• Saturday, 26 May 2018
  • Hartini
  • 0

Gerakan kaum muda menentang kekerasan bersenjata di seluruh Amerika Serikat berbarengan dengan suatu kecenderungan yang menarik sehubungan dengan agama Buddha di Amerika.

Agama Buddha merupakan satu-satunya agama yang berhasil menarik umat baru yang lebih muda — pada tahun 2007, 23% umat Buddha berada pada kisaran usia antara 18 hingga 29, tetapi 10 tahun kemudian, angka tersebut dengan antusias berkembang menjadi 34% (Pew Research Center).

Seorang akademisi di UC Berkeley, Layne R. Little, menyatakan bahwa agama Buddha dapat mencapai ranah baru ini, berkat persepsi publik tentang Dharma sebagai sebuah ajaran yang pragmatis, yang berfokus pada pemahaman tentang hakikat pikiran, kondisi manusia, serta mengatasi penderitaan.

Dunia berada dalam kondisi yang makin tidak stabil dan tidak pasti, maka makin bertambah jumlah organisasi Buddhis yang nampaknya merasa bahwa suatu pendekatan melalui keterlibatan atau pendekatan secara manusiawi (humanis) terhadap keyakinan dan praktik, yang dikombinasikan dengan kepedulian terhadap masyarakat, sangatlah dibutuhkan.

Para pendukung agama Buddha yang melibatkan diri/humanistik telah membawa obor pembuka jalan selama puluhan tahun. Mereka berasal dari beragam tradisi dan agama dari berbagai belahan dunia, mulai dari Bhikkhu Bodhi, Thich Nhat Hanh, hingga Master Hsing Yun.

Kaum muda

Berbagai institusi dan kaum muda perlu bekerja bersama untuk saling memahami serta saling terbuka satu sama lain. Hubungan yang saling menguntungkan kedua pihak ini akan dapat menjadi kunci untuk menyembuhkan penderitaan dan kegalauan yang dirasakan kebanyakan kaum muda dewasa ini, dan bisa menyuntikkan kehidupan serta cara pandang yang baru pada struktur konvensional kita.

Saat kita mendorong kaum muda untuk mengeksplorasi tradisi Buddhis, kita percaya bahwa hal ini tidak perlu (juga tidak seharusnya) memiliki penekanan doktrinal yang sama yang berasal dari generasi sebelumnya. Hal ini disebabkan, terlepas dari pokoknya yang tak berubah tentang Dharma, agama Buddha secara konstan terus-menerus merespon kebutuhan-kebutuhan yang berevolusi dan berkembang dari beragam masyarakat di seluruh dunia.

Pada tahun 2016, tulisan Zen Master Thich Nhat Hanh dalam bahasa Inggris menjelaskan cukup rinci pada kaum muda, tentang bentuk-bentuk praktik keagamaan yang tidak bermanfaat bagi mereka, dan menurut pendapat beliau, perlu dihindari, “Agama, bagi kebanyakan orang, tidak lebih dari serangkaian kebiasaan dan ritual yang diwariskan secara turun temurun dari keluarga dan masyarakat. Karena kemalasan atau karena kurangnya minat, kebanyakan orang telah merasa puas dengan pemahaman secara kulit luar saja tentang agama mereka. Mereka tidak menguji kebenaran ajaran dalam cahaya penerangan pengalaman mereka sendiri, membiarkan pelaksanaannya untuk memperbaiki dan menyempurnakan penerapan ajaran itu sendiri. Orang-orang semacam ini lebih suka menyatakan dogmatisme dan intoleransi.”

Di sisi lain, Thich Nhat Hanh menyarankan pada kaum muda, bahwa ketika agama itu adalah tentang sesuatu yang lebih besar dibanding diri mereka sendiri, maka itu juga berarti suatu lawatan pribadi yang mendalam, yang perlu terus-menerus dijadikan topik bahasan yang cakupan pengertiannya jauh melampaui batasan yang lumrah.

“Jika engkau mengikuti suatu agama, janganlah menjadi seperti/menyerupai mereka. Pelajarilah agamamu dengan sangat cermat, dalam semua aspek kedalaman dan keindahannya, sehingga ia dapat mengenyangkan dan mngembangkan kehidupan spiritualmu.

“Agama yang sehat adalah agama yang hidup. Ia seharusnya mampu untuk berevolusi serta belajar untuk merespon berbagai kesulitan pada zaman kita. Agama harus melayani kemanusiaan, bukannya agama yang manusiawi (agama yang welas asih pada manusia). Jangan biarkan siapa pun menderita atau kehilangan nyawa mereka dalam nama agama.”

Dinamis

Dengan semua pertimbangan ini dalam benak, apakah yang seharusnya diharapkan kaum muda Buddhis? Mereka harusnya bisa mengharapkan agama Buddha yang sadar diri, yang tidak berbicara merendahkan kaum muda dan bersedia secara terbuka mengeksplorasi bagaimana seharusnya konsep-konsep tradisional itu dipahami.

Sebagai contohnya, apakah arti penting meditasi pada zaman media sosial dan era penghakiman serta reaksi instan? Bagaimana seseorang akan dapat merangkum keseluruhan cakupan pengalaman emosional yang dialaminya pada masa remaja sembari mempraktikkan renungan meditatif? Kita tidak dapat memberikan jawabannya di sini.

Bagaimanapun, adalah sekolah-sekolah dan para guru yang melibatkan kaum muda serta yang bersedia mengeksplorasi masalah-masalah yang selalu muncul pada masanya ini, merekalah yang akan sungguh-sungguh menyatakan bahwa agama Buddha tak lekang oleh waktu.

Dunia nampak kian tak dapat diperkirakan. Perubahan iklim mengancam masa depan umat manusia. Saat ini adalah era dominasi teknologi data dan perusahaan-perusahaan raksasa. Tantangan yang harus dihadapi para guru, pemimpin, serta penyembuh kita di masa depan akan sangat berat.

Institusi-institusi spiritual serta para pemimpin spiritual harus mendukung di belakang kaum muda kita dan demikian pula sebaliknya, karena jika tidak demikian halnya, maka tak akan ada yang dapat mereka capai bersama. (Buddhistdoor.net)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *