• Thursday, 8 October 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Jauh sebelum ‘ngopi’ populer dan banyak muncul cafe-cafe di sekeliling kita, peradaban manusia telah mengenal tradisi minum teh terlebih dahulu. Ngeteh – atau minum teh, dipercaya sebagai satu-satunya minuman non-alkoholik yang dapat meningkatkan stamina dan dapat dikonsumsi dengan aman setiap hari. Kepopuleran ngeteh ternyata berkaitan erat dengan dua tradisi ngeteh di dunia, yaitu tradisi ngeteh ala buddhis dan tradisi ngeteh ala barat.

Asosiasi budaya buddhis dengan tradisi ngeteh telah berlangsung sangat lama, tepatnya sejak agama Buddha diperkenalkan di Tiongkok pada masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Para bhikkhu/ni memanfaatkan keampuhan teh untuk menjaga stamina dan menenangkan pikiran sehingga berguna untuk latihan badan jasmani dan mental ketika mereka harus bermeditasi.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, seorang bhikkhu terkenal dari Dinasti Jin Timur bernama Shan Daokai, meminum teh untuk menghilangkan rasa lelah dan ngantuk setelah lama bermeditasi di Kuil Zhaode. Ini menunjukkan bagaimana awal mulanya ngeteh menjadi tradisi dan budaya di kalangan bhikkhu/ni di Tiongkok. Lambat laun ngeteh semakin terarah menjadi sebuah tradisi yang umum dipraktekkan oleh komunitas Sangha.

Manakala agama Buddha diperkenalkan ke Korea dan Jepang, tradisi ngeteh ikut terbawa dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari di kuil. Catatan sejarah Dinasti Song mengungkapkan bahwa “para bhikkhu bangun tidur, mencuci muka dan tangan, dan minum teh di pagi hari. Kemudian mereka duduk meditasi dan beristirahat. Setelah itu, mereka mencuci muka dan tangan, dan minum teh. Mereka kemudian makan siang. Selanjutnya, mereka mencuci muka dan tangan, dan minum teh.”

Dengan kata lain, segala aktifitas diakhiri dengan ngeteh. Pada zaman Dinasti Song, banyak kuil-kuil buddhis di Tiongkok yang memformulasikan serangkaian upacara minum teh. Salah satu upacara ngeteh yang terkenal adalah perjamuan ngeteh Kuil Jinshan. Selain itu, tradisi ngeteh juga kerap ditemui di banyak kuil-kuil buddhis di Tiongkok, Korea dan Jepang.

Oleh karena itu, agama Buddha turut mempengaruhi perkembangan tradisi ngeteh hingga menjadi budaya sendiri yang telah bertahan dalam waktu yang lama. Budaya ini termasuk cara penanaman, penyebaran informasi tentang teh, pembentukan upacara ngeteh, penggunaan cangkir, poci dan perlengkapan ngeteh lainnya. Tradisi ngeteh menjadi budaya sehari-hari di kuil-kuil sejak Dinasti Tang. Kontribusi buddhis terhadap budaya teh dunia setidaknya mencakup dua aspek.

Pertama, dengan menjadikan ngeteh sebagai budaya populer kala itu. Agama Buddha memandang ngeteh sebagai hal yang baik untuk menjaga tubuh dan pikiran yang dibutuhkan saat bermeditasi. Dengan semakin kuatnya pengaruh agama Buddha di negara setempat, ngeteh menjadi populer pula. Seperti tradisi ngeteh yang menyebar dari Tiongkok hingga Korea dan Jepang.

Kedua, mempromosikan produksi teh yang berkualitas. Dapat kita temukan banyak kuil-kuil yang populer sebagai tempat yang cocok untuk menanam daun teh. Banyak kuil yang dibangun di perbukitan atau dataran tinggi. Ini cocok sebagai tempat produksi teh yang berkualitas. Umat Buddha berhasil membuat pohon teh – yang bisa tumbuh hingga 20 kaki menjadi sekitar 1 meter sehingga mudah dipanen. Buku kuno yang diterbitkan pada 720 M tentang segala hal terkait teh (Cha Ching) ditulis oleh seorang bhikkhu.

Melihat eratnya tradisi ngeteh dengan budaya buddhis, tak heran bila terdapat banyak nama-nama teh yang diambil dari atau berasal dari budaya buddhis. Misalnya, Da Hong Pao – teh langka berharga fantastis dari pegunungan Wuyi.

Kemudian ada juga Bi Luo Chun yang tumbuh di pegunungan Dongting. Dari sini kita dapat melihat perbedaan utama antara tradisi ngeteh buddhis dengan tradisi ngeteh barat. Da Hong Pao dan Bi Luo Chun adalah tipe teh oolong dan teh hijau yang umum dikonsumsi oleh komunitas buddhis di Asia Timur.

Dalam cara ngetehnya, keduanya tidak ditambahkan dengan gula sebagai pemanis untuk menetralisir tingkat keasaman teh. Sedangkan tradisi ngeteh barat umumnya menambahkan gula. Saat ini, tradisi ngeteh tidak hanya dilakukan oleh komunitas buddhis di Asia Timur tetapi juga oleh komunitas lainnya di dunia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *