Puasa adalah praktik spiritual yang ditemukan di hampir semua agama besar di dunia. Tak terkecuali dalam agama Buddha. Umumnya, para Buddhis berpuasa dengan mempraktikkan tidak makan setelah lewat tengah hari hingga subuh. Namun masih boleh mengonsumsi cairan bila haus.
Ini adalah tradisi yang dipraktikkan sejak zaman Buddha. Para bhikkhu mempraktikkannya tiap hari, dan para umat awam dianjurkan mempraktikkannya saat bulan purnama.
Di dalam tradisi Vajrayana, terdapat praktik puasa khusus yang disebut Nyungne. Praktik yang sangat populer di Tibet ini adalah praktik pemurnian yang mendalam. Satu kali praktik Nyungne terdiri dari 2 hari puasa. Hari pertama adalah hari pendahuluan dan hari kedua adalah hari berpuasa sepenuhnya.
Seperti yang dilakukan puluhan umat dari Vihara Palyul Nyingma Indonesia Jakarta. Dari tanggal 13-16 November 2019, mereka melakukan retret Nyungne di Chan Forest, Megamendung, Bogor, Jawa Barat, dibimbing Khenpo Khentse Norbu Rinpoche dan beberapa anggota Sangha.
Jumat (14/11) pagi, umat mengambil suatu tekad yang disebut tekad Tekchen Sojong, tekad penahbisan pemulihan dan pemurnian dari tradisi Mahayana dengan jumlah delapan sila. Tak jauh beda dengan praktik atthasila dari tradisi Theravada.
Di hari itu peserta hanya makan sampai tengah hari saja, yang membedakan dari tradisi Theravada, di sini makanan murni vegan, yang berarti bebas dari semua yang mengandung daging, telur, dan juga bawang merah maupun bawang putih.
Di hari selanjutnya, Sabtu (15/11), peserta benar-benar berpuasa tanpa makan atau minum. Selain itu, peserta harus menjaga keheningan atau tidak berbicara sama sekali. Noble silence, begitu istilah keren dalam bahasa Inggrisnya.
Syarat lain melakukan praktik ini adalah adalah peserta harus mengambil tekad Bodhisattwa, dan menerima inisiasi Avalokiteshvara 1000 Tangan (Sahasra Bhuja Avalokiteshvara) yang diberikan sebelum proses puasa dimulai. Tanggal (16/11) pagi, barulah puasa dibatalkan setelah dilakukan puja pagi hari saat matahari menyingsing.
Di saat-saat senggang, peserta retret dianjurkan membaca mantra Om Mani Padme Hum sebanyak-banyaknya, atau melakukan namaskara.
Asal-muasal praktik Nyungne
Praktik Nyungne berkaitan erat dengan sosok yang dihormati dalam sejarah Buddhis yang dikenal sebagai Biksuni Lakshmi, atau yang dalam literatur Tibet dikenal sebagai Gelongma Palmo. Sebelumnya ia adalah seorang putri di sebuah kerajaan di Kashmir, saat kawasan itu masih menjadi kawasan Buddhis yang besar.
Biksuni Lakshmi adalah seorang yang terpelajar. Ia ahli dalam lima jenis pengetahuan: logika, seni, puisi, kedokteran, dan tentunya Dharma, serta sangat ketat dalam menjaga sila.
Tetapi karena karma masa lalunya, Biksuni Lakshmi menderita sakit kusta. Tubuhnya kesakitan dan batinnya juga mengalami banyak penderitaan. Ia tidak dapat menggunakan tangannya, dan harus secara tidak layak sebagaimana lazimnya manusia. Keluarga dan anggota rombongan raja kemudian membawanya ke tempat yang sangat terpencil, tempat rumput obat tumbuh, dan meninggalkannya di sana.
Sang biksuni lantas mengalami serangkaian mimpi yang penuh dengan kedalaman makna, ia diperintahkan untuk merapalkan mantra dan dharani Avalokiteshvara sembari berpuasa hanya makan sekali dalam dua hari. Setelah mempraktikkan selama satu tahun, ia berhasil sembuh total dari penyakitnya itu. Tradisi praktik Nyungne ini dimulai dari silsilahnya.
Manfaat praktik Nyungne
Diyakini, bagi mereka yang ingin membuat hidupnya lebih berarti harus melakukan paling sedikit satu kali praktik Nyungne. Sekali praktik hanya 2 hari saja, tetapi dua hari tersebut mungkin bisa menjadi perjalanan yang cukup panjang dan tak terbatas. Menurut tradisi Tibet, minimal harus mengikuti paling sedikit delapan kali Nyungne dalam hidup ini. Selama praktik beberapa orang mungkin merasa sedikit lapar dan haus. Tetapi ini berfungsi akan memurnikan karma buruk seseorang.
Waktu praktik ini sangat singkat hanya 2 hari saja tetapi manfaat dan pahala sangat besar sekali. Dikatakan bahwa manfaat dan pahala mengikuti satu kali praktik Nyungne sama dengan manfaat dan pahala seseorang merapalkan mantra Om Mani Padme Hum sebanyak 100 juta kali.
Khenpo Khentse Norbu Rinpoche menjelaskan, besar atau tidak efek dari praktik Nyungne ini tergantung dari motivasi praktisinya. Motivasi maksimal adalah ketika seseorang mampu membangkitkan Bodhicitta, menjadi Sammasambuddha.
“Kita harus mau tujuannya menjadi Buddha. Karena menjadi Buddha ini tujuannya agar memiliki welas asih untuk membantu semua makhluk,” ujar Khenpo.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara