Maharani K | Sunday, 31 March 2019 15.51 PM Life
Di era modern sekarang, sering kita lihat di tempat-tempat umum seorang pria bergandengan mesra atau berpelukan dengan pria juga. Entah pria yang dipeluk tersebut adalah sahabatnya, temannya, atau kekasihnya. Namun pada kenyataannya, pasangan homoseksual semakin banyak di kalangan masyarakat kita yang semakin modern ini. Begitu pula dengan wanita yang berpacaran dengan sesama wanita, atau disebut dengan lesbian.
Tentu kita sebagai masyarakat awam akan mempertanyakan mengapa pasangan sesama jenis kini semakin banyak jumlahnya dibandingkan beberapa tahun ke belakang. Masalah jumlah memang tidak ada yang bisa memastikan, namun pada intinya pasangan-pasangan ini sekarang lebih berani untuk menunjukkan identitas dan hubungan mereka ke publik tanpa malu-malu. Cibiran, pandangan negatif dan pandangan yang merendahkan adalah hal yang sudah biasa mereka terima dari lingkungan masyarakat.
Ada banyak anggapan di masyarakat seperti, “Pria yang bertindak dengan cara yang feminin pasti gay. Wanita maskulin dengan potongan rambut cepak dan suara berat berarti lesbian.” Ini anggapan yang dipercaya banyak orang, dan dijadikan label untuk menilai orientasi seksual seseorang.
Label-label seperti itulah yang membuat tekanan makin besar dalam masyarakat kita terhadap kaum homoseksual maupun lesbian. Padahal stigma ini belum tentu benar, dan kita tidak bisa menilai orientasi seseorang hanya dari penampilan luarnya saja. Kaum lesbian, gay, dan biseksual juga memiliki kepribadian yang bervariasi, dalam cara berpakaian, tingkah laku, dan gaya hidup.
Orientasi
Banyak penelitian percaya bahwa orientasi seksual seseorang ditentukan dari kombinasi berbagai faktor, antara lain lingkungan, budaya, emosional, hormonal, dan biologis. Maka setiap orang yang menjadi homoseksual pasti dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda.
Faktor lingkungan dan sosial diduga paling berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang. Menurut Kartini Kartono dalam bukunya “Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual”, disebutkan beberapa faktor penentu homoseksualitas, antara lain: Ketidakseimbangan hormon seks atau kelainan genetik (faktor bawaan lahir); Pengaruh lingkungan yang tidak baik yang mendukung seorang anak menjadi homoseksual, misalnya ada tetangga atau orang terdekat yang juga menjalani hubungan sesama jenis; Pernah ada pengalaman masa lalu yang mengarah pada hubungan sesama jenis, misalnya pelecehan seksual dari sesama jenisnya; atau seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibunya, sehingga timbul rasa antipati terhadap kaum wanita. Lalu mencari figur selain wanita sebagai sosok idealnya untuk menjalin sebuah hubungan.
Seorang ahli psikologi dunia, Sigmund Freud (1856-1939) yang terkenal dengan teori ‘Psikoanalisa’ menyebutkan bahwa periode perkembangan seorang anak mulai bayi hingga dewasa sangat dipengaruhi oleh kematangannya secara seksual, seperti pengenalan organ kelaminnya, figur dan peranan orang tua sebagai pengasuh si anak, yang nantinya akan mempengaruhi orientasi seksual anak di masa depannya.
Ahli-ahli psikologi lainnya seperti Jung, Adler juga menyatakan bahwa homoseksualitas adalah sebuah gangguan kejiwaan. Memang belum terdapat penjelasan pasti dan spesifik dari pandangan Jung dan Adler, tapi menurut Freud, homoseksualitas adalah sebuah bentuk fiksasi (berhentinya perkembangan mental) dari satu dimensi dari tahap perkembangan mental seseorang, sehingga orang normal adalah orang yang berhasil berkembang menjadi seorang heteroseksual.
Jenis
Ada dua jenis homoseksual di dunia ini, jenis yang pertama yaitu kaum homoseksual yang tidak merasa terganggu dengan orientasi seksualnya terhadap sesama jenis, tidak merasakan hal itu sebagai suatu masalah, dan tidak mengalami konflik batin dalam dirinya terkait dengan ketertarikannya pada sesama jenis.
Kaum yang pertama ini tidak tertarik untuk mengubah arah orientasi seksualnya menjadi normal terhadap lawan jenis. Dan mereka cenderung tidak merasa bermasalah dengan ketertarikannya tersebut. Bahkan merasa percaya diri dan mantap ketika harus mengakui ke publik mengenai orientasi seksual mereka, atau menunjukkan pasangan mereka di depan umum.
Jenis yang kedua adalah kaum homoseksual yang merasa orientasi seksualnya terhadap sesama jenis adalah suatu masalah, biasanya karena berbenturan dengan norma yang ada di masyarakat tempatnya tinggal, norma agama, aturan masyarakat dan keluarga. Kaum yang kedua ini sering mengalami konflik dalam dirinya karena masih ada sedikit keinginan atau harapan untuk dapat menjalani hubungan normal kembali dengan lawan jenis. Terdapat rasa cemas, takut, khawatir jika identitasnya ketahuan orang lain.
Masa lalu
Terkait dengan pengalaman individu di masa kecil, pola pembentukan karakter dan kepribadian, serta pengenalan identitas seksual mereka, tentu orangtua dan keluarga memegang peranan penting dalam diri seorang anak. Peranan seorang ayah dalam hal ini adalah menanamkan aturan dan disiplin kepada anak-anaknya, serta menjadi role model bagi anak laki-lakinya, sebagai pelindung keluarganya (anak dan istri), serta pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Fungsi keluarga secara materi, fisik, dan psikologis harus terpenuhi dengan baik agar dapat menciptakan anak-anak yang sehat dan sejahtera secara mental dan psikologis.
Penerimaan seorang ayah terhadap anak laki-lakinya, menghargai jenis kelamin sang anak, dan bimbingan yang utuh untuk menjadi pria dewasa yang sejati sangatlah penting ditanamkan. Figur ayah yang akan dicontoh sang anak laki-laki tidaklah harus dari ayah kandung (jika kondisi tidak memungkinkan, seperti kematian atau perceraian), namun bisa didapatkan dari kakek, paman, atau kakak laki-laki. Figur pria yang lebih dewasa inilah yang akan memberikan contoh, teladan dan bimbingan kepada seorang remaja laki-laki hingga ia dewasa.
Rasa aman, pengayoman dan sikap yang menghargai orang lain akan menjadi penentu penting bertumbuhnya sifat ‘laki-laki dewasa’ dalam diri seorang remaja pria. Banyak kasus psikologis mengenai lelaki penyuka sesama jenis yang di masa kecilnya tidak mendapatkan figur ayah yang ideal karena sikap ayah yang kasar, pemarah, kurang menghargai istri, sering bepergian dan ‘terkesan’ meninggalkan keluarganya. Contoh-contoh peran ayah sebagai laki-laki dewasa yang tidak ideal ini akan memunculkan perasaan ‘butuh perlindungan’, atau ‘ingin diayomi’ dalam diri seorang anak laki-laki terhadap laki-laki lain. Sehingga ketika beranjak dewasa, anak laki-laki ini akan mencari sosok laki-laki lain untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, dan menjadi seorang homoseksual.
Maharani K.,M.Psi
Psikolog keluarga, Hipnoterapis, dan Trainer