• Saturday, 6 October 2018
  • Reza Wattimena
  • 0

Tulisan ini berawal dari percakapan dengan seorang teman. Sebagai anak dari keluarga pengusaha, ia sebenarnya cukup beruntung. Ia bisa mendapatkan penghidupan yang layak, dan pendidikan yang bermutu tinggi. Setelah itu, ia pun diharapkan bisa melanjutkan dan mengembangkan usaha keluarga.

Sejak kecil, ia dididik untuk menjadi pekerja keras. Keluarganya berharap, supaya ia bisa menjadi fondasi keluarga, ketika orangtuanya tidak lagi mampu mengelola bisnis. Maka dari itu, ia pun diajar untuk menjadi manusia yang memiliki ambisi besar. Nilai-nilai persaingan, kerja keras dan fokus adalah nilai-nilai yang telah ia terima, sejak kecil.

Ambisi

Jika kita jeli, hal serupa banyak terjadi di sekitar kita. Cita-cita keluarga dipaksakan menjadi cita-cita pribadi. Hidup menjadi penuh ambisi, yakni tujuan yang amat sangat diharapkan menjadi kenyataan. Ambisi ini tidak hanya terjadi pada hal-hal soal harta dan nama besar, tetapi juga dalam soal spiritual.

Ada keluarga yang ingin anaknya menjadi orang kaya dan terkenal. Inilah yang terjadi pada teman saya di atas. Disini, uang dan harta menjadi ukuran bagi keluhuran manusia. Seperti kata Herbert Marcuse, seorang pemikir Jerman, manusia hanya diukur dari satu dimensi saja, yakni dimensi harta dan kepemilikan semata.

Sebagian keluarga lainnya ingin anaknya menjadi manusia yang luhur di hadapan Tuhan. Inilah yang saya sebut sebagai ambisi spiritual. Segala upaya dilakukan, supaya sang anak menjadi suci di dalam satu tradisi agama tertentu. Segala pernak pernik keagamaan, mulai dari baju sampai cara bicara, pun disesuaikan demi ambisi spiritual tersebut.

Pikiran yang mencengkeram

Apa pun bentuknya, ambisi adalah sumber penderitaan. Di dalam Zen, ambisi adalah sebentuk pikiran yang mencengkeram (grasping mind). Orang menginginkan sesuatu secara berlebihan. Ada paradoks di sini.

Ketika ambisi menjadi kenyataan, orang tetap tidak puas. Ini terjadi, karena memang hal-hal yang ada di luar diri, seperti harta dan kuasa, tidak akan pernah bisa memberikan kebahagiaan sejati kepada manusia. Setelah ambisi terwujud, orang justru bingung, mengapa ia belum juga merasa puas dan bahagia. Inilah ciri mendasar dari “pikiran yang mencengkeram” tersebut.

Sebaliknya, ketika ambisi tak juga menjadi nyata, derita pasti menyapa. Ambisi mengikat orang, sehingga ia tak bisa lepas darinya. Jika ikatan tersebut tak diikuti, orang pun merasa tercekik. Di dalam tradisi filsafat Asia, ambisi adalah sebentuk kelekatan (attachment) yang menjadi sumber dari penderitaan.

Ini semua terjadi, karena orang tak paham tentang dunia. Orang mengira, dengan ambisinya, ia bisa menggenggam dunia. Orang juga berpikir, dengan terus mengasah kemampuannya, dan mencapai ambisinya, ia lalu bisa merasa bahagia. Sayangnya, begitu banyak orang yang terjebak pada salah paham semacam ini.

Dunia adalah perubahan

Seluruh ajaran filsafat Asia menegaskan, bahwa dunia adalah perubahan. Ini berarti, tidak ada yang disebut dunia, karena dunia mengandaikan adanya sesuatu yang tetap. Perubahan itu seperti gelombang yang terus bergerak. Ia tidak menyisakan bentuk apa pun.

Ini bertentangan dengan pandangan banyak orang. Mereka mengira, dunia ini ada, namun ia terus berubah. Pandangan ini kurang tepat. Ia masih mengandaikan adanya sebuah dunia yang, kemudian, berubah.

Jika dunia dilihat sebagai perubahan terus menerus, maka tidak ada yang tetap. Tidak yang disebut manusia. Tidak ada yang disebut hewan ataupun tumbuhan. Tidak ada yang disebut benda. Bahkan, tidak ada yang disebut sebagai “aku”, karena segalanya adalah perubahan terus menerus yang mengalir bagaikan gelombang.

Jika segalanya adalah gelombang perubahan, apa yang bisa kita pegang? Jika segalanya adalah perubahan tanpa henti, apa yang bisa kita raih? Penderitaan muncul, ketika kita mencoba untuk mengenggam apa yang tak bisa digenggam. Ambisi berarti mencoba mencengkeram gelombang. Itu tidak akan mungkin dilakukan, dan justru menghantar kita pada penderitaan.

Ingatlah apa yang dikatakan oleh Herakleitos, pemikir Yunani kuno, lebih dari dua ribu tahun yang lalu: pantha rei. Segalanya mengalir. Karir, uang, harta, nama besar dan kuasa tak akan pernah bisa digenggam, karena semuanya mengalir. Cinta dan hubungan juga tidak akan pernah bisa digenggam, karena semuanya adalah perubahan.

Saat ini

Dengan menyadari arti sesungguhnya dari dunia dan kehidupan ini, kita lalu secara alami melepas segalanya. Ambisi padam. Pikiran yang mencengkeram pun secara alami lenyap. Yang tersisa hanya sepercik kehidupan dan kesunyian yang mengantarkan kita pada kedamaian.

Kita berhenti untuk mengontrol masa depan. Kita berhenti untuk terobsesi pada masa lalu. Ingatlah bahwa segalanya adalah perubahan. Segalanya mengalir dari saat ke saat, tanpa menyisakan satu bentuk apapun yang bersifat tetap. Tidak ada yang bisa dipegang, apalagi dicengkeram.

Kita pun secara alami kembali ke saat ini. Apa yang sedang anda lakukan? Lakukan sepenuh hati. Just do it!

Waktunya makan, sepenuhnya makan. Waktunya berjalan, sepenuhnya berjalan. Waktunya sakit, sepenuhnya sakit. Semuanya mengalir dari saat ke saat. Just do it!

Kesadaran akan saat ini (now awareness) itulah yang mesti dikenali, dan dipertahankan dari saat ke saat (recognizing and maintaining awareness). Jika gagal, kembali lagi ke saat ini, dan lakukan lagi. Inilah inti terdalam dari Zen. Inilah inti dari pencerahan dan pembebasan yang sesungguhnya.

Tentu saja, saya tidak menerangkan hal ini ke teman saya. Ia belum siap. Ambisi atas harta dan nama besar masih memenjara pikirannya. Mungkin nanti, setelah ia ditabrak ratusan kegagalan, baru ia sadar, bahwa ambisi dan upayanya mencengkeram dunia adalah sesuatu yang sia-sia.

Teman saya mungkin belum siap. Ya sudah. Yang lebih penting adalah, apakah Anda sudah siap?

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *