• Saturday, 25 August 2018
  • Billy Setiadi
  • 0

Beberapa hari belakangan media massa dan media sosial dihebohkan dengan kisah Ibu Meiliana, seorang Buddhis berdarah Tionghoa asal Tanjung Balai yang divonis 18 bulan terduga akibat penodaan agama.

Kisah Ibu Meiliana sebenarnya berawal dari tahun 2016 silam, yang buntutnya terjadi pembakaran dan perusakan beberapa vihara di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Awalnya Ibu Meiliana ini hanya mengeluhkan pengeras suara masjid di dekat rumahnya yang terlalu keras. Keluhan itu hanya sebatas perbincangan dengan tukang sayur yang berada dekat rumahnya. Namun dari situ obrolan menyebar dengan tafsir orang yang berbeda-beda. Bahkan menyebar di media sosial dengan plintiran bahwa Ibu Meiliana melarang suara adzan dibunyikan dengan toa masjid. Banyak warga juga mendatangi rumah Meiliana untuk meminta klarifikasi.

Keluhan Ibu Meiliana memicu kemarahan masyarakat dan terjadi perusakan serta pembakaran vihara 2016 silam. Sebenarnya masalah dengan warga sekitar rumah sudah selesai dengan dialog, suami Bu Meiliana juga sudah meminta maaf. Namun isu yang terlanjur menyebar di media sosial, membuat warga dari luar lingkungan rumah Ibu Meiliana ikut merespon dengan kemarahan. Rumah Ibu Meiliana juga sempat menjadi sasaran perusakan.

Pelaku perusakan dan pembakaran vihara juga sudah diproses dengan vonis 1,5 bulan masa tahanan. Ini yang menjadi perbincangan di masyarakat bahwa hukum seolah tak adil. Satu sisi, Ibu Meiliana yang sebagai korban persekusi malah divonis lebih berat dibanding pelaku persekusi. Dukungan untuk membebaskan Ibu Meiliana pun mencuat ke masyarakat.

Dukungan banyak hadir dari kalangan di luar Buddhis, mulai dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Jaringan GUSDURian Indonesia, ANBTI (Aliansi Bhinneka Tunggal Ika), SEJUK (Serikat Jurnalistik untuk Keberagaman), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta masih banyak tokoh dan lembaga lain yang mendukung Ibu Meiliana tidak bersalah. Warganet banyak menilai bahwa aparat hukum yang menangani kasus ini, lebih patuh pada tekanan massa daripada aturan hukum itu sendiri.

Menurut seorang ahli tata hukum negara, Prof. Mahfud MD lewat media sosial mengatakan bahwa vonis Ibu Meiliana sudah masuk ranah pengadilan (yudikatif), tak bisa diintervensi sekalipun oleh presiden (eksekutif), hanya bisa diperjuangkan di ranah yudikatif dengan banding dan kasasi.

Namun sayangnya tak ada satu pun lembaga Buddhis baik majelis, Sangha, atau apa pun sampai detik ini yang memberi dukungan untuk kasus yang dialami Ibu Meiliana. Jangankan memberi dukungan, membuka suara soal kasus ketidakadilan ini pun tidak. Seolah-olah sunyi seperti meditasi yang hampir mencapai tahap Janna.

Semoga dengan kekuatan kebajikan kasus Ibu Meiliana bisa terselesaikan secara adil. Karena kebenaran sampai kapan pun akan tetap menjadi kebenaran seperti Dharma yang telah diajarkan oleh Bhagava.

Billy Setiadi

Ketua HIKMAHBUDHI PC Malang 2016-2018

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *