dicubit, jangan mencubit,” cerita Wilson.

“Wuih… ternyata kamu bisa ngomong panjang juga, padahal kita lagi bahas agama,”ujar Brandon.

“Ssst… kita stop dulu obrolan kita, nasi pesanan kita sudah datang,” potong Wilson.

“Mending habis makan kamu deketin cewek di pojokan sono agar status jomblo-mu segera berakhir,” canda Wilson.

“Boleh juga saran kamu,” Brandon tertawa senang. “Tapi swear, masih banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan ke kamu. Lain kali deh kita lanjut…” kata Brandon. Wilson hanya tersenyum menanggapi ucapan rekan kerjanya itu.

* * * * *

Rumah makan ini tampak agak sepi dari biasanya. Maklum saja, ini bukan jam makan siang. Sekarang sudah pukul 15.00, memang bukan waktunya makan siang.

“Halo Belinda, sudah lama menunggu?” sapa Wilson.

“Hai Wilson, belum lama kok. Baru sepuluh menit. Untung ada Wina, jadi ada teman ngobrol,” jawab Belinda.

“Hai Wina…” sapa Brandon.

“Hai juga Brandon…” jawab Wina.

Sekarang Wilson, Wina, Brandon, dan Belinda sedang duduk menantikan makan siang mereka. Makan siang yang telat ini atas prakarsa Brandon. Brandon yang traktir, sekalian untuk mengenalkan pacarnya, Belinda. Selamatan karena sudah tidak jomblo lagi! Wilson dan Wina juga sepasang kekasih, mereka sudah pacaran sekitar setahun lalu.

“Maaf agak telat, tadi agak alot nego dengan klien,” Wilson menjelaskan. “Tapi ada kabar baik dari Boss di kantor. Kami berdua diberi waktu bersantai karena deal dengan klien kami tadi sukses. Dan… karena kami belum makan siang, sekarang boleh makan siang dengan santai. Nggak balik ke kantor pun tidak masalah…” kata Wilson dengan wajah berseri.

“Bro, boleh ya aku diskusi soal agama? Ini penting Bro,” kata Brandon sambil melirik Belinda. “Mau belajar banyak dari kamu…” lanjut Brandon.

“Oke…  santai saja,” jawab Wilson.

“Aku kayak kebanyakan orang, kalau denger agamaku dijelek-jelekan, langsung emosi. Kalau ada yang bilang agamanya yang terbaik, aku langsung emosi dan bilang agamaku yang terbaik dengan segala argumen yang aku tau. Tapi kamu kok kesannya cuek banget?” tanya Brandon.

Wilson meletakkan jari di bibir, tanda agar Brandon diam sejenak. Pelayan datang membawa makan siang mereka. Pembicaraan jadi terhenti sejenak.

“Nah… hidangan ini pas sekali. Wina pesan udang goreng tepung. Aku pesan ayam bakar. Mana yang lebih enak? Mana yang lebih sehat?”tanya Wilson untuk membuka pembicaraan.

“Kalau menurut aku, udang goreng tepung,” jawab Brandon. “Itu juga menu favoritku,” jawab Brandon.

“Kalau Belinda?” tanya Wilson.

“Kalau aku, lebih suka cumi,” jawab Belinda. Wina hanya tersenyum.

“Selera orang berbeda-beda. Mungkin secara umum orang akan bilang udang itu bagus, makanan bergizi, dan lain-lain. Tapi bagiku, itu racun!” Wilson memandang Brandon dan Belinda. “Mengapa?” tanya Wilson. Lalu dengan cepat Wilson menjawab sendiri, “Karena aku alergi udang. Habis makan udang, badanku gatal-gatal, perutku mual, bisa berlanjut muntah-muntah karena keracunan, bahkan bisa pingsan. Apakah aku harus memaksa Wina agar tidak makan udang, atau bahkan melarang rumah makan ini menyediakan hidangan dari udang?” Wilson berhenti sejenak.

“Wina suka makan udang, silakan saja. Aku mau makan ayam bakar, Wina juga tidak protes. Kami makan berdua dengan menu berbeda tanpa harus ribut mana yang paling enak, mana yang lebih sehat,” Wilson berhenti lagi. Brandon, Belinda, dan Wina tetap diam, menanti kelanjutannya.

Baca juga: Benarkah Agama Buddha Berakar dari Agama Hindu?

“Aku sangat sependapat dengan ucapan Bhante Uttamo. Agama itu kita pilih bukan karena  paling benar dan agama lain salah. Tapi agama itu kita pilih karena paling cocok dengan kita. Agama Buddha bukan agama yang paling baik, tapi agama yang paling cocok untukku,” lanjut Wilson.

Brandon dan Belinda saling berpandangan dan seolah menyatakan setuju dengan pendapat Wilson.

“Aku tidak pernah menyuruh Wina pindah ke meja lain karena makan udang. Kami bisa makan semeja meski beda menu. Wina makan hidangan yang dipilihnya, aku makan makanan favoritku. Renungkan saja di dalam pikiran kita, apakah kita pantas memaksa orang lain untuk makan udang dengan keyakinan bahwa udang itu makanan paling enak? Tidakkah kita menyadari  udang bisa saja berakibat fatal bagi orang tersebut. Baik bagi kita, belum tentu baik bagi orang lain.”

Brandon dan Belinda mengangguk tanda setuju.

“Satu lagi, kita harus menyadari satu hal yang paling mendasar. Kita tidak bisa memilih kita terlahir di keluarga beragama apa, di negara mana, dari suku apa,… Renungkanlah kalimat itu secara mendalam. Kita pasti akan memaklumi agama orang lain dan tidak pernah akan memaksakan pendapat kita,” tutup Wilson.

“Wah… super sekali Pak Wilson. Salam super…” teriak Brandon.

Mereka berempat akhirnya tertawa terbahak-bahak. Untungnya rumah makan itu sedang sepi, cuma mereka berempat yang sedang makan di sana. Hanya saja semua mata karyawan rumah makan itu tertuju kepada mereka.

Hendry F. Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *