• Sunday, 26 June 2016
  • Komala Somadevi
  • 0

Saya sering dikomentari ketika saya mengatakan bahwa saya bukan orang yang religius, tapi saya adalah seorang Buddhis yang sedang berlatih.

Kata “agama” umumnya berarti “sistem kepercayaan dan penyembahan” serta “kepercayaan terhadap makhluk super atau Tuhan yang memiliki kekuasaan.” Setelah mengunjungi India dan Nepal, mengamati lingkungan Buddhis, saya menyadari bahwa agama Buddha bukanlah sistem kepercayaan yang seperti itu, juga bukan institusi yang berdasarkan pada Tuhan.

Umat Buddha tidak memandang Buddha sebagai Tuhan yang tertinggi. Bagi mereka, Buddha adalah manusia biasa seperti kita. Namun, Buddha menguraikan penyebab penderitaan dan menawarkan cara yang nyata untuk membebaskan diri dari penderitaan.

Walaupun Buddha menawarkan ajaran tentang bagaimana melepaskan diri dari samsara, Buddha menegaskan bahwa Beliau tidak menginginkan penyembahan atau persembahyangan. Beliau hanya meminta kita untuk mengecek ajaranNya terlebih dahulu, dan jika ajaran ini menyentuh kita, maka kita mempraktikkan ajaran tersebut.

Walaupun saya sudah melihat berbagai macam ritual dan upacara yang dilakukan di vihara, saya diberitahu bahwa ritual dan upacara ini bukan merupakan penyembahan. “Penyembahan” yang kita lihat adalah penyembahan yang dilakukan sebagai bentuk pemberian penghormatan dan rasa bersyukur kepada sosok yang telah menunjukkan kebenaran. Bahkan doa yang sering kita dengar adalah doa yang menyuarakan welas asih, kebaikan, dan kasih sayang terhadap seluruh makhluk hidup, tanpa pengecualian.

Jika kita melihat lebih dekat pada ajaran Buddha, kita bisa memastikan bahwa tidak ada pemimpin dalam budayanya. Dzongsar Kyentse sering mengatakan bahwa Dalai Lama adalah pemimpin sekuler untuk komunitas Tibet di pengasingan dan guru spiritual bagi banyak orang di seluruh dunia –bukan hanya bagi umat Buddha. Ia menekankan bahwa tidak ada otoritas dalam agama Buddha dengan kekuasaan untuk menentukan mana umat Buddha mana yang bukan, atau siapa yang harus dihukum dan siapa yang tidak.
 

Jika ajaran Buddha bukan sekadar agama, lalu apakah agama Buddha itu?
Menurut pandangan saya, agama Buddha adalah jalan hidup –agama Buddha adalah filosofi dan kebenaran yang menggambarkan bagaimanakah kehidupan ini.

Harus saya akui (dan saya tidak malu mengakuinya) bahwa agama Buddha membantu saya memahami agama yang sebelumnya saya peluk, juga agama-agama dunia lainnya. Sebelum mengenal agama Buddha, bagi saya “kitab suci” sama asingnya dengan bahasa Mandarin. Saya tidak dapat memahami mengapa saya harus sembahyang, mengikuti upacara keagamaan maupun mengikuti pemimpin spiritual, tanpa keyakinan atau kepercayaan murni akan apa yang mereka katakan.

Sebelum memeluk agama Buddha, saya bergantung pada “Tuhan”. Saya terus mencari di luar diri saya sendiri, dan saya yakin inilah sebabnya saya tidak pernah menemukan diri sendiri.

Agama Buddha membantu saya mencari ke dalam diri. Ia mengajarkan kemandirian dan mawas diri. Melalui agama Buddha, saya mulai memahami cara kerja dunia. Agama Buddha membantu saya melihat ke dalam diri sendiri dan bertanggungjawab atas tindakan, pikiran dan emosi saya, alih-alih sekadar berlindung pada Tuhan semata.

Dengan agama Buddha, saya akhirnya mengerti bahwa Tuhan bukanlah seorang yang suka menghakimi dan tinggal di atas awan. Saya menghentikan dualitas antara Tuhan dan diri sendiri, dan saya menyadari bahwa Tuhan ada di dalam setiap orang (di dalam apa pun dan di mana pun). Tuhan bukan sesuatu yang ada di luar kita atau sesuatu yang tidak bisa kita capai –Tuhan ada di dalam diri kita.

Jadi mungkin ada yang mempertanyakan, mengapa mempelajari atau mempraktikkan agama Buddha itu bermanfaat?

Saya benar-benar percaya bahwa semua orang memiliki pilihan masing-masing, namun saya juga percaya bahwa tidak ada salahnya hidup dengan batin dan benak yang terbuka sehingga mampu memperluas wawasan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan di pikiran kita.

Tidak seperti agama-agama lainnya, agama Buddha tidak memerintahkan pengikutnya untuk hanya berpegangan pada ajaranNya. Umat Buddha tidak peduli dari mana Anda berasal, apa yang Anda percayai atau siapa yang Anda sembah. Umat Buddha hanya memedulikan bahwa Anda mengetahui kebenaran –dan kebenaran itu adalah, “Bahwa segala hal itu bersifat tidak kekal.”

Memahami agama Buddha itu bermanfaat, karena hasil akhir dari tujuan agama Buddha bukanlah sesuatu yang bermanfaat bagi agama Buddha itu sendiri –manfaatnya adalah untuk kepentingan kita sendiri. Manfaatnya adalah bahwa kita akan memahami kebenaran dari kehidupan, keberadaan, dan diri kita sendiri.

Seperti yang diungkapkan oleh Dzongsar Khyentse, “Agama Buddha bukanlah alat keselamatan hidup yang mengatur seberapa banyak suami yang bisa dimiliki seorang istri atau di mana harus membayar pajak atau bagaimana menghukum pencuri.”

Buddha tidak mengatakan apa yang ingin didengar oleh orang-orang, Beliau hanya membukakan mata mereka terhadap kebenaran hidup. Apakah Anda siap mendengarnya?

Penulis asli: Elyane Youssef (www.elephantjournal.com)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Komala Somadevi

Perempuan. Lulusan perguruan tinggi di Bandung jurusan komunikasi internasional. Volunteer di thubtenchodron[dot]org. Kini menetap di Jogja. Mengelola tempat makan sederhana, "Angon".

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *