• Thursday, 9 December 2021
  • Reza Wattimena
  • 0

Siapa yang mau hidup bebas drama? Tentu saja, kita semua. Bagi pecinta drama Korea, pola drama-drama kehidupan sudah terpahami. Intinya sederhana, yakni ada kejadian yang tak sesuai dengan kehendak kita.

Cuaca tiba-tiba berubah. Hujan deras mengguyur, ketika sedang asyik bersepeda. Atau, tiba-tiba sakit, padahal sudah makan dan tidur cukup. Banyak hal diluar kendali kita.

Ini Soal Tanggapan Kita

Sebenarnya, itu tidak bisa disebut sebagai drama. Drama adalah tanggapan kita terhadap kejadian yang tidak menyenangkan itu. Jika kita menanggapi kejadian-kejadian menyakitkan dengan emosi kuat, seperti sedih dan marah berlebihan, maka drama tercipta. Drama adalah penolakan kuat terhadap keadaan yang sedang terjadi.

Kita marah pada keadaan. Kita membenci orang lain yang bertindak tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita memberontak pada keadaan, lalu akhirnya frustasi. Dalam jangka panjang, depresi dan keinginan bunuh diri akan menghantui.

Karena menolak keadaan, kita butuh pelarian. Kita butuh menghibur diri. Bentuknya beragam, mulai dari makan berlebihan, belanja sampai dengan narkoba. Apapun bentuknya, pelarian selalu bermuara pada nestapa.

Di dalam tradisi Dharma, ini disebut sebagai Samsara, yakni kejadian yang terus berulang. Kita memiliki pola serupa. Kita memiliki kebiasaan lama yang sangat kuat, sehingga terus mengulang dirinya, tanpa henti. Menyadari Samsara sebenarnya merupakan langkah awal untuk pembebasan.

Gautama, sang Buddha, menyebut hidup sebagai Dukkha. Artinya bukanlah penderitaan, seperti yang selama ini dipahami. Hidup bukanlah penderitaan, melainkan ketidakpuasan yang terus berulang. Apapun yang kita lakukan, selama kita masih mencari di luar diri kita, entah itu uang, kenikmatan dan nama besar, maka kita tidak akan pernah terpuaskan. Kita akan terus merasa hampa.

Dharma sebelum Drama

Disinilah pentingnya kita mendalami Dharma. Di dalam hidup, Dharma harus ada mendahului drama. Apa itu Dharma? Artinya sederhana, yakni hidup sejalan dengan kenyataan sebagaimana adanya.

Kita tidak hidup dengan pandangan tertentu tentang apa yang seharusnya terjadi. Kita tidak hidup dengan teori yang kita baca dari buku. Kita tidak hidup dengan harapan dan filosofi yang kita peroleh dari tradisi atau agama. Kita hidup sejalan dengan keadaan sebagaimana adanya di sini dan saat ini.

Salah satu ajaran terpenting Dharma adalah, bahwa kita tidak bisa mengendalikan kehidupan. Banyak hal terjadi di luar kendali kita, seperti krisis ekonomi, pandemi sampai dengan bencana alam. Ajahn Brahm, salah satu pemikir Buddhis terbesar di abad 21, bahkan menegaskan, tak ada yang bisa kendalikan di luar diri. Tenanglah, semuanya berada di luar kendali (relax, everything is out of control), ujarnya sambil tertawa.

Namun, ada satu hal yang bisa kita kendalikan, yakni tanggapan kita terhadap keadaan. Jika kita cukup sadar, kita bisa menanggapi berbagai keadaan dengan tenang. Seperti kata Gus Dur, salah satu pemikir Islam terbesar di dalam sejarah Indonesia modern dan mantan Presiden Republik Indonesia, jika ada masalah, yah diselesaikan. Jika tidak bisa, yah tidak usah dipikirkan. Gitu aja kok repot!

Kita perlu menatap keadaan sebagaimana adanya. Sesungguhnya, masalah itu tidak ada. Yang ada hanyalah keadaan yang kompleks. Kita membutuhkan kejernihan untuk mengurainya, dan mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan.

Belajar dari Zen

Disini, kebijaksanaan Zen bisa membantu. Pertama, kita perlu sungguh berakar disini dan saat ini. Kita perlu membuka panca indera kita pada keadaan disini dan saat ini. Ini membantu kita berjangkar pada kedamaian batin, supaya tidak hanyut dalam keadaan yang mungkin sangat rumit.

Dua, kita perlu memahami keadaan yang ada. Kita perlu melakukan analisis. Kita perlu memahami sebab akibat dari keadaan yang tercipta. Ini disebut sebagai memahami keadaan dengan tepat (correct situation).

Tiga, kita juga melihat hubungan kita dengan keadaan yang ada. Apa peran yang bisa kita lakukan? Adakah hal konkret yang bisa dilakukan, guna memperbaiki keadaan? Ini disebut sebagai memahami hubungan dengan tepat. (correct relation)

Empat, setelah paham keadaan dengan jernih, dan paham peran yang bisa diambil, kita lalu bertindak. Kita bertindak dari kejernihan. Kita tidak bertindak dari emosi, atau dari kepentingan diri yang sempit. Ini disebut sebagai tindakan yang tepat (correct action).

Mencapai Kebebasan

Dengan Dharma, kita bisa menghindari pelarian-pelarian tak perlu. Menghibur diri tentu perlu. Tetapi, ini dilakukan sebagai bagian dari penyelesaian masalah, dan bukan untuk melarikan diri. Pelarian kerap menjadi penjara baru dari derita kita sebelumnya.

Dengan ini, kita pun memutus rantai Samsara. Kita memutus kebiasaan lama yang merusak. Kita keluar dari pola-pola yang selama ini menjajah kita. Tentu saja, ini tak mudah, tetapi sangat mungkin untuk dilakukan.

Kita pun menemukan kebebasan disini dan saat ini. Seperti yang selalu dikatakan oleh Alex Lanur, dosen saya di STF Driyarkara dulu, kebebasan tertinggi adalah kebebasan di dalam bersikap menghadapi keadaan, terutama keadaan-keadaan yang tak sesuai rencana. Dia mengajarkan ini dalam kuliah Filsafat Manusia pada 2003 lalu. Salah satu kebijaksanaan tertinggi yang masih saya simpan di sanubari.***

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *